23 Desember 2009

» Home » Media Indonesia » The Power of Simplicity (Permenungan Natal 2009)

The Power of Simplicity (Permenungan Natal 2009)

Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), menulis pesan Natal 2009 dengan sebuah tema yang menyejukkan serentak menantang. Tuhan baik kepada semua orang dan penuh rahmat dengan segala yang dijadikan-Nya. Tema yang diambil dari Mazmur 145 ayat 9 itu ingin mengalirkan kesejukan dan kesegaran di tengah kegersangan sosial yang mengkristal dalam aneka wajah menyeramkan belakangan ini. Lanskap sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang semakin memusuhi kehidupan terasa memperkuat pentingnya menghidupi dan mengalami pesan Natal 2009 ini secara konkret.
Sekaligus menantang. Sebab usaha kembali ke jalan yang lebih benderang dengan nurani sosial bening menjadi tanggung jawab dan panggilan semua orang yang niscaya merindukan kebaikan, keadilan dan kesejahteraan.


Scandalum
Jika merunut pada sekian banyak kecemasan konkret yang melontar jamak di tengah sejarah kemanusiaan akhir-akhir ini, agaknya memang tidak perlu ditolak sebuah kepastian bahwa kebaikan dan keadilan sedang terkurung di lorong buntu kesombongan sebagian dari kita. Mereka yang merasa memiliki kuasa untuk mengatur sejarah sekehendak hati mereka. Kehendak baik dalam politik telah lama menepi akibat rasa ketamakan yang menjadi berhala baru kekuasaan. Itu mengunci terciptanya kebaikan--apa yang sejak lama dianggap sebagai kompetensi politik.
Terlalu mudah untuk memastikan bahwa jalan sejarah sedang ditampar sederet ironi yang mengkristal dalam bentuk tragika politik, ekonomi, ekologi yang semakin suram. Tidak butuh banyak perdebatan untuk menarik ujung paling awal dari semua kejatuhan ini selain kerusakan parah dalam ruang nurani individu dan sosial. Pertimbangan moral tidak cukup populer di hadapan kenikmatan yang didapatkan dengan cara menggunakan kekuasaan secara membabi buta.
Mulanya ada ketidakseimbangan yang semakin menganga antara kerakusan yang semakin besar dan kemampuan kehidupan (dunia) memenuhinya dengan cepat. Itulah yang menjadi titik muasal dari segenap perilaku busuk yang merusak sejarah belakangan ini. Dengan lebih tajam, Richard L Fern dalam buku Nature, God and Humanity (2002) membicarakan keruntuhan demi keruntuhan yang mencuat dari ketidakseriusan manusia membangun basis etik untuk semua kebijakan dalam bidang politik, sosial, dan lingkungan.
Sesuatu yang mencolok sekarang ini adalah menguatnya semacam fuzzy politics (politik yang kabur) sehingga politik tidak menegaskan keberpihakan pada kemanusiaan. Secara lugas dapat dikatakan bahwa kondisi seperti ini menjadi scandalum (sandungan) untuk penciptaan kemakmuran manusia. Ini secara lekas akan melahirkan para predator sejarah dan kehidupan yang bercokol aman dalam ruang-ruang kekuasaan. Pada judul kecil untuk buku penting ini, Fern menuliskan demikian envisioning etchic of  nature sebuah kerinduan mengembalikan kehidupan pada pertimbangan yang jauh lebih mendasar ketimbang hasrat jangka pendek.

