19 Maret 2010

» Home » Solo Pos » NU di persimpangan jalan sejarah

NU di persimpangan jalan sejarah

Pekan depan Muktamar ke-32 NU akan dilaksanakan. Tanggal 22 Maret nanti, Kota Makassar menjadi tempat para Nadhliyin untuk menyelenggarakan hajatan demokrasinya. Hajatan besar rutin lima tahunan NU tersebut tentunya selain untuk memilih Ketua Tanfidziyah dan Rais Aam PBNU, juga bertujuan untuk menetapkan beragam kebijakan strategis ke depan.

Meskipun pelaksanaan Muktamar kali ini mundur dari jadwal yang telah ditentukan, pada tahun 2009, namun tidak mengurangi bara kompetisi antartokoh NU untuk menduduki dua posisi puncak tersebut. Tentunya perebutan kursi Ketua Tanfidziyah jauh sangat menarik dibandingkan kursi Rais Aam.

Siapa pun tokoh yang berhasil menggantikan KH Hasyim Muzadi sebagai Ketua Tanfidz PBNU ke depan, akan selalu berada dalam bayang-bayang keberhasilan mendiang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Selama kepemimpinan Gus Dur (1984-1999), PBNU mampu memainkan peran yang dinamis untuk menghela demokratisasi di bawah tekanan keras rezim Suharto yang represif. Di mana tekanan tersebut justru mampu memperkuat proses internalisasi NU.

Menaungi minoritas

Di tangan Gus Dur, NU menjadi sebuah kekuatan masyarakat sipil yang menonjol di luar arus utama Orde Baru. Bukan hanya menjadi benteng kuat Nadhliyin, NU justru jauh menaungi kelompok-kelompok tertindas dan minoritas sebagai inti kekuatan gerakannya. Dengan meninggalnya Gus Dur pada 30 Desember 2009 lalu, seakan menjadi tonggak kesadaran bagi para Nadhliyin untuk kembali mereguk peran NU yang sangat strategis dalam pergulatan dinamika bangsa.

Seketika pula romantisme NU era Gus Dur pun kembali menggelegak. Nampak bahwa Nadhliyin merindukan sosok Ketua Tanfidz PBNU yang egaliter, visioner dan sekaligus tangguh menghadapi tantangan.Kompetisi dalam Muktamar nanti akan diwarnai persaingan antar beberapa faksi ideologis, yang terdiri dari NU-Kultural, NU-Politik dan NU-Intelektual.

Dari beberapa nama calon ketua Tanfidz yang beredar, setidaknya dapat mewakili ketiga kekuatan tersebut semisal KH Salahuddin Wahid (NU-Kultural), Ali Maschan Moesa (NU-Politik) dan Ulil Absar Abdalla (NU-Intelektual).

Namun pembagian faksi ini tidaklah bersifat absolut, dikarenakan terkadang terdapat lintas peran dari para calon. Ini bisa dilihat pada posisi KH Said Agil Siraj ataupun Masdar F Masudi, sebagai NU-Kultural sekaligus NU-Intelektual. Ataupun figur Slamet Effendi Yusuf selaku NU-Politik dan juga NU-Kultural.

Nampaknya pertarungan pada Muktamar kali ini adalah milik faksi NU-Kultural dan NU-Politik, dan akan meminggirkan kelompok NU-Intelektual. Serangan terhadap ide-ide pluralisme-liberalisme dalam berbagai kegiatan pra Muktamar, jelas merupakan bentuk penolakan pada kekuatan intelektual NU yang terepresentasikan pada Ulil Absar.

Kemenangan dari calon Ketua Tanfidz sangatlah bergantung pada eksplorasi isu dan sentimen bagaimana meningkatkan peran dan posisi NU sebagai kontrol kekuatan Negara. Dan sepertinya keterjarakan NU dengan politik praktis menjadi basis tawaran dari kampanye semua calon.

Tak dapat dipungkiri bahwa NU dibawah kepemimpinan KH Hasyim Muzadi selama ini, lebih banyak berperan pada tingkatan eksternal, baik itu politik nasional maupun internasional. Hal ini seakan menafikan NU sebagai gerakan sosial dan bertransformasi sebagai gerakan politik semata. Dua Pemilu terakhir menjadi gambaran fakta betapa NU telah menjadi kendaraan politik bagi Muzadi.

Dukungan informal NU pada pasangan JK-Wiranto di pilpres 2009 justru berdampak negatif. Karena dalam pemerintahan Presiden Yudhoyono, tak ada satu pun representasi dari NU, sebagaimana terjadi pada pembentukan pemerintahan sebelumnya di era reformasi. NU pun seakan berhadapan vis a vis dengan negara, dalam konteks kepentingan elite. Sehingga hal tersebut menyebabkan ikatan kepercayaan antara Ulama dan umat Nadhliyin menjadi korban nyata atas langkah politik tersebut.

Evaluasi dan strategi

Tampaknya saat ini NU tengah berada di sebuah persimpangan sejarah. Keadaan yang sama dimana pernah dihadapi oleh Gus Dur tatkala berhadapan dengan Idham Chalid di awal tahun 1980-an. Stagnasi organisasi akibat kepentingan elite, menjadi basis gerakan reformasi NU oleh Gus Dur.

Oleh karena itu kepemimpinan NU ke depan harus melakukan strategi integral, yakni pertama, revitalisasi isu. NU perlu memberi arah pada pemilihan isu strategis yang sesuai dengan visi misinya. Isu yang terkait atas perbaikan kesejahteraan hidup umat, perlu mejadi prioritas. Kedua, rekonsiliasi dengan pemerintah.

Tak dipungkiri sikap politik pada Pilpres 2009 telah menjadikan NU pada posisi politik yang berseberangan dengan pemerintah. Namun hal tersebut lebih dikarenakan pilihan politik dari elite NU. Tatkala Pilpres telah berakhir maka sewajarnya NU kembali menjadi mitra strategis dalam proses membangun Umat. Dan ketiga, akomodasi pada seluruh kelompok faksi. Karena diperkirakan akan terjadi kompetisi yang keras maka akan berdampak pada kondisi faksionalisasi pascamuktamar. Merupakan sebuah kekayaan bagi NU manakala seluruh potensi kekuatan faksional terkonversi dalam sebuah gerakan sosial NU.

Strategi integral tersebut jelas bertujuan untuk menempatkan NU pada jalurnya. Dan jelas hal ini akan menjadi upaya awal NU untuk menentukan pilihannya dalam persimpangan sejarah. Maju ke depan bersama umat ataukah tersungkur mundur ditinggalkan umat dan teronggok dalam kotak sejarah? - Oleh : Karel Susetyo Analis Politik Charta Politika


Opini SoloPos 20 Maret 2010