19 Desember 2010

» Home » Kompas » Opini » Ilmuwan Minus Penelitian

Ilmuwan Minus Penelitian

Survei SCImago melaporkan, publikasi hasil penelitian Indonesia selama 13 tahun (1996-2008) adalah 9.194 tulisan. Angka itu menempatkan negeri ini di urutan ke-64 dari 234 negara yang disurvei. Dibanding negara tetangga, Singapura berada pada peringkat ke-31, Thailand ke-42, dan Malaysia 48.
Data itu tidak signifikan dengan jumlah peneliti di perguruan tinggi yang mencapai 89.022 orang. Menurut Kementerian Pendidikan Nasional, peneliti berpendidikan magister mencapai 71.489 orang, doktor 13.033 orang, dan guru besar 4.500 orang. Jika mengacu data SCImago, berarti dalam rentang lebih dari 10 tahun hanya ada satu dari 10 dosen yang menerbitkan hasil penelitian. Jika interval dipersempit dalam rentang satu tahun, jelas persentase itu sepuluh kali lebih sedikit.
Kenapa jumlah peneliti tidak berbanding lurus dengan hasil penelitian? Apa yang sesungguhnya terjadi dalam kinerja para ilmuwan kita
Ilmuwan tanpa tradisi
Bila mengacu kerangka dasar filsafat ilmu, secara singkat dapat dikatakan pengembangan konsepsi, hipotesis, serta proposisi harus beranjak dari hasil-hasil penelitian sebelumnya. Ilmu diperbarui dengan penelitian. Kendati tradisi penelitian tidak hanya dikembangkan untuk kebutuhan ilmiah, penelitian harus beranjak dari tradisi ilmiah yang diakui, koheren, dan korespondensial.
Dalam sistem sosial, institusi pendidikan merupakan pemangku kepentingan terdepan untuk menjaga tradisi ilmiah. Idealnya, perguruan tinggi adalah pemasok ilmu pengetahuan melalui penelitian di bidang ilmu alam, sosial, dan humaniora. Penelitian merupakan produk dari institusi pendidikan agar sebuah institusi memiliki daya saing tinggi.
Masyarakat adalah pengguna produk yang dihasilkan oleh pendidikan tinggi. Dalam skema distribusi di atas, sebuah perguruan tinggi memiliki tujuan menghasilkan temuan-temuan ilmiah berkualitas. Idealitas itu pernah dirumuskan dengan tiga fungsi tenaga pengajar di institusi pendidikan, yakni penelitian, pengajaran, dan pengabdian.
Kenyataannya, diakui atau tidak, universitas tidak lebih sebagai sebuah mesin penghasil ijazah dan legalisir. Ijazah palsu dan pemberian gelar akademik secara instan adalah contoh ekstrem dari permintaan masyarakat dan penawaran para pedagang gelar. Pendeknya, masyarakat hanya butuh ijazah yang setinggi-tingginya dengan biaya yang serendah-rendahnya. Karena itu, dalam satu dekade terakhir di Indonesia, sivitas akademika tengah berada dalam iklim sosial ekonomi yang tak menguntungkan untuk aktivitas penelitian.
Di tengah persaingan bebas pendidikan tinggi, para dosen hanya memiliki prioritas menghasilkan nilai dari proses belajar-mengajar. Kiranya tak sulit ditemui di sejumlah perguruan tinggi rasio dosen dan mahasiswa tidak masuk akal. Pertambahan mahasiswa tidak diimbangi pertambahan tenaga pengajar.
Fakta di atas memperkuat dugaan, aktivitas penelitian di perguruan tinggi tidak lebih sebagai persyaratan untuk kenaikan jabatan fungsional sebagai tenaga pengajar. Hal itu sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang menuntut adanya jenjang kepangkatan menuju guru besar. Bukti, dosen hanya ”titip nama” dalam sebuah proyek penelitian yang mengharuskan pembentukan tim peneliti. Bila dibutuhkan sebuah publikasi hasil penelitian, seorang dosen cukup memberikan kepada pengelola jurnal ilmiah terbitan perguruan tinggi yang kekurangan naskah.
