29 Maret 2010

» Home » Kompas » Jangan Hanya Diberi "Ikan"

Jangan Hanya Diberi "Ikan"

Menyikapi bencana yang terus terjadi sepanjang tahun 2009, Ko m p a s dan Medco menyelenggarakan diskusi panel ”Membangun Manajemen Bencana yang Andal” pada 7 Desember 2009. Sebagai pembicara: Ketua PMI (waktu itu) Mari’e Muhammad, Ketua Kelompok Keahlian Ilmu dan Teknik Geofisika Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB Sri Widiyantoro, pendiri Medco Arifin Panigoro, Wakil Direktur Yayasan Tanggul Bencana Indonesia Victor Rembeth, Penanggung Jawab Posko Jenggala Andi Sahrandi, Dosen Departemen Teknik Kimia ITB Mubiar Purwasasmita, Ketua Ikatan Arsitek Indonesia Endy Subijono, Dewan Pemerhati Hutan Lingkungan Tatar Sunda Bambang P Nugroho, dan Bupati Bantul Idham Samawi (menyertakan makalah). Moderator Hening Parlan.

***
Adalah nasib para korban bencana, tenaga sukarelawan dan bantuan berbondong datang saat tanggap darurat; seusai tanggap darurat, usai pula perhatian kepada mereka.
Fenomena semacam itulah yang jamak terjadi di negeri ”disaster supermarket” ini. Victor Rembeth mengemukakan, dilandasi semangat karitatif, yang menjadikan para korban yang selamat sebagai penerima manfaat (beneficiaries) belaka, manajemen bencana kita sering sekadar etalase pameran kebaikan para dermawan terhadap penerima bantuan yang tidak menghasilkan dampak penguatan dalam setiap ranah bencana.
Persoalan mentalitas karitatif ini memang erat dengan falsafah penanganan bencana yang sekadar post factum, ad hoc, dan berwujud pada respons tanggap darurat semata.
Padahal, pembiayaan aktual penanganan bencana berbasis respons tanggap darurat dari tahun ke tahun terus meningkat. Oxfam mencatat, belanja bantuan kemanusiaan tahun 2006 mencapai 14,2 miliar dollar AS (sekitar Rp 128 triliun) dan meningkat sampai 25 miliar AS per tahun (sekitar Rp 225 triliun). Tearfund, sebuah lembaga sosial internasional, memperkirakan, setiap 1 dollar AS investasi untuk mempersiapkan bencana akan mampu menghemat 4-10 dollar AS belanja perbaikan kembali akibat bencana.
Latar belakang pendekatan kuratif ini cukup kompleks. Menurut Victor, selain latar belakang teologis yang kuat, yaitu bencana dipandang sebagai takdir sehingga menafikan kapasitas manusia untuk bertahan, alasan praktis kerap berbuah peringkat prioritas yang rendah pada manajemen bencana. Badan PBB urusan Strategi Internasional Pengurangan Dampak Bencana mencatat, 94,25 persen korban meninggal akibat bencana pada 1975-2000 adalah orang miskin—kelas menengah ke bawah. ”Maka, kita mesti bicara penguatan masyarakat,” ujarnya.
Saat melakukan penguatan pada masyarakat berdasarkan pendekatan manajemen pengurangan risiko, Mari’e Muhammad mengingatkan, langkah ini perlu dilakukan dengan hati-hati karena masyarakat mengalami trauma. ”Salah-salah bisa counter productive,” ujarnya. Untuk mengajarkan tentang dampak tsunami, perlu dilakukan di surau atau kelompok masyarakat agar tak menimbulkan ketakutan.
Palang Merah Indonesia (PMI) sebagai organisasi kemanusiaan untuk penanganan bencana, seperti diungkapkan Mari’e Muhammad—ketika itu ia adalah Ketua Umum PMI—selalu melakukan field assessment (penilaian lapangan) sehingga tahu benar petanya, siapa yang harus dibantu apa.
”Assessment itu penting untuk menyusun program-program agar tidak tumpang tindih supaya bantuan betul-betul sampai, jangan orang yang seharusnya mendapat bantuan tidak dapat bantuan,” tutur Mari’e.
Memberikan bantuan di saat tanggap darurat sering kali dianggap sebagai hal yang remeh-temeh. ”Orang-orang dari kalangan pemerintah selalu bilang ada beras sekian ada Supermie sekian, padahal para korban bencana itu tidak makan beras dan Supermie. Semua hancur lalu mau memasak pakai apa,” katanya. Mestinya yang diberikan adalah makanan siap saji dan makanan siap makan. Tak banyak yang tahu bahwa sudah ada makanan nutrisi tinggi yang dikemas seperti pil.
Yang memprihatinkan, korban sering dipaksa berjuang sesuai prinsip survival of the fittest—yang kuat yang bertahan—seperti ketika bantuan dilempar-lemparkan dari pesawat.
Membantu diri sendiri
   Ketika hampir semua penanganan bencana dilakukan dengan pendekatan respons tanggap darurat, Andi Sahrandi dari Posko Jenggala yang dibentuk Arifin Panigoro, pendiri Medco, menegaskan, setidaknya ada dua tahapan, yaitu masa tanggap darurat dan masa pemulihan.
Strategi penanganan yang dilakukan adalah menumbuhkan kesadaran untuk membantu diri sendiri. Jangan sampai pihak yang membantu meninabobokan para korban dengan hanya memberi ”ikan” dan bukan ”kail”. ”Saya bilang, saya mau bantu kalian kalau kalian mau membantu diri kalian. Buat apa saya membantu orang kalau orangnya sendiri tidak mau membantu dirinya sendiri,” papar Andi.
Alhasil, masyarakat mau bergotong-royong membangun rumah. Mereka diminta menyumbangkan yang mereka miliki, sisanya dibantu Posko Jenggala. Kalau punya tenaga, ya, menyumbang tenaga.
Hasilnya, seperti dilakukan Posko Jenggala di Pariaman, Sumatera Barat, tak ada orang yang tak bekerja dan tidak ada kesedihan di muka anak-anak. ”Semua berlomba mendapat rumah baru,” ujarnya.

Opini Kompas 30 Maret 2010