23 Desember 2009

» Home » Media Indonesia » Kemunafikan Berdemokrasi

Kemunafikan Berdemokrasi

Belum kering tinta sejarah Pilpres 2009 yang menuliskan kesuksesan SBY sebagai presiden dengan raupan 62% suara rakyat dalam satu putaran. Kita juga dinilai dunia bagai 'macan demokrasi' yang mampu merangkum seluruh pluralitas dan kerumitan berdemokrasi dalam rengkuhan pemilu yang aman dan damai. Namun, belum sampai 100 hari pemerintahan SBY-Boediono, riak-riak demokrasi sudah menggerayangi kepemimpinan bangsa. Mulai dari kasus Bibit-Chandra yang terdistorsi dramaturgi politik hingga skandal Century yang berujung angket pansus di DPR.


Jantung demokrasi

Kecaman publik silih berganti mempertanyakan kompetensi negara menyelesaikan berbagai kebuntuan hukum terkait dengan nasib 230 juta rakyat. Perjuangan rakyat melawan ingatan pendeknya terhadap Orde Baru yang meninabobokan masyarakat dalam selimut stabilitas semu seakan menemukan momentum kritis ketika pemerintah terkesan lamban menyikapi praktik korupsi yang kian ganas. Kelambanan itu kian dipertajam upaya demistifikasi opini publik oleh negara sambil membiarkan rakyat disambangi kabut pesimistis.

Benarkah demokrasi pada 11 tahun terakhir ini sudah menolong penderita busung lapar, warga kumuh yang rentan terserang berbagai penyakit, rakyat yang tergusur, bahkan mereka yang mencuri atas nama sekarat karena lapar? Kalau sebelumnya rakyat murka mogok makan, membakar ban, membakar hasil panen atau menatap tajam foto-foto pemimpinnya, semuanya dilakukan karena merasa ada yang salah dengan jantung demokrasi kita. Para penguasa menantang politik absolutisme dan radikalitas, tapi di sisi lain tampang kebijakan kita selalu bermutlakkan narsisme.

Ralf Dahrendorf memang betul, di Eropa Timur butuh 60 tahun untuk membangun masyarakat sipil yang kuat. Namun, elite di negeri kita seakan belum sekalipun mematangkan kemauan moral mengibaskan debu tirani dari tapak kekuasaannya. Filosofi 'raja' yang memusnahkan perbedaan masih terus memenjarai ruang publik untuk menyatakan kebutuhannya. Aneh, di negara komunis sebesar China saja, konsep raja absolut cuma berlaku dalam teori. Karena kenyataannya dalam kerajaan China ada dewan sensor untuk mengawasi raja dan pejabatnya, bukan untuk mengawasi rakyat.

Sejak awal peradaban China, pada masa pemerintahan Shun 2255-2198 SM misalnya, seorang menteri bernama Kao-yao sudah mengatakan, "Surga mendengar dan melihat melalui telinga dan mata rakyat. Suara rakyat dianggap suara Tuhan. Betapa raja tak bisa berbuat sesuka hati, termasuk tidak seenaknya mengangkat anak dari selir kesayangannya untuk menjadi putra mahkota. Bahkan sering terjadi 'konflik' antara dewan dan raja soal kepentingan rakyat," (Lin Yutang dalam Berguru Demokrasi di China, Lion Books, 2007).

Rakyat tidak cuma simbol mati. Demokrasi rakyat hidup sebagai roh yang melampaui spirit dalam ritualitas kampanye dan prosedural pelaksanaan pemilu. Dalam keniscayaan pemikiran modern Roberth Dahl (1985) di buku anyarnya, A Preface to Economic Democracy itulah semestinya prosedur demokrasi harus diperluas ke ranah ekonomi. Itulah yang mestinya meresonansi langgam dan adab berdemokrasi kita. Saya terperanjat saat bagaimana orang-orang kaya baru berdasarkan survei Forbes melesat dengan nominal pendapatan fantastis US$250 juta sampai US$500 juta.