Energi
Sungguh menjadi sangat tidak mencukupi manakala kita mengandalkan rumusan-rumusan suci dari sekian banyak kebijakan politik pembangunan yang bertebaran tanpa batas di kekinian. Bahkan kadang terlalu biasa dan dianggap baik memunculkan portofolio politik pembangunan berdasarkan kepentingan sempit yang disembunyikan dalam bahasa yang cermat menipu dan membelokkan kesadaran.
Manusia saat ini terutama institusi politik, ekonomi, dan sosial berhadapan dengan tanggung jawab yang sesungguhnya selalu menempel dalam nurani mereka untuk menyelamatkan sejarah dari kerakusan yang mencelakakan. Pasar yang semakin tidak adil. Ekonomi yang membantai masyarakat kecil. Politik yang tunduk pada ambisi sesat. Hukum yang gampang dibeli dan ditentukan dengan kekuatan uang. Lingkungan yang digasak mesin pengisap. Tak beranjak dari kesuraman seperti ini bahkan berusaha mencari justifikasi untuk mengabadikannya dalam pakem pembangunan global dan nasional akan segera menjerumuskan kehidupan pada titik paling gelap dari masa-masa tergelap yang pernah terjadi.
Raymond Plant yang menulis buku Politics, Theology and History (2001) agaknya melihat bagaimana peran agama (spiritual) masih tetap penting untuk menjadi bagian dari keseluruhan proses perbaikan kehidupan manusia sekarang ini. Plant membahasakan demikian, 'hanya kemurnian dan kejernihan dalam nurani kehidupan yang bisa menyelamatkan bumi ini'. Politik yang digerakkan energi yang baik dan benar akan memberikan efek konstruktif terhadap sejarah dan kemanusiaan.
Tuhan yang diperkenalkan agama sebagai mahabaik dan mahakuasa tidak lagi dianggap sebagai biang keburukan di atas bumi karena kita menganggap Dia hanya menjadi penonton pasif di hadapan penderitaan dan kesengsaraan. Namun, dengan lekas terbit kesadaran bahwa kebebasan yang tidak dijaga dengan kemurnian nurani akan menghasilkan pola laku yang melabrak kehidupan tanpa rasa iba yang membebaskan. Artinya, energi itu sebenarnya pertama sekali harus kita temukan dalam kedirian kita sendiri. Pada sebuah bangsa yang kelihatannya dipenuhi kejahatan, keburukan, dan kegelapan, mesti ada keharusan untuk kembali ke dalam diri sendiri memperbaiki nurani dan kesadaran.

Kesederhanaan
Kenneth D Boa dan Robert M Bowman Jr yang menulis buku Evidence that Gods Exist (2005) memunculkan satu pesan kunci berhubungan dengan peristiwa Inkarnasi (Allah menjadi manusia). Dalam konteks populer dirujuk dalam peristiwa kelahiran Tuhan Yesus, Juru Selamat Dunia. Pesta Natal. Keduanya menyebutkan 'the power of simplicity' sebagai nilai paling mendasar dari Inkarnasi. Itulah yang menyebabkan peristiwa kelahiran Tuhan Yesus menjadi sesuatu yang paradoksal, penuh kejutan, sekaligus kritikan untuk kehidupan.
Paradoksal karena Tuhan yang mahakuasa dan mahabesar itu hadir dalam diri seorang bayi mungil, miskin, dan sendirian. Tidak punya apa-apa. Tidak punya siapa-siapa sebagai andalan, selain orang tua dan para gembala yang sedang berjaga malam itu. Bahkan, kisah kelahiran Sang Juru Selamat diselimuti dengan keadaan memprihatinkan. Tidak ada tempat untuk berteduh. Di situ, pada akhirnya, palungan dan lampin menemani kelahiran Sang Juru Selamat!
Penuh kejutan dan kritikan, dengan mempertimbangkan kemeriahan yang seharusnya dialami oleh seorang yang datang dari Allah Mahakuasa. Dia mengambil jalan hina dan sederhana. Namun, sejak awal menjadi nyata bahwa jalan hina dan sederhana ini menjadi energi yang menggerakkan sejarah sejak kedatangan Sang Juru Selamat. Kesederhanaan adalah sesuatu yang mengalir dalam keseluruhan tapa profetiknya dalam sejarah. Kesederhanaan tidak sama artinya dengan tidak mempunyai apa-apa dalam kehidupan. Namun, kesadaran adalah energi yang meluputkan manusia dari penjara kerakusan. Dia membetulkan sejarah, kemanusiaan, dan peradaban dengan 'kesederhanaan' itu. Sesuatu yang membius, menghipnotis, serentak membawa kesadaran pada titik paling murni. Murni, manakala kesadaran itu terbebas dari jeratan kerakusan, ketamakan, dan ambisi destruktif.
Menyimak kondisi kehidupan kita akhir-akhir ini yang menjadi hitam akibat kejahatan yang terus mengubur kejujuran dan keadilan, agaknya perlu menemukan energi yang lebih murni dalam kehidupan kita. Korupsi dan segenap kejahatan politik yang ada sesungguhnya merefleksikan ketiadaan pertahanan diri untuk meredam rayuan hasrat kerakusan. Mengambil jalan hina dan sederhana adalah pesan penting Natal tahun ini. Jalan individual dan komunal yang harus dilewati dengan tekun dan tanpa pamrih. Namun, terutama jalan yang harus ditempuh kekuasaan dan politik yang bersentuhan langsung dengan kehidupan khalayak jelata. 

Oleh Max Regus, Rohaniwan dan Sosiolog, tinggal di Jakarta  

Opini Media Indonesia 24 Desember 2009