23 Desember 2009

» Home » Republika » Pemicu atau Pencegah Korupsi?

Pemicu atau Pencegah Korupsi?

Kurniasih Mufidayati
(Anggota DPRD DKI Jakarta)


Ada yang menarik di forum peringatan 10 tahun kelahiran Komnas Perempuan pada 30 November lalu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebut bahwa perempuan jarang terlibat korupsi.

Itu sebabnya, kata SBY, pemerintah akan mengutamakan pemberian pinjaman lunak kepada usaha-usaha yang dikelola oleh perempuan. Alasannya, di samping jarang sekali korupsi, perempuan juga tidak boros dan jarang gagal dalam mengembangkan usaha.

SBY juga menunjuk apa yang dilakukan oleh peraih Nobel Perdamaian asal Bangladesh, Muhammad Yunus. Yunus meraih nobel itu lantaran memberikan kredit lunak kepada kaum miskin Bangladesh. 

Presiden pada kesempatan itu juga berjanji akan lebih memberdayakan kiprah perempuan dalam pemerintahannya. Ia mencontohkan, dalam kabinet yang dipimpinnya saat ini terdapat lima perempuan yang menjadi menteri. Jumlah itu menurutnya masih sangat kecil. Ke depan, dia berharap jumlah menteri perempuan bertambah hingga 10 orang.

Meski tak menyebutkan data spesifik, SBY tidak sepenuhnya keliru dengan anggapan tersebut. Sebab, kebanyakan pesakitan yang duduk di kursi terdakwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah laki-laki. Tetapi, benarkah perilaku korupsi ditentukan sesederhana itu, oleh faktor gender?

Sementara di sisi lain, banyak kalangan justru menyebut perempuan sebagai pemicu terjadinya tindak korupsi. Pandangan ini bahkan seakan telah menjadi stigma di tengah masyarakat. Sangat sering kita mendengar komentar jika seorang lelaki terlibat korupsi, istrinya turut menjadi tertuduh. ''Itu karena istri terlalu banyak menuntut,'' kira-kira seperti itulah tuduhan yang dilontarkan. Tetapi, sesederhana itu pulakah tuntutan istri membuat seorang suami menjadi koruptor?

SBY boleh jadi mendasarkan asumsinya pada paper David Dollar, Raymond Fisman, dan Roberta Gatti dalam hasil penelitian Bank Dunia tahun 1999 yang bertema ''Are Woman Really The Fairer Sex; Corruption And Women In Government?''. Dalam papernya, Dollar, Fisman, dan Gatti menyimpulkan women less corrupt atau wanita tidak terlalu korup. Mereka berasumsi semakin besar keterlibatan perempuan di parlemen, semakin rendah tingkat korupsinya. Kesimpulan itu, menurut mereka, didasarkan pada beberapa hasil riset mengenai perbandingan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan.

Meski mengaku berdasarkan riset, kesimpulan semacam itu tentu sangat mudah dipatahkan. Sebab, generalisasi sikap dan tindakan hanya berdasarkan perbedaan gender itu sulit diterima kebenarannya secara metodologis.

Fakta di lapangan pun mengatakan seperti itu. Dalam sejumlah kasus korupsi, beberapa pelakunya juga berjenis kelamin perempuan. Dengan kata lain, perempuan sebagaimana halnya lelaki, sama-sama berpotensi untuk melakukan korupsi.

Apalagi, jika melihatnya dari perspektif kekuasaan. Adagium Lord Acton power tends to corrupt; absolute power, corrupts absolutely tidak menyebutkan pengecualian dalam gender untuk kecenderungan korup.

Di sisi lain, asumsi bahwa perempuan kerap menjadi pemicu terjadinya korupsi juga tidak kuat. Asumsi ini muncul bisa jadi karena di Indonesia pembagian kerja dalam hubungan perkawinan masih menempatkan perempuan 'hanya' sebagai ibu rumah tangga. Sementara laki-laki, adalah tiang penyangga utama perekonomian keluarga.

