UJIAN nasional (UN) SMP tahun 2010 telah berakhir, sebelumnya berbagai upaya sekolah untuk meluluskan siswanya telah dilakukan mulai dari tambahan jam pelajaran dan kegiatan konseling mata pelajaran. Konsentrasi sekolah hanya satu yaitu bagaimana siswanya lulus 100% dengan nilai yang tinggi.
Tetapi ada satu hal yang dilupakan yaitu kurangnya intensitas bimbingan bakat dan minat siswa yang akan lulus nantinya. Sepintas terlihat sederhana: hanya memilih SMA atau SMK. Tapi yang terjadi outcome lulusan SMP dalam memilih sekolah lanjutan tanpa tujuan jelas, mayoritas lulusan hanya berorientasi nilai gengsi karena diterima di sekolah favorit.
Apabila suatu SMA dinilai favorit maka berbondong-bondonglah mereka mendaftar tanpa melihat isi kurikulum di sekolah yang difokuskan melanjutkan ke perguruan tinggi. Padahal data statisik di Kabupaten Demak misalnya, menunjukkan 65% (3.900 siswa) lulusan SMA tercatat tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi (SM, 08/14/10). Ke mana mereka setelah lulus SMA, tanpa bekal keterampilan apakah dapat menembus dunia kerja?
Penulis pernah berdialog dengan seorang siswa SMK, sebenarnya siswa tersebut minat di jurusan teknik otomotif tetapi karena animo pendaftar jurusan tersebut melimpah maka ia melilih jurusan teknik bangunan yang animo pendaftarnya sedikit dengan harapan hanya dapat diterima di SMK favorit tersebut.
Setelah menyelesaikan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun ( 6 tahun di SD dan 3 tahun di SMP) ibarat membuka gerbang baru yang akan mengukir masa depan ke dunia kerja. Output dunia kerja yang tidak kompeten dengan latar belakang sekolah dan keahliannya menjadi bukti anak-anak didik kita salah dalam memilih sekolah lanjutan.
Selama ini memilih sekolah hanya bertujuan meraih prestige academic oriented sedangkan life skill oriented atau kecakapan hidup yang akan digunakan untuk menembus dunia kerja kurang menjadi perhatian.
Pola pikir yang penting sekolah dulu, masalah kerja dipikir belakangan menjadi salah satu penyebab output dunia kerja kita kurang berkualitas karena tidak sesuai dengan kompetensi keahliannya. Sebuah kenyataan perusahaan konveksi dan garmen di Kabupaten Semarang menyerap tenaga kerja juga dari lulusan SMA, padahal tidak mempunyai latar belakang keahlian tata busana dan ilmu tekstil.
Memang mereka mendapatkan training menjahit sehingga akhirnya bisa bekerja, tetapi apakah tidak sia-sia menempuh studi di SMA, bukankah lebih baik jika sejak awal mengambil pendidikan di SMK jurusan tata busana?
Sulit Berkembang Dengan waktu training yang relatif singkat, produktivitas mereka sulit untuk berkembang karena dimulai dari nol. Mereka nantinya bekerja mirip dengan mesin hidup, hanya rutinitas tanpa kreativitas. Tingkat produktivitas kerja seseorang sangat dipengaruhi oleh cara kerja (sesuai persyaratan teknis kerja), teknologi yang digunakan, dan sikap kerja seseorang.
Hal itu dapat dicapai melalui proses pembiasaan dan pelatihan kerja yang benar dalam waktu yang tidak singkat dan ditempuh melalui sekolah yang relevan dengan dunia kerjanya.
Di sinilah perlunya pemilihan sekolah yang tepat sesuai bakat dan minat juga tak lupa kondisi perekonomian keluarga, karena tidak dapat dimungkiri sekolah bukanlah investasi yang murah.
Jika ingin cepat kerja dengan kompetensi yang sesuai bakat, minat, dan prospek dunia usaha, SMK adalah pilihan yang tepat. Tidak menutup kemungkinan lulusan SMK melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.
Sejak 2003 kita memasuki awal persaingan global yang ditandai dengan tidak adanya batas di antara negara-negara, baik batas tatanan perekonomian maupun batas tatanan informasi. Tantangan pasar global dan keharusan mempertahankan kedudukan bisnis Indonesia dalam percaturan perekonomian dunia hanya dapat dihadapi dengan SDM yang berkualitas dan memiliki daya saing.
Ke mana melanjutkan studi setelah lulus SMP adalah bukan permasalahan yang bisa dianggap ringan karena jika salah melangkah selanjutnya pasti yang terjadi seperti contoh kecil kenyataan yang terjadi di perusahaan konveksi dan garmen.
Berbekal ilmu-ilmu umum di SMA langsung masuk ke dunia kerja, dengan kondisi seperti ini apakah memiliki kompetensi yang terstandar dan diakui di pasar tenaga kerja global?
Lulusan SMP perlu bekal wawasan dunia usaha dan industri terkait dengan sekolah lanjutan, tidak hanya terkungkung dengan satu permasalahan yaitu lulus dan setelah itu dibiarkan seperti layang-layang putus.(10)
— Yohanes Eko Nugroho SPd, guru IPA terpadu SMP Negeri 2 Ungaran Kabupaten Semarang
Wacana Suara Merdeka 13 April 2010