29 Maret 2010

» Home » Media Indonesia » Sepak Bola tanpa Tiga K

Sepak Bola tanpa Tiga K

Ketika Rusia kehilangan kebanggaan akibat perestroika yang mereka jalankan, langkah yang dilakukan Presiden Valdimir Putin adalah membangun kembali persepakbolaan negeri itu. Di era Uni Soviet mereka pernah begitu dihormati dan memiliki pemain-pemain besar seperti Lev Yashin di tahun 1960-an atau Oleg Blokhin di tahun 1980-an.

Tidak mudah memang membangun kembali kebesaran itu. Tidak cukup hanya dengan mengagungkan kebesaran di masa lalu, tetapi dibutuhkan sebuah kerja keras.

Kerja keras yang dilakukan Rusia baru menemukan hasil pada 2008. Melalui sentuhan pelatih bertangan dingin asal Belanda Guus Hiddink, Rusia mampu menapaki kembali kelompok elite sepak bola Eropa dengan menembus semifinal Piala Eropa 2008.



Kepemimpinan yang kuat dari asosiasi sepak bola menjadi faktor penentu kemajuan sepak bola sebuah negara. Pemimpin bukan hanya harus memiliki visi sepak bola yang jelas, melainkan harus melengkapi dengan Tiga C, yaitu character, competency, dan connection atau dalam bahasa Indonesia disebut Tiga K, yaitu karakter, kompetensi, dan koneksi.

Karakter menjadi faktor yang paling penting karena sepak bola, seperti halnya cabang olahraga lainnya, berkaitan dengan pembinaan dan pembentukan generasi muda. Melalui sepak bola kita ingin membentuk anak-anak muda untuk memiliki sikap disiplin, sportif, jujur, hormat kepada yang namanya pelatih, mau bekerja sama, dan pantang menyerah.

Pemimpin organisasi olahraga bukan sekadar pemimpin organisasi biasa, tetapi dia adalah anutan. Ia harus merupakan orang yang terhormat dan tanpa cacat karena ia akan menjadi pembina untuk generasi mendatang.

Hal ini berlaku universal. Yang namanya pemimpin cabang olahraga, pada dirinya melekat peran pembina. Ketika pemimpin itu tidak menunjukkan karakter yang baik, secara sportif mereka akan meletakkan jabatannya untuk digantikan oleh mereka yang dianggap lebih baik.

Itulah yang dilakukan Presiden Asosiasi Sepak Bola Serbia (FSS) Zvezdan Terzic. Karena diduga mengambil keuntungan dalam transfer pemain, Terzic memilih mundur dari jabatan.

Ia secara sportif meletakkan jabatan pada 12 Maret 2008 karena ia tidak mau dirinya menjadi penghambat perkembangan sepak bola Serbia. "Saya bangga dengan apa yang telah saya lakukan untuk sepak bola Serbia, mulai sebagai pemain, direktur klub, hingga menjadi Presiden FSS. Namun, dengan kondisi yang sedang saya hadapi, tidak bisa lain kecuali saya mengundurkan diri dari jabatan saya," kata Terzic.

Sengaja kita angkat contoh kasus Terzic untuk menunjukkan bahwa menjadi pemimpin asosiasi sepak bola bukan semata-mata untuk kepentingan diri sendiri. Menjadi pemimpin asosiasi sepak bola bukan demi keharuman nama pribadi. Menjadi pemimpin asosiasi sepak bola adalah sebuah tanggung jawab membangun kebanggaan terutama bagi kaum muda agar menjadi kebanggaan bangsa dan negara.

Inilah yang tidak dimiliki oleh kita. Terutama Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) yang menganggap jabatan yang diembannya sebagai hak pribadi. Ia lupa akan hak publik karena PSSI bukanlah perusahaan pribadi yang bisa dibuat sesuka hatinya. Ada pertanggungjawaban publik yang melekat pada jabatan tersebut.

