29 Maret 2010

» Home » Suara Merdeka » Gayus, Pajak, dan Pembuktian

Gayus, Pajak, dan Pembuktian

NAMA Gayus H Tambunan, staf ”biasa” di kantor Ditjen Pajak di Jakarta secara tiba-tiba terkenal pada pekan-pekan belakangan ini. Siapa mengira PNS golongan III a itu yang semula ”lega” karena sudah dinyatakan terbebas dari tuntutan jaksa penuntut umum dalam kasus penggelapan pajak sekarang diburu. Bahkan dia merasa perlu angkat kaki dari Indonesia gara-gara silang sengketa dalam institusi Polri.

Awalnya bisa saja Gayus merasa telah begitu nyaman dalam posisinya. Pertama; dia merasa yang dilakukannya merupakan hal ”biasa” di lingkungan kerjanya, bahkan tidak hanya dirinya yang melakukan praktik tersebut. Kedua; dia merasa nyaman karena rekening yang diakui sebagai miliknya telah dengan ”sukses” dipersilakan oleh penyidik Polri untuk dicairkan kembali.


Bahkan Gayus melakoni statusnya sebagai tersangka hingga terdakwa kasus penggelapan pajak miliaran rupiah tanpa sorotan bombastis media massa.  Perjalanan kasus Gayus bisa dikatakan cukup fantastis, bahkan Jaksa Agung merasa ada kejanggalan. Kita semua menjadi makin paham bahwa perjalanan suatu kasus untuk mencari sebuah kebenaran materiil sebagaimana diamanatkan oleh KUHAP hingga saat ini masih mudah diotak-atik oleh pihak-pihak yang seharusnya menjadi pilar penegak hukum.

Kadiv Humas Mabes Polri dalam keterangannya (SM, 25/3/10)  meyebutkan bahwa dalam penyidikan Polri, Gayus dijerat dengan beberapa pasal secara kumulatif yaitu pencucian uang, penggelapan, penyuapan, dan korupsi. Sampai dengan P21 (berkasnya dinyatakan lengkap oleh kejaksaan) masih dengan kondisi demikian, namun ketika maju ke sidang pengadilan hanya satu pasal yang muncul, yaitu pengelapan.
Pembuktian Terbalik Asas pembuktian terbalik (verkllaring burden of proof) kita kenal sebagai salah satu instrumen penting dalam UU Pemberantasan Korupsi Nomor 20 Tahun 2001. Pasal 37 a Ayat (1) UU itu pada intinya menerangkan terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.

Pada Ayat (2) disebutkan bahwa dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan korupsi. Pada hakikatnya asas ini diharapkan dapat menjadi sarana yang mempermudah pekerjaan penyidik menangani kasus korupsi.

Pada kasus Gayus, langkah awal yang dilakukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ketika menemukan kejanggalan pada rekening Gayus dengan melaporkan ke Polri merupakan langkah tepat. Namun ketika kasus ini telah masuk sistem penyidikan hingga kemudian keluar vonis pengadilan ditengarai ada kejanggalan.

Sebenarnya  bila benar sampai dengan P21 penyidik sudah memasukkan pasal-pasal korupsi dan jaksa ternyata kemudian merasa kesulitan menemukan dalam mencari alat bukti yang tangguh, mengapa instrumen pembuktian terbalik tidak digunakan? Bukankah hakikat dari pasal tersebut  menjadi sarana yang bisa mempermudah pekerjaan penyidik menangani korupsi.

Sungguh sangat disayangkan bila akhirnya sebagai jalan pintas jaksa penuntut umum hanya mendakwakan pasal penggelapan. Bukankah justru itu pasal yang teringan? Apa yang dicari sebenarnya dalam kasus tersebut, yang paling mudah pembuktiannya agar jaksa tidak repot karena saking besarnya jumlah uang yang disita?  Ataukah dari awal sudah dapat terbaca hanya pasal penggelapanlah yang bisa ”menyelamatkan” terdakwa?

Memahami kembali keberadaan asas pembuktian terbalik, menjadi sangat penting untuk menjadi prioritas bagi penegak hukum dalam menangani kasus-kasus semacam ini. Karena umumnya keberadaan uang yang amat sangat besar sering membuat pusing penegak hukum, karena biasanya uang tersebut ”mengalir sampai jauh” ke banyak rekening yang tampak legal.

Terkuaknya kasus Gayus semoga menjadi sebuah momentum tepat untuk kembali memahami bahwa sudah seharusnya penegak hukum selalu memiliki kemampuan prima dalam menerapkan asas-asas perundangan yang ada. Namun demikian justru kemampuan mengolah rasa keadilan (zaakwargeit-heid) masyarakat  jangan pernah dilupakan untuk selalu diasah.
Pada sistem yang dianut baik oleh penyidik Polri maupun kejaksaan, dalam melaksanakan tugasnya penyidik di kedua institusi tersebut selalu berkoordinasi (rendik, rentut) kepada atasan secara berjenjang.

 Sehingga hasil akhir yang kemudian dikeluarkan sangat mustahil berupa pemikiran satu otak personel saja. Apalagi untuk kasus dengan kerugian yang sangat besar.

Pada masa mendatang sudah seharusnya konsep pembuktian terbalik menjadi titik awal pijakan untuk segera menyusun kemudian mengundangkan ketentuan khusus yang mengatur  perihal pembuktian terbalik.

Ketentuan pembuktian terbalik ini, di samping berhubungan dengan korupsi juga berkait dengan tindak pidana suap. Sehingga akan sangat tepat bila ketentuan perundangan ini utamanya ditujukan kepada penegak hukum termasuk di dalamnya aparat di lingkungan Ditjen Pajak, Bea dan Cukai dan pejabat-pejabat lain yang memegang kendali atas kebijakan strategis yang berhubungan dengan keuangan negara. (10)

— Hibnu Nugroho SH MH, dosen Fakultas Hukum Unsoed, mahasiswa program S3 ilmu hukum Undip
Wacana Suara Merdeka 30 Maret 2010