Para pengusaha luar negeri yang saya temui di dalam berbagai kesempatan juga memiliki rasa optimisme yang sama. Ke depan kita memiliki potensi yang luar biasa. Bonus demografi yang dimiliki Indonesia pada tahun 2025 akan membuat negara ini menjadi salah satu negara dengan rasio ketergantungan yang relatif rendah di Asia. Implikasinya, produktivitas akan meningkat dan pertumbuhan ekonomi akan bisa dipacu lebih cepat.
Selain itu, Indonesia memiliki energi dan komoditas perkebunan dan pertanian. Itu berarti kita memiliki potensi untuk terus berkembang sebagai pemain ekonomi yang penting di masa depan. Dan ini bukan sekadar gede rasa kita saja, karena beberapa lembaga investasi asing pun mulai bicara mengenai Indonesia bagian dari BRIIC (Brasil, Rusia, India, Indonesia, China) dengan dua ”I”. Bahkan beberapa laporan ekonomi mengenai Indonesia sudah mulai bicara mengenai Chindonesia yang merupakan kependekan dari China dan Indonesia sebagai negara tujuan investasi. Risiko relatif yang lebih kecil dibandingkan beberapa negara tetangga seperti Thailand—yang masih berkutat dengan politik dalam negerinya— membuat Indonesia menarik untuk tujuan investasi.
Di tengah gambaran positif ini, tiba-tiba kita dikejutkan oleh pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang diminta menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia. Tentu ini sebuah kehormatan bagi Indonesia. Akan tetapi, di sisi lain, kepergian Sri Mulyani meninggalkan banyak pertanyaan dan kecemasan, apakah ekonomi Indonesia akan terpukul karena ini?
Potensi yang kita punya dan perbaikan ekonomi yang telah kita capai sebenarnya cukup memberikan pesan bahwa pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani tak akan membuat Indonesia menjadi terpuruk atau kiamat. Sri Mulyani telah melaksanakan tugasnya dengan sangat baik. Legacy (warisan) Menteri Keuangan kelas dunia seperti Sri Mulyani, yang telah berhasil menjaga stabilitas ekonomi makro kita, menjaga stabilitas fiskal Indonesia dan mampu meminimalkan dampak krisis global terhadap ekonomi Indonesia, harus dilanjutkan. Selain itu, reformasi birokrasi yang dilakukan, integritas yang tinggi, dan sikap pemerintah yang menjamin equal treatment terhadap pelaku ekonomi akan menjadi modal kita ke depan.
Namun, untuk mencapai mimpi-mimpi itu, ada banyak hal yang harus kita lakukan. Ke depan kita tidak bisa sepenuhnya mengandalkan diri kepada pemerintah karena kapasitas dan keuangan pemerintah juga terbatas. Di sini peran dari pengusaha, baik di tingkat nasional dan utamanya di tingkat lokal menjadi amat berperan. Desentralisasi ekonomi telah membuat peran pengusaha di daerah menjadi amat penting.
Sayangnya, dunia usaha masih menghadapi problem iklim usaha yang mengganggu, kapasitas infrastruktur yang buruk, yang membuat Indonesia sulit bersaing dalam konteks ekonomi global. Perlindungan sosial bagi 14 persen penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan perlu mendapat perhatian. Selain itu juga dibutuhkan keberpihakan untuk mendorong pengusaha nasional bisa berkiprah. Namun, di sisi lain, pengusaha juga tak bisa terus-menerus mengeluh dan menjadi professional complainer atau pengeluh profesional.
Pengusaha justru punya peran dan tanggung jawab yang besar untuk memperbaiki situasi ekonomi Indonesia. Ada sesuatu yang lebih jauh daripada sekadar mencari untung: menjaga etika di dalam berusaha. Menjamin adanya equal treatment, dengan menghindarkan diri dari konflik kepentingan. Di sinilah warisan Sri Mulyani yang menjaga semua hal itu harus dilanjutkan.
Pengusaha harus menjadi mitra independen pemerintah. Itu sebabnya, kunci bagi upaya mencapai angan-angan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi di masa depan adalah kepastian usaha, dukungan infrastruktur, perlindungan sosial, dan keberpihakan serta etika dalam berusaha.
Dengan ini pengusaha Indonesia tak akan canggung mengha- dapi globalisasi bahkan melakukan ekspansi usahanya. Dengan itu kita tak lagi hanya berkutat bagaimana menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tetapi juga menjadi pelaku ekonomi yang disegani dalam pentas global.