23 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Politisasi dalam Hukum Media

Politisasi dalam Hukum Media

Dalam masyarakat yang demokratis akan lahir undang-undang yang responsif.
Undang-undang yang baik, hanya bisa dihasilkan oleh lembaga dan iklim yang baik

POLITISASI hukum adalah penyimpangan atau pembelokan dalam penegakan ataupun pembuatan hukum. Politisasi menyebabkan hukum tidak berfungsi secara filosofis, sosiologis, ataupun yuridis. Contoh politisasi dalam penegakan hukum yang aktual adalah kasus Prita Mulyasari, kasus Bibit Chandra, dan sebagainya. Kasus politisasi pembuatan hukum misalnya kasus UU Kesehatan, UU Peradilan Tipikor dan sebagainya.


Politisasi dalam pembuatan hukum khususnya undang-undang, memperlihatkan adanya iklim dan faktor-faktor yang mempengaruhi mengapa lahir undang-undang yang tidak responsif. Maka tidak aneh kalau Satjipto Rahardjo, menyebut biasanya undang-undang sudah cacat sejak lahir.Sementara UU yang ideal, yang responsif, sesuai dengan idealisasi rakyat, hanya bisa dilahirkan dalam sistem dan kultur yang kondusitf untuk itu.

Sistem otoriter atau demokrasi dalam sebuah negara menentukan kecenderungan politisasi dalam pembuatan undang-undang. Makin otoriter kecenderungan munculnya politisasi makin besar. Ukuran sebuah negara semakin demokratis menurut Samuel P Huntington adalah jika ada pemilu yang bebas, lembaga perwakilan yang mandiri, pers yang merdeka, penghormatan HAM, dan kemerdekaan berserikat. Jika sebaliknya yang terjadi maka cenderung ke sistem otoriter .   

Sistem Otoriter, terlihat dalam beberapa kurun waktu di Indonesia. Artinya sistem otoriter dan demokrasi saling silih berganti, bahkan sering tidak dalam bentuk hitam putih. William Liddle menyebutkan sejak 5 Juli 1959 lahir demokrasi terpimpin, sejak itu demokrasi berakhir. Adpun Edward Smith menyebutkan dalam era demokrasi terpimpin, partai oposisi dilarang, DPR dibubarkan, pers hanya alat propaganda pemerintah. Bahkan Hasnan Habib pernah berpendapat bahwa Indonesia negara otoriter bersama China, Iran, dan Arab Saudi.

Tjipta Lesmana menyimpulkan bahwa pemerintah Orde Baru cenderung otoriter. Hinca Pandjaitan menambahkan masa Orde Baru, hukum media didesain untuk melestarikan kekuasaan. Sementara Adnan Buyung Nasution menyatakan bahwa Petisi 50 hadir untuk melawan rezim otoriter. Data Freedom House menunjukkan ranking demokrasi Indonesia, masih di atas 75 dari 150 negara
Iklim yang Baik Dalam masyarakat yang demokratis akan lahir undang-undang yang responsif. Undang-undang yang baik, hanya bisa dihasilkan oleh lembaga dan iklim yang baik. Menurut Muladi, undang-undang harus menampung aspirasi nasional dan standar internasional. Undang-undang yang ideal, harus merumuskan dengan jelas dan sistematis mengenai kebijakan yang akan dicapai, dengan menangkap aspirasi rakyat secara cermat.

Adapun Philippe Nonet dan Philip Seznick menyebutkan hukum yang responsif akan bisa menjaga aspirasi publik tekanan politik kekuasaan. Jika hanya melayani kepentingan kekuasaan, menjadi hukum yang represif.  

Mahfud MD dan Padmo Wahyono berpendapat hukum merupakan produk politik karena undang-undang tidak bisa menghindari pengaruh politik, dan merupakan hasil persaingan aspirasi politik. Dalam menerjemahkan politik, hukum menjadi undang-undang yang responsif (adil, pasti, dan berguna) karena tekanan politik, ekonomi, dan sosial budaya, bisa terjadi politisasi hukum.

