19 Maret 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Politik Kebangsaan NU

Politik Kebangsaan NU

Oleh As`ad Said Ali
Jumlah ormas keagamaan di Indonesia cukup banyak bila pengertian keagamaan meliputi agama-agama lokal, selain lima agama yang diakui secara resmi oleh negara. Kementerian Pendidikan Nasional harus mengawasi kurang lebih 246 organisasi agama lokal. Agama lokal ini keberadaannya diakui bukan sebagai agama, melainkan sebagai kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa.
Indonesia, tampaknya, adalah negeri paling majemuk dalam segala hal. Realitas seperti itu jelas akan menghadirkan tantangan-tantangan yang fundamental bagi implementasi gagasan negara bangsa Indonesia untuk mencapai cita-cita persatuan. Selama masa reformasi misalnya, ormas-ormas itu semakin bergairah mengembangkan eksistensi dan pengaruhnya.
Pada sisi yang lain, baik di lingkungan Islam, Kristen, Hindu maupun Buddha, sama-sama menghadapi situasi ketegangan internal karena berkembangnya pemikiran dan sikap keagamaan sekuler di satu sisi, dan radikal pada sisi lain pada ormas-ormasnya. Khususnya di kalangan Islam, hal itu bahkan menimbulkan persoalan berbangsa karena sejumlah ormas yang memiliki pemikiran dan sikap keagamaan radikal, membuka kembali debat mengenai relasi agama dan negara, satu hal yang asal-usulnya dapat ditelusuri sejak masa pembentukan negara. Mereka terdiri dua kelompok: pertama yang mencita-citakan berdirinya negara Islam. Kedua, yang menginginkan sekadar pengembangan syariat Islam melalui perda-perda Syariah. Eksesnya pun telah nyata, berkembangnya kecurigaan antargolongan agama.
Peran NU 

