Oleh Edi Setiadi
Berakhir sudah episode Susno Duaji setelah dia ditangkap dan ditahan Polri dengan sangkaan menerima suap dalam kasus PT Arwana. Dalam kasus Susno ini terlihat kegamangan dan sikap ambivalen Polri. Sikap ambivalen itu terlihat di satu sisi mengatakan, Susno berjasa mengungkap makelar kasus di lingkungan Polri, di lain pihak laporan Susno alih-alih ditanggapi dengan memeriksa dua jenderal yang diindikasikan terlibat tetapi malah menetapkan sang peniup peluit (Susno Duadji) sebagai tersangka. Kegamangan juga terlihat dengan menangkap Susno Duadji di Markas Besar Polri.
Dalam penegakan hukum, yang pertama-tama harus diperhatikan di samping syarat-syarat normatif lainnya adalah prinsip due process of law, proses hukum yang baik. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatakan, penegakan hukum haruslah paling tidak memenuhi sepuluh asas, misalnya prinsip equal harus melandasi setiap penegakan hukum. Aparat penegak hukum tidak dibenarkan memilah-milah dan memperlakukan seorang disangka melanggar hukum dengan cara membeda-bedakan perlakuan dan tindakan hukum. Aparat penegak hukum tidak boleh menerapkan hukum hanya untuk orang kecil tetapi sengaja membuat tumpul hukum kepada orang kaya dan kuat.
Penangkapan Susno mengindikasikan hukum dilaksanakan secara diskriminatif. Betul bahwa penangkapan adalah sesuatu yang dibenarkan dalam proses penegakan hukum. Akan tetapi, alangkah eloknya apabila Polri menyidik dan menuntaskan terlebih dahulu laporan Susno tentang indikasi tindak pidana yang dilakukan dua jenderal polisi bukan malah menyidik pelapor.
Praktik-praktik yang dilakukan dengan memeriksa laporan balik dari terlapor terlebih dahulu dibandingkan dengan memeriksa laporan pelapor, menyalahi kaidah logika dan prinsip hukum serta mencerminkan sikap yang terang-terangan melanggar doktrin due process of law sekaligus menghilangkan partisipasi masyarakat dalam membantu aparat penegak hukum dalam memberantas dan mencegah kejahatan. Praktik seperti ini membuat masyarakat enggan melaporkan suatu kejahatan karena takut malah menjadi tersangka.
Penangkapan dan penahanan Komisaris Jenderal Susno Duadji harus menyadarkan kita betapa penting dan urgennya penerapan perlindungan hukum bagi pelapor/whistleblower.
Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban ternyata tidak cukup menghentikan praktik-praktik penegakan hukum yang kacau-balau ini. Kasus Susno merupakan entry point untuk merombak paradigma penegakan hukum yang hanya didasarkan pertimbangan suka dan tidak suka, balas dendam, dan melindungi korps apalagi atasan. Selain itu, merupakan entry point bagi polisi untuk memperlihatkan kesungguhannya mengadakan reformasi di tubuh Polri.
Kasus Susno hanya akan memperlihatkan watak asli Polri yang tidak/belum mau berubah di tengah desakan masyarakat yang ingin melihat adanya penegakan hukum yang lebih mementingkan aspek keadilan dan persamaan. Masyarakat akan mempunyai kesan, Polri lebih mementingkan memeriksa kasus Rp 500 juta dibandingkan dengan program reformasi atau pembenahan sikap mental di lingkungan kepolisian. Polri juga dapat dituduh melindungi dua jenderal dan mungkin jenderal lainnya dengan cukup membungkam seorang komisaris jenderal. Akan lebih elok lagi dan yakin mendapat apresiasi dari masyarakat apabila Polri khususnya Kapolri, dapat membersihkan institusinya dari sapu-sapu kotor dan menempatkan polisi-polisi berjiwa bayangkara sejati.
Penanganan kasus Susno apabila tidak hati-hati dan tidak didasarkan rasio logis yang memadai hanya akan mendatangkan kegetiran bagi Polri. Semestinya ada kesatuan tekad dari institusi Polri untuk merenung dan bertekad lebih mendarmabaktikan kepada tugas penegakan hukum yang lebih bertanggung jawab, transparan, dan profesional. Tekad mereformasi diri dan perilaku dalam penegakan hukum mungkin akan mengorbankan banyak anggota dan institusi untuk sementara waktu. Akan tetapi, diyakini setelah itu akan tercipta lembaga kepolisian yang profesional dan dihormati masyarakat.
Istilah peniup peluit sebenarnya hanya dikenal dalam tindak pidana pencucian uang (money laundering). UU Antimoney Laundering Nomor 25 Tahun 2003 melindungi pelapor bukan saja dari perlindungan fisik, tetapi juga jaminan bahwa dia tidak akan dituntut baik secara perdata maupun secara pidana. Pernyataan atau laporan Susno sebenarnya banyak terkait kejahatan lainnya, bukan saja masalah suap murni, tetapi mungkin saja kejahatan turunannya, yaitu pencucian uang dan korupsi. Laporan Susno diyakini melibatkan jumlah uang sangat besar sekaligus pelaku yang mempunyai kedudukan politik sangat tinggi.
Masalahnya, apakah polisi akan berbenah diri dengan memotong barangkali satu angkatan tetapi hasilnya akan mendatangkan institusi polisi yang kuat, disegani, dihormati, dan dicintai masyarakat, atau cukup mengorbankan seorang Susno Duadji dan melindungi beberapa petinggi lainnya dengan risiko dibenci dan dilecehkan masyarakat? Sebuah pertaruhan yang besar dan berisiko. Dengan demikian, sinyalemen yang berkembang dalam masyarakat bahwa ”hukum melindas yang kecil dan tumpul kepada yang kuat” akan semakin terjadi dan kebenarannya tidak terbantahkan. ***
Penulis, Guru Besar Fakultas Hukum Unisba, dosen Kopertis Wilayah IV Jabar, Wakil Rektor Bidang Akademik, Kemahasiswaan, dan Kerja Sama Unisba
opini pikiran rakyat 17 mei 2010