29 Maret 2010

» Home » Kompas » Menggugah Sadar Bencana

Menggugah Sadar Bencana

Catatan ini berangkat dari pengalaman istimewa Bupati Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, HM Idham Samawi saat menghela kendali pemerintahan lokal menghadapi bencana gempa bumi berdaya rusak tinggi, 27 Mei 2006. Idham memetik buah pemikiran paling mendasar tantangan ke depan, yaitu membangun atau menggugah kesadaran baru sadar bencana.
Sadar bencana, baik bagi masyarakat maupun pemerintah. Keduanya mesti sadar akan kebutuhan ”desain besar” menghadapi kenyataan alam negeri ini yang menyimpan potensi bencana.
Idham Samawi mengemukakan hal itu di dalam makalah tertulisnya, Refleksi Pengalaman Penanganan Bencana Alam Gempa Bumi, untuk Diskusi Panel Kompas bertema ”Membangun Manajemen Bencana yang Andal”, Desember lalu. Sadar bencana dan kebutuhan desain besar menghadapi potensi bencana, menurut Idham, bermuara pada masalah krusial, yaitu kesiapan.


”Kesiapan yang baik bukanlah suatu kesiapan pengetahuan kapan bencana akan datang. Kesiapan yang baik adalah kemampuan menghadapi situasi sulit dan beban besar yang datang secara mendadak,” kata Idham.
Mari’e Muhammad dalam diskusi menyajikan pengalaman penanggulangan bencana. Dia menyebutkan, manajemen penanggulangan bencana yang tidak profesional menjadi kendala selama ini, yaitu karena masih berlaku pendekatan yang birokratis. Yang muncul kemudian adalah lemahnya koordinasi akibat egoisme sektoral. Situasi sulit dan beban besar yang datang secara mendadak akibat bencana, seperti dimaksud Idham, tidak mudah ditangani dengan kondisi seperti itu.
Sri Widiyantoro mengutarakan pandangan bahwa masyarakat Jepang, negara yang memiliki kerentanan tinggi terhadap gempa bumi, telah memiliki kesiapan itu. ”Sebenarnya, itu mudah ditiru,” ujarnya.
Butuh manajemen bencana
Keprihatinan tentang minimnya kesadaran baru sadar bencana itu diungkap Victor Rembeth. Menurut dia, tidak ada satu pun dari calon presiden dan wakil presiden pada Pemilihan Umum 2009 yang menyinggung prioritas penanganan bencana. Padahal, dia menegaskan, Indonesia dilahirkan dan tumbuh dengan bencana. Indonesia sekarang membutuhkan manajemen bencana yang cerdas. Menggugah kesadaran baru sadar bencana, seperti diungkap Idham, nyata dibutuhkan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah sebagai pijakan awal.
”Manajemen bencana yang cerdas adalah ketika semua pemangku kepentingan bisa membagi peran dalam sebuah koordinasi yang baik,” kata Victor. Model manajemen bencana selama ini masih reaktif. Terdapat sinyalemen ketidaksiapan pengambil kebijakan yang mengakibatkan gagal koordinasi. Fatalnya, semua bermuara pada keluhan tidak berfungsinya ”negara” dan perangkat pemerintahannya dalam menangani bencana.
Kondisi itu tak dapat disangkal. Pada kenyataannya, setiap kepala daerah—mulai dari di tingkat paling bawah, seperti kepala desa atau kelurahan, camat, bupati, atau wali kota, sampai gubernur—hingga kini jarang dibekali kapasitas manajemen bencana. Paparan daerah rawan bencana, seperti banjir, tanah longsor, ataupun gabungan keduanya, sudah dipetakan institusi terkait, misalnya oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional bekerja sama dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Namun, peta kerentanan jarang pula disikapi dengan konkret.
Mari’e menyatakan, pendekatan dasar untuk manajemen bencana saat ini adalah bagaimana memperkuat dan memberdayakan kepemimpinan lokal.
Pada intinya ada empat tantangan utama pemerintah. Pertama, memastikan ada sinkronisasi antara peraturan dan kelembagaan. Ego sektoral sekarang menyebabkan Kementerian Kesehatan selalu mengeluarkan angka, padahal seharusnya itu kewenangan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Tantangan kedua adalah memastikan adanya koordinasi interaksi antarmulti-stakeholder (pemangku kepentingan).
Tantangan ketiga adalah memastikan ketersediaan kapasitas yang memadai. Menurut Victor Rembeth, selama ini di beberapa lokasi bencana yang tampak adalah klaster-klaster regu negara asing. ”Ini adalah bagaimana kita memperkuat BNPB yang ada, bukan malah memojokkannya sehingga tidak berfungsi sama sekali,” tutur Victor.
Tantang keempat yaitu memastikan ada proses konsultasi keikutsertaan masyarakat; agar secara partisipatif masyarakat bisa saling menolong.
Sejalan dengan itu, Idham mengungkapkan, pemimpin lokal, selain sadar bencana, dituntut mengetahui kebutuhan ”desain besar” dalam menghadapi kenyataan alam yang menyimpan potensi bencana. Pendekatan sudut pandang korban amat penting guna menentukan desain besar manajemen pascabencana.
Kesiapan menentukan desain besar manajemen pascabencana, menurut Mari’e, harus didasari pengetahuan potensi bencana. Pemetaan kondisi kerentanan bencana harus tersedia sampai pada tingkat pemerintah kabupaten, bahkan kecamatan. Masyarakat sampai di tingkat akar rumput semestinya tahu potensi bencana yang mereka hadapi bahwa, ”Kita sekarang dipaksa harus bersahabat dengan bencana,” kata Mari’e.

 Opini Kompas 30 Maret 2010