TRAGIS, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan rentetan peristiwa hukum akhir-akhir ini. Penegakan hukum dalam dinamika kehidupan negara bangsa Indonesia, sungguh luar biasa tegaknya dan atau tajamnya ketika berhadapan dengan orang-orang kecil dan lemah. Tumpul bahkan tidak memiliki gigi untuk "menggigitnya" manakala bersentuhan dengan orang-orang yang me-miliki kemampuan akses kekuasaan politik dan ekonomi.
Oleh karena itu, sangat wajar persoalan penegakan hukum menjadi sorotan yang serius berbagai kalangan. Fakta sosialnya telah mengiris keadilan publik dalam penegakan hukum di Indonesia. Nasib pahit menimpa Supriyono (19) dan Sulastri (19) suami istri yang dituduh mencuri setandan pisang yang sedang diadili di PN Bojonegoro, Jawa Timur, serta Aspuri yang dituduh mencuri sehelai kaus yang mendekam di penjara dan terancam hukuman lima tahun penjara, serta sederet kasus yang menimpa mereka yang tidak mampu.
Pada titik simpul inilah, pertanyaan yang menggelitik publik, betulkah itu sebagai indikasi penegakan hukum demi keadilan? Atau, memang sebagai rangkaian gundah gulana, hukum sesungguhnya tidak mampu memberikan keadilan bagi orang-orang tak mampu? Atau penegakan hukum memang seperti yang disebutkan Thomas Hobbes sebagai leviathan, yang hanya mampu menerkam yang lemah?
Indonesia sebagai negara hukum, sudah sangat jelas sebagai pilihan (Pasal 1 ayat (3) UUD ’45). Prinsip supremasi hukum sebagai nilai dasar demokrasi seiring dengan nilai-nilai dasar demokrasi lain seperti good governance, kebebasan media massa, kekuasaan kehakiman yang merdeka, promosi dan perlindungan hak asasi manusia, kontrol sipil terhadap militer, dan lain-lain, bukan hiasan semata yang tidak menyentuh kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hakikat supremasi hukum, sesungguhnya bagaimana jalan untuk masuk memperoleh keadilan secara niscaya harus terbuka lebar, terutama bagi mereka yang menjadi korban malapraktik. Elemen-elemen negara harus tunduk pada hukum yang berlaku, hukum harus ditegakkan secara adil, tanpa diskriminasi, untuk menjamin kepastian hukum. Tanpa mampu untuk itu, berarti fungsi hukum yang mengandung misi menciptakan peradaban, memelihara peradaban, dan membangun peradaban, sesungguhnya terpuruk dalam genggaman ketidakadilan itu sendiri.
Equality before the law, sebagai prinsip yang fundamental (sama di muka hukum), memang tidak kenal adanya diskriminasi atas dasar apa pun. Namun, realitas sosialnya justru asimetris. Artinya, marginalisasi terhadap yang tidak mampu dalam proses penegakan hukum, acap terulang dan terulang. Oleh karena itu, menegakkan hukum mestinya juga melihat dampak ke depan (maksudnya, sejauh mana perbuatan tersebut dapat merugikan atau berpengaruh lebih luas terhadap kehidupan).
Tatanan aturan dan implementasi hukum, demi keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum, tidak melulu pada prosedural formal yang kaku, tetapi harus menyentuh pula pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan substantif. Bukankah dalam kredo/kaidah hukum itu sendiri ada konsep diskresi? Atau memang diskresi itu diterapkan secara diskriminatif dalam penegakan hukum? Adanya kewenangan diskresi, sebagai pengecualian terhadap penerapan asas legalitas, memungkinkan perkara tersebut cukup diproses atau diselesaikan melalui mekanisme sosial atau tata cara adat, atau kekeluargaan, dan tidak perlu repot-repot diproses dalam berita acara pemeriksaan (lihat UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri).
Penyelesaian perkara di luar sidang pengadilan atau secara nonyustisia, tentu saja menjadi bermakna terhadap perkara-perkara yang tergolong ringan, karena kerugian atau dampak yang ditimbulkan relatif kecil. Toh, perkara Bibit-Chandra pun penyelesaiannya demikian.
Tragis memang, penegakan hukum di negeri ini. Sangat masuk akal dan wajar bila publik mencurigai penegak hukum tidak lagi independen/merdeka, karena ada kesan penegak hukum tersebut dapat diatur "tangan-tangan tersembunyi" yang digdaya.
Sifat hakiki hukum sesungguhnya adalah keadilan. Oleh karena itu, penerapannya dalam kasus-kasus tertentu niscaya harus memperhatikan dengan seksama keadaan sosialnya. Dengan demikian, tuntutan terhadap keadilan, yang menjadi problematika sosial akhir-akhir ini, tidak semata keadilan prosedural dengan dalih penegakan hukum. Namun, sesungguhnya justru menyakitkan rasa keadilan.
Keadilan prosedural belum mampu menjawab kebutuhan keadilan substantif. Keadilan substantif seharusnya menjadi perspektif dalam merumuskan keadilan prosedural sehingga dari sana kepastian dan keadilan hukum tentu saja terjamin. Di dalam keadilan substantif tersebut berarti adanya aspek keadilan sosial dan HAM. Sepatutnya penegakan hukum menjadi perekat kohesi sosial bila dalam pelaksanaan kepastian hukumnya dijiwai dengan kepastian keadilan. Jika tidak adil, kepastian itu tidak ada!
Hukum harus menjadi perekat sosial. Oleh karena itu, pelaksanaannya adalah kepastian hukum. Kepastian hukum tersebut bisa eksis hanya bilamana ada kepastian keadilan. Jadi, penegakan hukum "tajam ke bawah dan tumpul ke atas", disadari atau tidak sesungguhnya sedang membangun keretakan atau kerusakan sosial dalam kehidupan negara ini.
Tentu saja, situasi terburuk itu tidak boleh terjadi. Itu sebabnya, sangat dinantikan penegakan hukum mampu menjangkau rasa keadilan masyarakat dan di ujung sana mampu berkorelasi dengan kesejahteraan, kemakmuran, dan kemartabatan masyarakat. Semoga tragedi penegakan hukum di negeri ini tidak berkepanjangan.***
Penulis, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan.
Opini Pikiran Rakyat 13 Maret 2010