Ada juga orang kaya lama yang nilai kekayaannya mencapai US$2,5 miliar. Bahkan laporan World Wealth Report mengatakan pertumbuhan orang terkaya di Indonesia ada pada urutan ketiga setelah Singapura dan India. Ke-40 orang terkaya Indonesia itu jelas menjadi antitesa piramida dari orang miskin Indonesia yang kian berserakan. Sayang kita tak punya lembaga yang khusus menyurvei orang termiskin sebagai komparasinya. Meskipun sampai sekarang jelas-jelas tergeletak 40,4 juta orang miskin yang tak berdaya digilas mesin pembangunan yang tak adil.

Tocquiville sempat menegur, perkembangan ekonomi yang cuma berpihak pada kepentingan pribadi bakal mengancam bahkan mematikan demokrasi. Sebab kelak demokrasi itu akan menjadi demokrasi borjuis yang dihuni orang-orang makmur nan berduit.

Metanoia

Banyak negara menjadi tesis pembuktiannya. Salah satunya sebagaimana yang dikisahkan Charles Meyer dalam Derriere le sourire khamer (Asvi Warman Adam, Membedah Tokoh Sejarah Hidup atau Mati, 2009: 101-102). Ia menamakan 15 tahun masa pemerintahan Sihanouk (1955-1970) sebagai masa demokrasi terpimpin yang diwarnai politik dagang sapi. Pemusatan instrumen kekuasaan pada struktur elite demikian kental. Ia menggambarkan jumlah mobil pribadi selama 20 tahun di Kamboja meningkat 25 kali lipat. Korupsi sudah menjadi sesuatu yang melembaga.

Seorang pegawai negeri bergaji 5.000 riel bisa memiliki vila senilai 2 juta riel. Seorang menteri, jenderal, dan pejabat tinggi yang bergaji 10 ribu-25 ribu riel betapa dengan gampang memiliki mobil berdesain mewah. Pejabat yang duduk di tempat-tempat basah bisa mengantongi US$3 juta-US$5 juta per tahun.
Sihanouk memang pernah mengangkat seorang jenderal yang bersih, Saukham Koy, sebagai dirjen bea dan cukai untuk menekan ulah korup bawahannya, tapi tidak lama ia dicopot. Hal yang sama menimpa paman Sihanouk sendiri yang diangkat jadi menteri pembersihan aparatur negara pada 15 September 1956.

Dia membuat terobosan dengan mengumumkan operasi bersih dan mengumumkan belasan pejabat tinggi yang diduga korup sebagai sasaran kebijakannya. Bahkan pada sidang kabinet dia sempat berniat melakukan pengadilan luar biasa korupsi yang membuat Kamboja gempar. Sihanouk pada akhirnya memintanya mundur. Selepas itu, Kamboja terus tergerus dalam konflik politik. Nilai-nilai demokrasi dimodifikasi lewat radikalisasi penggunaan metode gun, goon and gold (senjata, pasukan, dan uang) yang menewaskan rakyat tidak berdosa.

Kita benci kemunafikan berdemokrasi. Korupsi, ketidakadilan, dan kemiskinan adalah alasannya. Maka pemulihan demokrasi menjadi terapi mendesak di negeri penuh narsistis ini. Di penghujung pergantian tahun kita butuh energi metanoia (pertobatan) demokrasi yang membuka ruang selebar-lebarnya bagi suara rakyat tanpa menyisakan rekayasa sistematik, intimidasi maupun curiga. Penting desakannya bagi seluruh lembaga kekuasaan baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif untuk mengapresiasi pikiran orisinal dan kebutuhan mendasar rakyat sandal jepit agar kita tidak terus ditampar kutukan kemapanan kekuasaan.

Suara rakyat perlu memperoleh tempat yang sempurna di setiap 'lorong-lorong' negosiasi dan eksekusi kebijakan publik karena 'suara Tuhan adalah suara orang lapar', dan 'ratapan orang lapar adalah ratapan Tuhan'.

Oleh Umbu TW Pariangu Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang; mahasiswa pascasarjana Fisipol, UGM
Opini Media Indonesia 23 Desember 2009