Jadi tidak aneh manakala jurnal yang memiliki kualitas baik sangat sedikit. Hasil penilaian Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional periode II tahun 2010 terbukti, hanya ada dua jurnal yang mendapatkan predikat akreditasi A atau sangat baik dan 26 jurnal berakreditasi B. Jurnal yang dinilai sangat baik adalah The South East Asian Journal of Management yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Microbiology Indonesia terbitan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia.
Daya saing
Hal itu menunjukkan, publikasi hasil penelitian tidak pernah dikelola sebagai sumber modal yang berdaya saing bagi sebuah institusi pendidikan tinggi di Indonesia. Tindakan yang terkait dengan penelitian dianggap sebagai beban. Karena itu, manajemen yang diterapkan juga bukan bagian prioritas organisasional. Yang terjadi dalam manajemen penelitian adalah involusi. Kiranya tidak perlu ditutup-tutupi sistem pendanaan sebuah proyek penelitian harus melalui alur yang panjang dan hasilnya tidak seberapa.
Sebuah penelitian yang dikerjakan tiga dosen dan lima mahasiswa dalam waktu setengah tahun hanya dapat dana sekitar Rp 1 juta-Rp 3 juta, belum termasuk potongan administrasi, pajak, setoran, dan lain-lain. Hasil penelitian ini tentu saja bisa ditebak, kualitas maupun kuantitas. Wajarlah hasil penelitian yang memiliki mutu tinggi tidak jadi produk andalan universitas. Penelitian telah jadi bagian dari sistem ekonomi produksi.
Produk-produk penelitian berkualitas justru dihasilkan oleh lembaga-lembaga donor luar negeri yang menjanjikan dana lebih besar, perusahaan dagang dan organisasi konsultan yang berorientasi laba. Lembaga donor luar negeri membutuhkan hasil-hasil penelitian yang diproduksi secara langsung oleh para peneliti potensial; mereka tidak melalui birokrasi kampus.
Swasta yang mengatasnamakan corporate social responsibility juga hanya mengambil manfaat langsung dari sebuah hasil penelitian. Contoh, sebuah perusahaan farmasi hanya memberikan dana bagi peneliti yang mengangkat temuan tentang obat-obatan yang bermanfaat bagi peningkatan produknya. Penelitian di luar bidang itu dianggap tak relevan. Organisasi konsultan juga memperlakukan penelitian sebagai barang dagangan yang dijual dengan angka fantastis ke calon pengguna.
Sisanya, hasil-hasil penelitian dikelola oleh para pedagang buku dan jasa konsultan melalui sistem katalogisasi yang modern dan virtual. Ketika seorang peminat datang, mereka tidak langsung dapat membawa pulang hasil penelitian itu, tetapi hanya mendapatkan kopi. Sebab, hasil penelitian asli masih tetap tersimpan di rak pedagang dan akan terus menghasilkan uang.
Ini berbeda dengan pengelolaan hasil penelitian di perguruan tinggi. Skripsi, tesis, dan disertasi akan ”dibersihkan” manakala sudah tidak ada lagi ruang di perpustakaan. Ini membuktikan institusi pendidikan tak memiliki manajemen yang memadai terkait aktivitas penelitian. Penelitian hanya dilakukan sekadarnya, asal jadi. Itulah jawaban kenapa penelitian hanya berada di rak perpustakaan dan pada saaatnya nanti akan dijual kiloan.
Institusi pendidikan tinggi sebagai benteng penghasil penelitian yang bermutu terjebak dalam pragmatisme penelitian. Hukum pragmatisme itu berbunyi: sejauh itu bisa menghasilkan uang yang lebih besar, maka penelitian bisa dilakukan lebih baik. Ternyata penelitian adalah perkara uang, bukan ilmu.
SAIFUR ROHMAN Peneliti Filsafat

Opini Kompas 20 Desember 2010