19 Desember 2010

» Home » AnalisaDaily » Opini » Kok, Mahkamah (In) konstitusi?

Kok, Mahkamah (In) konstitusi?

Jujur saya katakan setelah membaca judul tulisan yang sangat mendidik tersebut dengan judul lengkap, Kok Mahkamah Kriminalisasi? Saya menggantinya dengan judul di atas, Kok, Mahkamah (In)konstitusi? Tetapi tunggu dulu, jangan langsung saya dituduh plagiator atau melakukan plagiasi dengan tulisan saudara Donal Fariz dari ICW yang tiada pernah berhenti melakukan perlawanan terhadap korupsi. Mengingat akhir-akhir terjadi kisruh di MK dan terus menjadi bahan perbincangan.
Mengingat selama ini MK sudah terpola bahwa inilah penjaga benteng konstitusi kita yang masih dipercaya. Sejumlah prestasi MK dibawah pimpinan Prof. Dr. Mahfud MD patut kita apresiasi dan menjadi sebuah prestasi yang sangat fantastis. MK pertama kali mengetuk palu bahwa sistem pemilu legislatif pada tahun 2009 yang lalu adalah dengan sistem suara terbanyak. Pada saat itu UU tentang pemilu mengatakan bukan seperti itu.
Cuma karena banyak parpol menerapkan sistem suara terbanyak (dalam penentuan caleg yang akan duduk), MK pun menyambut dengan ketuk palu. UU seolah-olah ditiadakan mereka dengan alasan kebaikan bersama. Memang dalam ilmu hukum ada sebuah asas Freis Ermessen dengan muatan mengabaikan hukum untuk kebaikan bersama. Maka MK pun mendahuluinya sebagai aspirasi masyarakat yang harus ditampung dalam konstitusi. Sistem suara terbanyak pun dilakukan dan semua parpol setuju.
Kemudian MK melakukan sebuah prestasi yang sangat fenomenal lagi, mereka membuka percakapan Anggodo, Komjen Susno, Jaksa Urip, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah di depan publik dan langsung disaksikan oleh masyarakat Indonesia. Jaringan mafia hukum pun terbongkar. MK memberikan pendidikan hukum kepada semua masyarakat. Kemudian banyak perkara pelanggaran pidana yang ditangani oleh MK. Ada yang pemilukada diulang, ditolak tetapi semua demi pertimbangan hukum yang objektif dan dapat dipertanggung jawabkan kepada publik.
Kini terjadi sebuah kisruh di tubuh MK karena dugaan suap oleh beberapa oknum. Lucunya lagi kasus itu melibatkan salah satu pemenang pemilukada dari Sumut. Dr. JR Saragih namanya diseret-seret dan masih menjadi isu yang kebenarannya perlu diteliti lagi terlibat dalam penyuapan salah satu hakim MK. Akil Mochtar menjadi sasaran tembak dengan konflik di media bersama pakar hukum tata negara Refly Harun. Bagaimana sebenarnya kebenaran suap di MK itu?
Apakah MK yang seharusnya Mahkamah Konstitusi akan berubah menjadi MI dengan kepanjangan Mahkamah (In)konstitusi? Padahal yang namanya konstitusi harus dikawal karena menjadi petunjuk bagi praktik berbangsa dan bernegara. Tugasnya sangat dan sangat berat karena mempertaruhkan integritas. MK adalah benteng terakhir mengawal konstitusi negara agar kehidupan berbangsa dan bernegara berjalan pada jalurnya. Idealnya lembaga ini harus kebal dari isu suap dan isu korupsi lainnya. Masalahnya, benarkah integritas MK sudah mulai mengalami degradasi seiring dengan kuatnya mafia hukum di negara ini? Atau memang jumlah nominal rupiah yang terlalu besar untuk dihadapi oleh hakim di MK? MK harus jujur dalam menjawab ini.
Coba kita lihat ulasan lengkap Donal Fariz di harian Kompas 15 September yang lalu. Donal Fariz mengatakan bawah Pembentukan Tim Investigasi ala MK untuk membongkar kasus dugaan suap yang melibatkan oknum hakim konstitusi pada awalnya dinilai sebagai respons cepat MK untuk membersihkan institusinya. Opini Refly dengan judul "Apakah MK Masih Bersih?" (Kompas, 25/10) serasa "membakar" seluruh isi Gedung MK, hingga akhirnya cepat-cepat dibentuk tim eksternal untuk menyelidiki kebenaran berita dugaan suap tersebut. Pada titik ini, awalnya MK layak mendapat apresiasi. Maka dibentuklah sebuah tim yang dikomandoi si pembuat opini sendiri dan empat anggota tim lainnya yang diberikan mandat selama 30 hari untuk membuktikan dugaan adanya praktik suap yang terjadi di MK.
Namun apa lacur, lambat laun kondisi di lapangan secara faktual menunjukkan hal yang justru kontraproduktif dengan semangat awal dibentuknya tim ini. Das Sollen berbanding 180 derajat dengan Das Sein. Lebih memprihatinkan lagi, banyak pihak menilai upaya destruktif untuk mengebiri Tim Investigasi malah muncul dari oknum hakim konstitusi sendiri yang seolah memersonalisasikan berita suap itu. Hal ini terlihat dari banyaknya pernyataan bernada gelisah yang sebenarnya tidak berdasar hingga rencana untuk melaporkan Refly kepada pihak berwajib atas opininya tersebut. Padahal, dalam opininya, Refly tidak sepatah kata pun menyebutkan nama oknum hakim konstitusi yang diduga menerima suap dari pihak yang berperkara.
Pernyataan-pernyataan yang bernada sinis dan mempertanyakan obyektivitas kerja tim hingga pada keengganan hakim tertentu untuk diperiksa oleh Tim Investigasi membuat publik terheran-heran. Padahal, tim ini justru dibentuk oleh keinginan para hakim konstitusi. Sikap ini seolah mereduksi kerja-kerja tim yang dibentuk oleh MK sendiri.
Apalagi jika dihubungkan dengan "keengganan" MK untuk menyandingkan KPK bersama Tim Investigasi selama masa kerja 30 hari tersebut, maka semakin menguatkan keyakinan publik bahwa pembentukan Tim Investigasi seolah hanya kamuflase belaka untuk membongkar dugaan suap di MK. Hingga ujung-ujungnya Refly tersandera dalam ruang demokrasi dan alam kebebasan berbicara.
Sekali lagi, MK harus kita selamatkan. Nyawa konstitusi sangat berharga bagi negara ini. Kasus suap di MK harus dibuktikan dan jaringan mafia hukum yang diberi gerak di MK harus segera diakhiri. Apa jadinya negara ini jika benteng konstitusi terakhir sudah dikendalikan oleh mafia hukum. Kita tidak menginginkan Mahkamah Konstitusi berubah nama menjadi Mahkamah (In)konstitusi. Kalau ini terjadi, mafia hukum sudah menguasai negara kita. Setelah integritas MA, KY selama ini dalam timbangan neraca hukum sudah defisit, MK tidak boleh mengalami defisit dan degradasi integritas. Semoga kasus suap di MK segera diakhiri. Mahfud MD saatnya membuktikan bahwa integritas MK masih bisa diselamatkan. Semoga!***
Penulis adalah Advocat Senior di Kota Medan.

Opini analisa daily 2 Desember 2010