Apa tanggung jawab publik itu? Pertama, pembinaan kepada generasi muda. Ia harus menjadi contoh yang baik karena ia adalah anutan.
Nurdin Halid harus mau mengakui bahwa dirinya tidak bisa menjadi anutan yang baik. Setidaknya kasus korupsi yang dilakukan dan telah dibuktikan bersalah oleh pengadilan menunjukkan bahwa ia bukanlah anutan yang baik bagi anak-anak muda. Kalau ia bekas seorang olahragawan seperti halnya Terzic, secara sportif seharusnya ia mengundurkan diri.

Kedua, berkaitan dengan kompetensi yang tidak dimiliki. Sepanjang tujuh tahun kepemimpinannya prestasi sepak bola Indonesia tidak pernah bisa beranjak. Bahkan prestasi sepak bola nasional menjadi titik nadir di ajang SEA Games XXV di Laos.

Buruknya prestasi sepak bola Indonesia juga bisa dilihat dari kualitas klub-klub ketika bertanding di ajang internasional. Klub-klub Indonesia bukan tidak mampu bersaing di ajang internasional, tetapi menjadi bulan-bulan klub lain.

Hal itu diperparah dengan kompetisi yang sarat dengan permainan. Pengaturan skor begitu menonjol, di samping kompetisi yang sering diwarnai insiden, baik yang dilakukan pemain di lapangan maupun penonton di luar lapangan.

Sepak bola di Indonesia tidak lagi menjadi kompetisi yang menghibur dan menyehatkan, tetapi sudah berubah menjadi tontonan yang menakutkan. Perusakan fasilitas publik begitu sering terjadi karena pimpinan sepak bola kehilangan kredibilitasnya.

Faktor ketiga adalah koneksi. Pembinaan sepak bola sebagai pembinaan bangsa tidak mungkin dilakukan sendiri. Dibutuhkan adanya dukungan dari pemerintah untuk penyediaan infrastruktur, kalangan dunia usaha untuk pendanaan, dan masyarakat sebagai penopang keberhasilan.

Ketidakmampuan pimpinan PSSI dalam membangun koneksi membuat institusi itu ibarat berjalan sendiri. Pemerintah tidak mendukung kegiatan PSSI karena sudah kehilangan kepercayaan pada pimpinannya. Demikian pula dengan kalangan dunia usaha yang enggan untuk ikut terlibat dalam pembiayaan sepak bola karena pertandingan sepak bola bukanlah kegiatan yang menghibur dan menyehatkan.

Masyarakat sendiri merasa enggan mendukung sepak bola karena di samping prestasi yang tidak bisa dibanggakan, tidak ada manfaat yang bisa dipetik. Dalam konteks memberi hiburan, sama sekali tidak ada yang bisa diberikan dari pertandingan sepak bola di Indonesia. Yang ada hanyalah ketakutan, karena pertandingan sepak bola selalu diwarnai dengan kerusuhan.

Dalam konteks itu saatnya PSSI harus melakukan perombakan besar-besaran. Terutama di sisi kepemimpinan, PSSI membutuhkan figur baru yang mampu membangunkan harapan.

Kongres Sepak Bola Nasional yang akan digelar di Malang, Jawa Timur, pada 30 dan 31 Maret merupakan momentum untuk melakukan perubahan besar. Semua pemangku kepentingan harus terbuka karena ini berkaitan dengan nasib persepakbolaan nasional kita ke depan. Tidak ada satu pun yang berhak untuk mengklaim menjadi pemilik sepak bola, apalagi mengatakan sebagai hak yang tidak bisa diganggu gugat.

Sudah terlalu lama persepakbolaan Indonesia terpuruk. Terakhir pada 1991 ketika Tim Merah Putih keluar sebagai juara di SEA Games Manila. Kita harus bangkit kembali dengan kepemimpinan yang segar, ide yang segar, dan semangat yang segar, karena itulah kunci untuk membangun kembali kebanggaan.

Oleh Suryopratomo Direktur Pemberitaan Metro TV
Opini Media Indonesia 30 Maret 2010