Dengan pembagian kerja semacam ini, jika sang suami melakukan korupsi akan muncul pandangan keliru bahwa sang istri yang mendorong suami untuk melakukan perbuatan tercela itu. Asumsi ini melupakan fakta bahwa lelaki juga punya potensi untuk melakukan apa pun tanpa sepengetahuan istri. Termasuk dalam hal ini, selingkuh dan bersenang-senang memuaskan diri sendiri, yang notabene semua dibiayai dengan uang korupsi. Kenapa? Agar uang gaji yang disetorkannya ke istri tetap utuh dan sang istri tak curiga. Oleh karenanya, cara pandang semacam ini pun tidak sahih.

Bukan masanya lagi mengedepankan asumsi tidak ilmiah bahwa perempuan merupakan pemicu terjadinya korupsi. Justru yang penting adalah berupaya meningkatkan peran perempuan dalam mendorong gerakan antikorupsi.

Peran paling mendasar yang bisa dilakukan perempuan adalah menanamkan nilai antikorupsi di tengah keluarga. Ini sangat mungkin dilakukan mengingat secara fakta mayoritas kalangan perempuan berposisi sebagai ibu rumah tangga.

Sebagai ibu, perempuan tentu lebih banyak waktu untuk berinteraksi dengan anak-anak. Dalam konsep Islam, ibu adalah madrasah (sekolah) bagi anak-anaknya. Dalam posisi ini, seorang wanita dapat mendidik bangsa untuk tidak menjadi koruptor dengan mendidik putra-putrinya untuk menjauhi asal muasal tindak korupsi, yakni ketidakjujuran.
Pendidikan keimanan dan pembiasaan pola asuh dengan kejujuran kepada anak sejak dini, diharapkan mampu melahirkan generasi antikorupsi.

Sebagai istri, seorang perempuan juga bisa berperan membentuk karakter suami menjadi manusia antikorupsi. Itu bisa dilakukan dengan cara komunikasi yang sederhana. Jika suami membawa uang ke rumah, seorang istri sepatutnya bertanya asal usul uang tersebut. Ini merupakan sebuah bentuk kontrol pada suami agar menghindari korupsi.

Peran domestik ini juga dijalankan bukan semata berdasarkan kepentingan pribadi, melainkan diletakkan dalam konteks pemberdayaan bangsa.

Dengan demikian, bukan semata merupakan manuver pribadi, melainkan bagian dari sistem yang bekerja untuk meningkatkan kualitas kehidupan bangsa.

Di samping peran domestik di rumah tangga, perempuan juga bisa berperan lebih luas dalam gerakan antikorupsi. Sayangnya, menurut banyak kalangan gerakan antikorupsi saat ini adalah gerakan maskulin.

Fakta menunjukkan para aktivis gerakan antikorupsi kebanyakan adalah kaum laki-laki. Sangat jarang perempuan yang tampil sebagai penggerak utamanya. Kebanyakan perempuan berada di posisi pendukung semata.

Karena itu, perluasan peran perempuan dalam gerakan antikorupsi perlu terus diakomodasi oleh siapa pun. Jika perjuangan affirmative action untuk mengakomodasi perempuan di lembaga politik mulai memperlihatkan hasil, mengapa hal ini tidak dilakukan juga untuk mengakomodasi peran perempuan di lembaga-lembaga antikorupsi? Tunjuk saja lembaga yang banyak dipuja orang sebagai institusi pemberantasan korupsi paling ampuh, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Dari lima komisioner di KPK, tidak satu pun wanita! Semua laki-laki.

Persoalan sesungguhnya terletak pada kekeliruan cara pandang tadi. Dibutuhkan penyadaran akan pentingnya keadilan gender juga diterapkan pada gerakan antikorupsi. Tak dapat dimungkiri bahwa minimnya peran perempuan dalam gerakan antikorupsi, juga sangat ditentukan oleh bagaimana gerakan antikorupsi memandang peranan perempuan untuk terlibat di dalamnya.

Jika kesadaran itu makin besar, diharapkan perempuan makin memiliki tempat dalam gerakan antikorupsi.

Walhasil perpaduan peranan di ranah domestik dan ranah publik diharapkan mampu mengubah stigma keliru tentang perempuan sebagai pemicu terjadinya korupsi, dan mengokohkan citra perempuan sebagai pencegah terjadinya korupsi. Selamat merayakan Hari Antikorupsi dan Hari Ibu di bulan Desember ini.

Opini Republika 22 Desember 2009