16 Mei 2010

» Home » Kompas » Membangun Babel Tanpa Timah

Membangun Babel Tanpa Timah

Usaha pertambangan sering menimbulkan kesan ganda, di satu pihak usaha ini penting bagi pembangunan menaikkan pendapatan negara, di lain pihak merusak lingkungan sosial dan alam.
Bahan tambang adalah sumber daya alam tak terbarukan dan punya batas waktu tertentu bisa terkuras sampai susut habis. Pertambangan jaya selama masih ada bahan tambangnya, tetapi jadi petaka begitu bahan tambang habis dan kegiatan ekonomi pindah ke tempat lain dengan meninggalkan ”kolong kosong”.
Teknik penambangan merusak adalah pola ”penambangan terbuka” mengupas kulit Bumi untuk disedot bahan tambangnya. Hutan dan tumbuhan dicukur habis termasuk untuk jaringan jalan dan perkampungan karyawannya. Pola penambangan terbuka ini juga menghasilkan limbah sisa galian yang menjadi incaran penambang rakyat. Hasil akhir penambangan terbuka adalah lubang galian menjadi kolam air di bentangan kawasan tanah liat bercampur pasir.
Harga bahan tambang berada di tangan pengolah yang memprosesnya menjadi barang jadi di negara maju. Keuntungan utama dalam pertambangan terletak pada nilai tambah hasil processing bahan mentah tambang. Pemerintahan negara maju sering menetapkan tarif bea masuk untuk barang jadi tambang lebih tinggi daripada tarif bahan mentahnya. Karena itu, bagi pengusaha tambang negara berkembang lebih menguntungkan mengekspor bahan mentah ke luar negeri ketimbang memprosesnya di dalam negeri. Maka kecil perkembangan industri processing bahan tambang di negara berkembang sehingga rendah dampak kegiatan pertambangan pada penciptaan lapangan kerja.


Dengan penekanan usaha pada produksi bahan mentah dan ekspor, maka ”kaitan ekonomi ke dalam negeri” tidak besar. Hasil manfaat usaha pertambangan lebih besar terletak pada nilai devisa hasil ekspor yang berkaitan ”ke luar negeri”. Apabila harga bahan tambang di pasar internasional naik tinggi, maka hasrat mengekspor terpacu lebih besar dan semakin intensif penggalian pertambangan.
Menggeser pertanian
Pulau Bangka Belitung (Babel) adalah unik karena terletak di ”lidah tambang timah” yang terbentang dari Thailand- Malaysia-Singapura dan berhenti di Babel. Timah tidak hanya terdapat di daratan, tetapi juga di lautan kawasan ini.
Yang menarik bahwa Thailand dan Singapura mengalihkan titik berat ekonominya dari pertambangan timah ke sektor ekonomi jasa, seperti pertanian, pariwisata, dan perbankan yang dipandang lebih menyejahterakan rakyatnya. Hanya Pulau Bangka selama puluhan tahun tetap mengandalkan pembangunannya pada pertambangan timah. Bahkan, akibat kenaikan harga timah akhir-akhir ini, ekonomi masyarakat tergeser dari pertanian ke penggalian tambang inkonvensional. Dulu Pulau Babel dikenal dengan lada putihnya, tetapi kini tanaman ini terdesak leyap oleh penambangan timah.
Kalangan ahli memperkirakan sumber alam tambang Pulau Babel akan susut habis di tahun 2030. Jangka waktu 20 tahun, 2010-2030, mencakup satu generasi yang perlu diajak mengubah paradigma menjadi ”Membangun Babel Tanpa Timah” menjelang tahun 2030. Babel punya sumber daya alam tanah daratan, pantai dan laut yang berpotensi luas menopang pola pembangunan Babel secara berkelanjutan.
Ada kegiatan menarik dipelopori tokoh-tokoh terkemuka Babel untuk menghijaukan dan merehabilitasi lahan tambang di sekitar Bandara Depati Amir Pangkal Pinang dengan tanaman ketapang, jambu mente, cemara angina, dan sengon. Lahan milik masyarakat dikelola bersama, tetapi status lahan tetap milik masyarakat. Tanah areal bekas penambangan disuburkan dengan kotoran dan urine sapi yang diolah jadi kompos dan disebar ke tanah areal bekas penambangan.
Para tokoh pengusaha terkemuka Babel juga membangun Bangka Botanical Garden (BBG) seluas 300 hektar di Ketapang, Pangkal Pinang, menjadi lokasi pembibitan tanaman dan juga pemeliharaan jenis sapi FH perah, sapi Limousine, sapi Brangus, sapi Simental, dan sapi Bali berjumlah 300 ekor. Hasil susu sebanyak 300 liter sehari disumbangkan kepada murid-murid taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Dengan mengindahkan udara panas Pulau Bangka, maka BBG mengembangkan buah bernilai tinggi, seperti buah naga merah yang mulai banyak digemari di luar negeri.
Usaha BBG membuktikan bahwa areal lahan bekas penambangan timah bisa ”dihidupkan” kembali dengan pemupukan, pembibitan buah yang sesuai dengan suhu udara. Juga bisa dikembangkan pembibitan ikan hias yang bernilai tinggi.
Pantai pasir putih Babel, seperti tergambarkan dalam film Laskar Pelangi, lebih indah dalam wujud aslinya dan memiliki potensi pariwisata tinggi apabila ditopang prasarana jalan, listrik, air minum, dan lain-lain. Belum lagi diangkat potensi wisata sejarah dengan hadirnya tempat-tempat pengasingan para pemimpin kemerdekaan kita, Bung Karno, Bung Hatta, Haji Agus Salim, Mohammad Roem, dan lain lain. Yang diperlukan adalah penuangan tempat bersejarah bangsa dalam kisah menarik.
Maka, terpampang di hadapan kita ”Babel tanpa Timah” yang didasarkan pada pengembangan multisektor mencakup sumber daya terbarukan pertanian, perikanan, perkebunan, peternakan, pariwisata, dan sebagai pusat pengembangan sumber daya manusia.
Banyak putra-putri Babel meraih posisi intelektual tinggi di luar Babel. Jika di masa lalu perspektif masa depan hanya terbatas pada sektor tunggal penambangan timah, kini tiba saatnya mengembangkan multisektor ekonomi Babel menggantikan peranan pertambangan timah pasca-2030. Untuk ini diperlukan pengembangan sumber daya manusia andal.
PT Timah merencanakan pembangunan Menara Timah yang menjulang tinggi sebagai ikon Pulau Babel. PT Timah bisa berjasa besar apabila Menara Timah dijadikan sentra pendidikan pascasarjana S-3, doktor, dan ilmuwan ulung dengan pusat laboratorium, pusat perpustakaan, serta pusat sains dan teknologi yang mampu menanggapi tantangan pembangunan membangun Babel tanpa timah dan menjadikannya pusat Indonesia unggul umumnya abad ke-21 ini.
Emil Salim Dosen Pascasarjana UI

Opini Kompas 17 mei 2010