Salah satu bentuk peribahasa menurut KBBI adalah ungkapan. Akan tetapi, apakah ungkapan? Dalam KBBI (1991), ungkapan diterangkan sebagai berikut, "kelompok kata atau gabungan kata yang menyatakan makna khusus (makna unsur-unsurnya sering kali menjadi kabur)". Sedangkan menurut KUBI Badudu-Zain, ungkapan diterangkan sebagai berikut, "perkataan atau kelompok kata yang khusus untuk menyatakan sesuatu maksud dengan arti kiasan (seperti melihat bulan, haid; celaka dua belas, celaka sekali).
Dalam KBBI juga terdapat entri "idiom" yang antara lain diartikan "konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya, misalnya kambing hitam dulu kalimat peristiwa itu hanya menjadi kambing hitam, padahal mereka tidak tahu apa-apa." Contohnya agak aneh karena yang menjadi "kambing hitam" biasanya orang, bukan kejadian. Dalam KUBI Badudu-Zain, tidak ada entri "idiom". Akan tetapi, keterangannya mengenai "ungkapan" berdekatan artinya dengan keterangan KBBI tentang "idiom".
Karena kata "idiom" digunakan juga dalam bahasa Inggris (dan kita mengambilnya dari bahasa tersebut), kita lihat apa keterangan Oxford American Dictionary (Eugene Ehrlich c.s., Avon Books, New York, 1986), "a phrase that must be taken as a whole, usually having a meaning that is not clear from the meanings of the individual words, as hang around and a change of heart." Keterangan dalam KBBI tentang "idiom" sejalan dengan keterangan Oxford American Dictionary itu. Keterangan tentang "ungkapan" yang "makna unsur-unsurnya sering kali kabur" sejalan dengan keterangan tentang "idiom", yaitu "usually having a meaning that is not clear from the meaning of the individual words".
Oleh karena itu, tidak heran kalau banyak orang yang menyamakan istilah "ungkapan" dengan istilah "idiom", ialah sama-sama merupakan kalimat atau potongan kalimat (frase) yang artinya berbeda dengan arti setiap kata yang membentuknya.
Kalau orang mengatakan anak itu kecil-kecil cabe rawit, orang segera mengerti bahwa maksudnya meskipun tubuhnya kecil anak itu pemberani. Dari contoh itu jelas bahwa arti "anak pemberani" sama sekali sekali berbeda, bahkan berlainan sama sekali dengan "cabe rawit". Akan tetapi, sebagai orang Indonesia yang hidup dalam budaya Indonesia yang sejak kecil sudah mendengar dan mengenal ungkapan tersebut, niscaya ia segera memahami maksudnya. Dalam contoh tersebut "cabe rawit" yang meskipun kecil tetapi pedas bukan main itu digunakan untuk menyampaikan arti "meski kecil tetapi pemberani". Jelas kedua kata yang digunakan itu, baik "cabe" maupun "rawit" tak ada hubungan arti sama sekali dengan "kecil tetapi pemberani".
Berlainan dengan ungkapan "panjang tangan". Meskipun artinya masih mengenai tangan, ungkapan tersebut bukan berarti orangnya bertangan panjang. Dalam ungkapan itu kata tangan masih berarti tangan, tetapi "panjang"-nya mempunyai arti kiasan, yaitu suka mencuri. Begitu juga dengan ungkapan "besar kepala", "tinggi hati", "keras kemauan", "tebal muka", dan lain-lain. Arti salah satu kata dalam ungkapan tersebut masih sama dengan arti denotatifnya.
Dengan demikian, jelas bahwa ungkapan itu ada yang seluruh katanya tidak diartikan secara denotatif, tetapi ada juga yang hanya sebagian yang tidak diartikan secara denotatif.
Pembentukan ungkapan, seperti juga peribahasa lainnya, terus berlangsung sesuai dengan perkembangan pengalaman masyarakat. Ungkapan baru itu lahir dalam masyarakat modern. Jadi, ungkapan baru dalam bahasa Indonesia bukanlah lagi menggambarkan masyarakat pertanian seperti ungkapan bahasa Melayu dahulu. Misalnya ungkapan "tunjuk hidung" yang lahir ketika masyarakat ingin agar orang yang bersalah disebut namanya dengan jelas. Hal itu terjadi setelah dalam masyarakat Indonesia yang konon berdasarkan hukum, terjadi banyak penyelewengan oleh para pejabat tetapi selalu dilindungi sesama pejabat yang lain dengan menyembunyikannya di balik istilah "oknum". Begitu juga ungkapan "kongkalikong", "tst" (tahu sama tahu), "minta kebijaksanaan" (yang artinya supaya melakukan penyelewengan dari aturan yang ada), "diselesaikan di bawah meja", dan semacamnya yang hanya mungkin lahir dalam masyarakat yang penuh dengan korupsi dan permainan jual-beli kekuasaan. Ungkapan "jam karet", "semangat tempe", "parlemen yesmen", "ABS" (asal bapak senang), dan semacamnya adalah ungkapan yang menyatakan kekecewaan umum terhadap apa yang terjadi dalam masyarakat.
Tentu bukan hanya tentang perbuatan yang menyeleweng lahirnya ungkapan-ungkapan baru. Sistem demokrasi yang sekarang dianut bangsa Indonesia dan berbeda dengan sistem feodal yang dahulu dianut oleh masyarakat di seluruh Indonesia, melahirkan ungkapan-ungkapan yang sejalan dengan paham yang dianut sekarang seperti "sama rata sama rasa", "berdiri sama tinggi duduk sama rendah", "bersuara vokal" (menyampaikan aspirasi rakyat), "turun ke bawah", " berani pasang badan", dan banyak lagi. Semuanya itu terbentuk dan diterima oleh masyarakat pengguna bahasa Indonesia sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia.
Akan tetapi, banyak juga ungkapan yang hanya muncul sebentar kemudian dilupakan karena tidak lagi sesuai dengan perkembangan masyarakat, misalnya "setan desa", "penyambung lidah rakyat", "orang hutan" (untuk menyebut gerombolan DI/TII), "sumbangan wajib", "maju terus, pantang mundur!", dan lain-lain.
Dengan demikian, ungkapan adalah ekspresi setiap bangsa sepanjang sejarahnya, sesuai dengan perkembangan masyarakat. Ungkapan adalah bukti kreativitas sesuatu bangsa dalam pemakaian bahasanya. ***
Penulis, budayawan.
Opini PIkiran Rakyat 13 Maret 2010