19 Desember 2010

» Home » Lampung Post » Opini » Lemahnya Pelajaran Sejarah

Lemahnya Pelajaran Sejarah

Topik ini bisa jadi akan sejalan dengan persoalan RUU Keistimewaan Yogyakarta yang selalu dikaitkan dengan lemahnya pemahaman sejarah sekelompok orang, khususnya yang terkait dengan peran Yogyakarta dalam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lebih dari persoalan tersebut, dalam berbagai kasus tampak sekali lemahnya pemahaman sejarah bangsa pada kalangan generasi muda, bahkan di antara para anak didik kita. Misalnya pelajaran sejarah, yang semestinya sudah menjadi muatan pelajaran di tingkat sekolah dasar maupun sekolah menengah pertama, malah tidak diketahui anak didik yang berada di tingkat atasnya.
Tidak percaya? Lihatlah misalnya pada ujian yang mereka ikuti, atau uji pengetahuan yang sering kali kita lihat dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa kali saya menonton acara Ranking 1 yang dipandu Ruben dan Sarah Sechan dan setiap pagi disiarkan sebuah jaringan televisi, kenyataan ini dapat kita temui. Pada acara yang ditayangkan pagi hari, Jumat 10 Desember 2010 yang lalu, misalnya, sang juara yang ditanyai soal Prabu Siliwangi itu dari Kerajaan Pajajaran atau Singosari, siswa SMA itu sama sekali tidak mengetahuinya. Demikian pula halnya dengan pertanyaan berikut, tentang perang apakah di Sumatera Barat yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol? Anehnya, pelajar yang ditanyai itu adalah pelajar SMA dari Sumatera Utara.
Bisa dibayangkan bila pertanyaan itu dilontarkan pada mereka yang bukan ranking satu atau yang tidak menjadi juaranya. Contoh ini tentu bisa dilengkapi dengan beragam contoh lainnya, yang membuat lemahnya penguasaan akan sejarah bangsa.
Sesungguhnya kenyataan seperti ini juga kita hadapi pada anak-anak kita. Mereka amat lemah pada pengetahuan sejarah bangsa, termasuk hal-hal yang paling dasar sekali, seperti halnya nama Perang Paderi tersebut. Apakah sudah demikian parahnya? Hemat saya memang demikian. Walaupun mungkin perlu kita lanjutkan dengan survei yang bersifat jujur, bukan seperti jajak pendapat tentang sikap masyarakat Yogyakarta atas keistimewaan DIY yang beberapa hari terakhir ini diperdebatkan atau survei-survei lain yang cenderung menyesatkan.
Kalaulah kenyataan ini benar, menurut pengamatan saya, disebabkan beberapa hal. Yang paling mudah saya lihat adalah pikiran anak-anak didik sekarang yang tidak lagi bisa terfokus pada mata pelajaran yang seharusnya mereka hadapi atau kuasai. Terlalu banyak mainan, hiburan, atau hal-hal luar yang harus mereka ingat atau perhatikan, sehingga ingatan pada mata pelajaran menjadi terbatas.
Dengan mudah kita lihat, anak-anak sekarang amat banyak mencerna permainan yang datang dari luar, sehingga menjauhkan pikiran mereka dari hal yang seharusnya mereka kuasai. Sedari kecil mereka sudah diajari untuk mengingat dan mengetahui tokoh-tokoh, seperti Sinchan atau Doraemon, dan kini dilengkapi pula dengan Upin dan Ipin serta teman-teman mereka. Meningkat sedikit, mereka perlu pula mengingat tokoh-tokoh One Piece, atau permainan lainnya. Yang suka pada lagu, mereka harus mengingat penyanyi-penyanyi yang mereka senangi dan idolakan. Tak jauh beda dengan perhatian mereka terhadap sinetron yang mereka gandrungi. Bersamaan dengan itu, mereka perlu pula menguasai teknologi, khususnya teknologi informasi. Dalam hal ini mereka malah lebih unggul daripada generasi sebelumnya.
Akibatnya, perhatian mereka amat terbatas untuk kejadian-kejadian di dalam negeri, termasuk yang menyangkut sejarah bangsa atau tokoh-tokoh dalam negeri. Apalagi orang tua atau para pejabat pun menunjukkan bila perhatian pada luar negeri lebih utama ketimbang di dalam negeri. Termasuk penghargaan pada tokoh, pendidikan, atau sesuatu yang berkembang dari luar.
Terbatas sekali perhatian pada hasil pendidikan di dalam negeri. Lulusan perguruan tinggi di luar negeri jauh lebih dihargai daripada produk dalam negeri. Pimpinan negara pun dikelilingi para ahli lulusan luar negeri yang acap kali terlepas dari penguasaan atas keadaan di dalam negeri. Tak mengherankan bila banyak anggota masyarakat yang memiliki kemampuan materi lebih terdorong mengirim anak-anak mereka sekolah di luar negeri, yang produknya kian menjauhkan diri dari kondisi di dalam negeri.
Sementara itu, kemampuan para guru yang mengajarkan mata pelajaran sejarah agaknya perlu ditingkatkan. Para guru sejarah, khususnya sejarah Indonesia, harus mampu menggairahkan para anak didik dan menekankan bahwa sejarah bangsa menjadi modal berharga untuk membangun negeri ini ke depan. Jangan kita biarkan para anak didik bersikap EGP (emang gua pikirin), atau melontarkan istilah yang kini semakin populer, "Ah, enggak penting ini!"
Tentu saja yang jauh lebih penting adalah bagaimana memberi makna sejarah Indonesia terhadap pembangunan bangsa. Bagaimana mungkin anak-anak menghargai sejarah Indonesia, jika para pemimpin bangsa sendiri tidak peduli dalam penerapannya. Lihatlah misalnya dalam kasus penyusunan RUU Keistimewaan Yogyakarta yang kini sedang berlangsung. Persoalan utama justru kecaman pada pimpinan bangsa yang tidak peduli pada sejarah bangsa atau sejarah nasional. Kalaupun dilengkapi dengan penguasaan atas konstitusi negara, penyusunan konstitusi itu sesungguhnya juga terkait dengan penguasaan atas sejarah bangsa.
Jika para pemimpin bangsa dan para tokoh masyarakat sendiri tidak peduli pada sejarah bangsa, bagaimana mungkin para anak didik tertarik pada materi pelajaran ini?

Opini Lampung Pos 20 Desember 2010