Peran NU dalam ikut menggagas, merintis, dan memperjuangkan berdirinya negeri ini, jelas sangat besar dan tidak bisa diingkari siapa pun. Bahkan, bersama Muhammadiyah, menjadi bagian inti dalam proses perumusan konstitusi negara, yakni Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, NU menjadi pemilik sah negeri ini. Atas dasar alasan historis ini sangat jelas, NU memiliki tanggung jawab terhadap masa depan Indonesia. Konsekuensinya, NU tidak bisa menafikan diri dari politik, yaitu politik kebangsaan untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Secara definitif cita-cita kemerdekaan itu dirumuskan di dalam Pembukaan UUD 1945. Bila kita derivasi ke level yang lebih kongkret, tujuan etis perjuangan politik kebangsaan NU adalah: pertama, mewujudkan cita-cita Ketuhanan; kedua, mewujudkan cita-cita persatuan; ketiga, mewujudkan cita-cita kesejahteraan dan keadilan; keempat, mewujudkan cita-cita demokrasi, keamanan, dan terciptanya ketertiban dan perdamaian dunia.
Cita-cita Ketuhanan menjadi arah penting bagi politik kebangsaan NU. Negara harus diletakkan secara proporsional sebagai instrumen untuk menciptakan suatu atmosfer yang dapat mendorong setiap warga negara, apa pun agamanya, dapat mencapai keselamatan dunia dan akhirat; tidak sebaliknya netral terhadap kepentingan ini. Itulah makna Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar filosofi negara. Namun, hal ini tidak berarti NU mendorong ke arah negara agama sebab batasnya sangat jelas yaitu kepentingan publik. Oleh karena itu, NU berkewajiban menumbuhkan semangat republik, prinsip yang didasarkan pada asas kewargaan sebagai basis utama paham kebangsaan.
Mengenai cita-cita persatuan, politik kebangsaan NU harus menumbuhkan semangat saling menghargai, baik antaretnis, suku, kedaerahan, agama, maupun golongan. Semangat ini harus ditumbuhkan dengan prinsip kekeluargaan sebagai dasar semangat kebangsaan kita. Prinsip kekeluargaan adalah spirit tolong-menolong yang di dalamnya terdapat elemen rasa persaudaraan dan saling mencintai. Spirit tolong-menolong juga menjadi lawan dari individualisme dan persaingan bebas. Cita-cita persatuan dan kesejahteraan harus dibangun di atas fondasi seperti itu. Tujuannya agar tercipta suatu persatuan dan kesejahteraan bersama, bukan atas golongan atau kelompok tertentu. Dengan demikian, keadilan ekonomi akan terwujud bagi semua dan persatuan menjadi lebih kokoh.
Banyak instrumen dan pendekatan yang bisa dipakai untuk mewujudkan cita-cita itu. Di lapangan ekonomi, NU bisa melakukannya dengan terus-menerus mendorong dan memperjuangkan agar kebijakan-kebijakan di bidang ekonomi dapat menjadi benang pengikat di antara semua elemen bangsa, antargolongan, suku, dan wilayah di Indonesia. Salah satunya peningkatan perdagangan antarwilayah. Di lapangan sosial bisa berupa pertukaran pelajar antarwilayah, hingga kolaborasi festival budaya misalnya. Cara-cara seperti ini akan meningkatkan silaturahmi antarsuku, golongan dan wilayah. Alhasil, rasa persaudaraan dan kekeluargaan akan menjadi lebih kokoh, selain dapat meningkatkan ikatan ekonomi secara nasional dan pemerataan kesejahteraan.
Keamanan secara substansial dibutuhkan justru untuk menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, bahkan untuk mencapai tujuan nasional itu sendiri. Namun, menciptakan keamanan tidak boleh mengorbankan cita-cita dan tujuan lainnya, misalnya meredam partisipasi politik. Itu sebabnya cita-cita persatuan berhubungan erat dengan cita-cita kesejahteraan dan keadilan serta cita-cita untuk mewujudkan demokrasi.
Di dalam konstitusi kita, cita-cita demokrasi dirumuskan dengan kata "kemerdekaan", bukan "kebebasan" (pasal 28 UUD 1945). Kemerdekaan adalah keadaan yang terbebas dari penindasan, baik terhadap hak-hak politik, ekonomi, maupun hukum menuju kemandirian. Dalam konstitusi kita, cita-cita keadilan politik dikonstruksi atas dasar pemberian hak politik dan kemerdekaan berpolitik; bukan kebebasan politik.
Sayangnya, akibat euforia politik, keadilan politik sering dikonotasikan dengan kebebasan un sich, bahkan demokrasi diartikan secara sempit hanya sebagai kebebasan. Demokrasi yang dibangun cenderung lebih banyak menekankan perluasan aspek kebebasan saja. Perjuangan politik kebangsaan NU harus meneguhkan kembali ide republik untuk menetralisasi kecenderungan-kecenderungan pemanfaatan demokrasi secara berlebihan. Koridor ini penting untuk mengimbangi potensi disinsentif dari liberalisasi politik yang terjadi belakangan ini.
Dengan kalimat yang lebih operasional, arah dan tujuan politik kebangsaan NU adalah membangun rumah Indonesia menjadi baldatun thayyibatun wo-robbun ghafur, tempat jemaah nahdliyin tinggal bersama saudara sebangsa yang lain. Sesungguhnya ini bukan sekadar tanggung jawab konstitusional NU, tetapi jelas-jelas kewajiban yang melekat karena NU adalah pemilik sah rumah Indonesia. K.H. Hasyim Asy`ari, K.H. Wahid Hasyim, dan K.H. Wahab Hasbullah adalah di antara tokoh NU yang ikut merancang dan mengonstruksi berdirinya rumah Indonesia. Oleh karena itu, NU wajib memakmurkan dan menjaga negeri ini. Inilah politik kebangsaan NU.
Wallahualam....***
Penulis, intelektual NU.
Opini Pikiran Rakyat 20 Maret 2010