KETIDAKSINKRONAN tata aturan dan perundangan ternyata juga menyangkut aturan yang dibuat dengan prioritas khusus. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi yang merupakan salah satu produk penting dari Program 100 Hari Kabinet misalnya, berpotensi menjadi macan kertas kalau tidak dilakukan revisi atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menjadi landasannya.
Harus diakui terbitnya PP itu merupakan angin segar yang menegaskan posisi ganda gubernur sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah (pusat) yang selama ini terkesan berada di wilayah abu-abu (grey area). Sebagai kepala daerah, tugas, dan wewenang gubernur sangat jelas diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, namun peran sebagai wakil pemerintah (pusat) di wilayah provinsi yang membawahi beberapa kabupaten/kota, posisi gubernur nyaris tanpa kekuatan.
Keadaan itu membuat peran gubernur sebagai orang pusat hanya terlihat pada acara seremonial seperti pelantikan bupati/wali kota atau peresmian proyek pusat serta peran protokoler menampingi presiden atau menteri. Namun sekarang ini perannya lebih jelas, meski ada ganjalan karena ada aturan di atasnya yang memberi peluang diterjemahkan berbeda.
Kewibawaan struktural gubernur yang dalam PP Nomor 19 Tahun 2010 diwujudkan pada Pasal 2 Ayat (3) yang menyebutkan,,’’ Gubernur dilantik oleh Presiden’’ ditambah ayat berikutnya yang menyebutkan,’’ Kalaupun Presiden berhalangan melantik, Mendagri akan melantik atas nama Presiden’’. Tapi pasal itu ternyata bertabrakan dengan Pasal 111 Ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 yang menyebutkan,’’ Gubernur dan Wakil Gubernur dilantik oleh Mendagri atas nama Presiden’’.
Melihat posisi UU lebih tinggi dari PP, upaya meningkatkan wibawa gubernur secara protokoler dilantik oleh presiden akan menghadapi persoalan yuridis. Kalau mau dilakukan interpretasi secara ekstrem atas PP tersebut, bisa saja diartikan,’’ Gubernur dilantik oleh Presiden’’ menurut PP, dan ‘’Wakil Gubernur dilantik terpisah oleh Mendagri’’ berdasarkan UU.
Merujuk artikel ‘’Gubernur Makin Bergigi dan Bergizi’’ (SM, 18/03/10) yang mendeskripsikan besarnya kewenangan orang nomor 1 di Jateng, secara tekstual tidak salah. Namun banyak aturan hukum tumpang-tindih dan tidak sinkron, sehingga memunculkan bias dalam pelaksanaannya.
Contohnya tunjangan komunikasi untuk anggota DPRD yang berujung pemidanaan beberapa wakil rakyat, atau ketidaksinkronan tentang peran sekretaris daerah sebagai pembina PNS di daerah, seperti diatur dalam Pasal 122 Ayat (4) UU Nomor 32 Tahun 2004.
Diuji Dulu
Padahal UU Nomor Nomor 8 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang diubah menjadi UU Nomor 43 Tahun 1999 serta aturan turunannya, pembina PNS adalah presiden yang bisa didelegasikan ke kepala daerah. Karena itu, setiap ada ketentuan perundangan baru selayaknya diuji dulu keterkaitannya dengan tata aturan lain, sebelum berbicara pelaksanaannya.
Masalah lain adalah wewenang gubernur memberikan persetujuan tertulis untuk penyidikan anggota DPRD kabupaten/kota di Pasal 4 (f), ternyata berbeda dari Pasal 53 Ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur persetujuan tertulis gubernur atas nama mendagri. Ini tidak bedanya untuk pemeriksaan anggota DPRD provinsi yang harus dimintakan persetujuan ke presiden, namun diwujudkan dalam surat mendagri atas nama presiden. Dalam konteks ini persetujuan gubernur bukan putusan final karena masih atas nama, dengan begitu jika mendagri tidak setuju maka gubernur tak akan bisa memberikan persetujuannya.
Sementara untuk kewenangan gubernur merevisi APBD kabupaten/kota, termasuk menahan persetujuan APBD sampai 3 bulan jika diperlukan, mengundang rakor dengan bupati/wali kota termasuk memberi teguran, sebenarnya bukan hal baru. Dulu semangat itu ada namun sekarang menjadi lebih gamblang karena tertuang dalam aturan hukum yang jelas.
Munculnya forum koordinasi (forkor) di tingkat provinsi yang terdiri atas gubernur, ketua DPRD provinsi, pangdam, kapolda, dan kajati untuk mendukung tugas pemerintah (pusat) di provinsi, sebenarnya tak berbeda dari muspida yang diatur berdasarkan Keppres Nomor 10 Tahun 1986, dan di Jawa Tengah ditindaklanjuti dengan Kepgub Nomor 840.1/06 Tahun 2008 tentang Pembentukan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Pemprov Jateng.
Metamorfosis muspida menjadi forkor hanya menghilangkan keterlibatan wagub dan ketua pengadilan tinggi. Yang membingungkan justru posisi muspida tingkat II di kabupaten/kota malah tidak diatur, termasuk masa peralihannya sehingga pembiayaan kegiatan forkor dipastikan vakum dana sebelum APBN Perubahan 2010 ditetapkan.
Mengingat PP Nomor 19 Tahun 2010 cukup visioner dan penting dalam mengatur tugas, wewenang, dan kedudukan gubernur, selayaknya aturan tersebut dikuatkan agar tak menjadi macan kertas. Hal terpenting adalah merevisi UU Nomor No 32 Tahun 2004, di antaranya Pasal 111 dan Pasal 53. (10)
— Doktor Nurul Akhmad, Kepala Pusat Sosial, Humaniora, dan Hukum LP2M Unnes
Wacana Suara Merdeka 13 April 2010