Umumnya proses legislasi (legal drafting) di DPR pada era 1980-1990-an, diwarnai oleh dominasi eksekutif sebagai perancang undang-undang, kelemahan kemampuan para legal drafter di parlemen, posisi politis parlemen yang lemah (kasus hak inisiatif UU Pers). Dominasi kekuasaan politik yang dikendalikan pemerintah, terutama Presiden terlihat pada UU Pers Nomor 21 Tahun 1982. Peraturan pemerintah tentang hak jawab dan hak tolak, tidak pernah diterbitkan. Yang ada Permenpen Nomor 01 Tahun 1984 yang justru bertentangan dengan prinsip tidak ada sensor dan breidel. Politisasi yang paling mencolok, terjadi pada UU Penyiaran Nomor 24 Tahun 1997, karena ada kepentingan kelompok bisnis yang tidak bisa diakomodasikan saat pembahasan di DPR. Akhirnya presiden dengan kekuasaannya mengembalikan RUU ke DPR lagi.

Potret demokratisasi paska Reformasi 1998, ditandai dengan amandemen UUD 1945, lahirnya UU Pers Nomor 40 Tahun 1999), UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, UU Penyusunan UU Nomor 10 Tahun 2004). Walaupun masih belum sempurna di sana-sini, ada situasi yang lebih baik untuk melahirkan UU yang lebih responsif.

Mulai tahun 1999, ada tanda-tanda lahirnya UU yang reformis dan responsif, seperti UU Referendum No 6 Tahun 1999, UU Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999), UU Pemberantasan KKN Nomor 28 Tahun 1999), UU tentang HAM Nomor 39 Tahun 1999), termasuk UU Pers  Nomor 40 Tahun 1999. Lahir pula UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, yang mengadopsi berdirinya Komisi Penyiaran Indonesia, penyiaran publik dan komunitas, wilayah jangkuan siaran, dan aspirasi demokratis yang lain.

Politisasi penegakan hukum media, penyelesaian politis kasus-kasus media, dengan pembredelan, pencabutan surat izin terbit, surat izin cetak, dan pembatalan SIUPP, terjadi sepanjang era Orde Baru. Misalnya kasus Indonesia Raya dll (1974), Kompas dll (1978), Pelita dll (1982), Jurnal Ekuin (1983), Sinar Harapan (1986), Prioritas (1987), Tempo dkk (1984). Di sisi lain untuk media penyiaran, perlakuan di luar hukum terjadi pada pelarangan pembuatan berita, larangan siaran langsung, larangan menampilkan tokoh tertentu seperti Rhoma Irama, Wimar Witular dan sebagainya.

Politisasi hukum media, khususnya dalam pembentukan perundang-undangan, bisa terjadi secara substansi ataupun prosedural. Pembreidelan, larangan penyiaran berita, adalah contoh-contoh politisasi substansi. Pengaturan melalui peraturan pelaksana, dan proses menyimpang dalam pembahasan UU, adalah contoh politisasi prosedural.

UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 merupakan model UU yang lebih aspiratif, sesuai dengan misi hukum, karena dibuat dalam kondisi demokrasi yang lebih baik. Walaupun masih ada kekurangan di sana sini yang masih bisa diperbaiki lagi untuk menuju model  yang lebih ideal, dengan prasyarat kondisi demokrasinya dan penanganan legal drafting-nya harus lebih baik.

Lembaga pembuat hukum, baik presiden maupun DPR harus mempunyai komitmen sama, untuk menerjemahkan falsafah negara, konstitusi, aspirasi masyarakat, referensi internasional, untuk melahirkan undang-undang yang sesuai kebutuhan rakyat, menjamin keadilan dan kepastian hukum. Kemampuan maupun pemahaman legal drafting, harus terus ditingkatkan, agar tertutup celah secara teknis untuk masuknya politisasi hukum.

Masyarakat luas, terutama kalangan media, harus diberi akses yang terbuka untuk ikut memantau proses ataupun materi perundang-undangan yang sedang dibahas di DPR. Bahkan sejak diproses sebagai usulan, baik di DPR maupun di pemerintah. Kalangan akasdemisi hukum, agar terlibat aktif dalam memantau substansi maupun perumusan teknis dalam penyusunan undang-undang. (10)   

— Bambang Sadono SY, peserta program doktor bidang hukum Universitas Diponegoro
Wacana Suara Merdeka 23 Desember 2009