19 Maret 2010

» Home » Lampung Post » Rencana Induk Kota di Lampung

Rencana Induk Kota di Lampung

Ricky P. Marly
Mahasiswa Jurusan Sosiologi FISIP, aktif di UKPM Teknokra Unila
Menyadari masalah urbanisasi di Indonesia yang kian hari kian bertambah sehingga menghasilkan kota-kota besar yang berkembang pesat dengan pertambahan penduduk yang besar pula. Hal ini mau tidak mau mendatang masalah yang cukup pelik untuk diatasi. Walaupun pemerintah maupun pihak swasta ikut terlibat dalam pembangunan kota, kurang dalam pengawasan dan kendali para penata dan pengelola kota.
Adanya masalah-masalah mendesak yang harus diatasi dalam kehidupan kota yang makin menjurus pada keadaan stagnasi dan kemacetan maupun terjadinya bencana. Sehingga timbul pertanyaan: "Dapatkah kota itu direncanakan perkembangannya sebelumnya, setidak-tidaknya untuk memproyeksikan perkembangan beberapa tahun mendatang?"


Di Indonesia memang belum banyak kota yang sudah mempunyai rencana induk kota (masterplan) yang ditujukan untuk mengendalikan perkembangan kota. Sebab ternyata, masalah rencana induk kota cukup kompleks untuk dapat menghasilkan produk yang diharapkan.
Memang kita semua menyadari bahwa sudah sejak lama dan sejak perencanaan kota dianggap sebagai salah satu alat untuk mengarahkan perkembangan kota. Perencanaan kota berkembang dengan didasari oleh pertimbangan arsitektural dan rekayasa (engineering).
Di Provinsi Lampung ada beberapa megaproyek yang akan laksanakan, di antaranya pembangunan jembatan Selat Sunda (JSS) yang menghubungkan Pulau Sumatera dan Jawa, water front city (kota tepi air di Telukbetung, Bandar Lampung), dan rencana pemindahan ibu kota Provinsi Lampung ke Kecamatan Natar. Selain itu ada pembangunan Metro Mega Mall yang masih bermasalah antara pihak pengembang, Pemkot Metro, dan masyarakatnya (pedagang).
Meskipun dalam perencanaan daerah yang bersangkutan sudah dicantumkan secara rinci pokok-pokok seperti pendapatan, investasi, sumber keuangan, kesempatan kerja, serta analisis sektoral, belumlah dijembatani jurang di antara pelaksanaan rencana dalam jangka waktu tertentu. Untuk dapat melaksanakan perencanaan daerah, demi perkembangannya dibutuhkan sarana-sarana kebijakan. Padahal tak seluruhnya itu dikuasai oleh para pejabat pemerintah daerah.
Rencana induk kota biasanya dibuat oleh tenaga-tenaga perguruan tinggi yang sering bukan berada di kota itu sendiri. Akibatnya cara pengumpulan data dan memandang masalah lebih bersifat akademis dari pada realistis. Serta kurangnya pengenalan akan masalah yang nyata menyebabkan rencana induk kota yang dibuat sering lebih bersifat teori dibandingkan praktis.
Proses penyusunan rencana induk kota sering melalui waktu bertahun tahun sampai pada penyelesaiannya dan proses diterimanya baik di tingkat lokal (kota) maupun nasional (Pemerintah Pusat). Hal ini merupakan proses yang panjang dan sering bertele-tele. Sehingga sering terjadi pada saat rencana induk kota itu diresmikan, pada saat itu pula perkembangan kota sudah tidak sesuai lagi dengan data-data masukan yang digunakan dalam penyusunannya semula. Akibatnya, rencana yang bagus itu menjadi kedaluwarsa atau malah mubazir.
Banyak perkembangan-perkembangan dan konflik-konflik dalam kota yang tak terduga dan tidak dapat direkam dalam penyusunan rencana induk kota. Karena perkembangan pasar lahan dalam kota besar bukanlah sesuatu yang mudah diatur, itulah sebabnya banyak orang bersikap pesimis dengan rencana induk kota.
Mustahil menyusun suatu rencana induk kota yang akurat dan dapat benar-benar dijalankan, lebih-lebih kalau kita merencanakan suatu rencana induk kota yang bersifat mendetail. Tetapi setidak-tidaknya suatu rencana induk kota yang bersifat garis besar perlu ada dan disusun untuk setidaknya dapat memproyeksi arah perkembangan kota tersebut, sambil diiringi dengan rencana-rencana setempat yang nyata (action planning).
Pertimbangan sosial ekonomi dan kecenderungan-kecenderungan masyarakat berpenghasilan rendah, yang umumnya masih berusaha di sektor informal perlu menjadi dasar pertimbangan. Rencana induk kota tersebut mengabaikan sebagian besar masyarakat kota di sektor informal tersebut yang notabene tempat mereka bekerja, berusaha dan memperoleh penghasilan. Dari pada hanya memperhatikan masukan segolongan "elitis" kota besar yang sebenarnya merupakan minoritas dalam kota tersebut.
Melihat pertumbuhan kota-kota yang pesat, sering tidak terkendali. Memang rencana induk kota bisa merupakan salah satu alat untuk mengatur dan mengendalikan perkembangan yang liar. Tetapi perlu disadari bahwa rencana itu perlu dilakukan dengan cepat dan praktis serta realistis. Kemudian disesuaikan dengan kenyataan dan bukannya dengan idealisme yang terlalu jauh, atau yang mencontoh kota-kota besar yang sudah lebih dahulu maju. Sebab, perkembangan kota-kota tidaklah sama evolusinya, tetapi masing-masing mempunyai ciri-ciri dan kepribadiannya sendiri.
Opini Lampung Post 20 Maret 2010