12 April 2010

» Home » Media Indonesia » Fenomena Gayus dan Pemberantasan Korupsi

Fenomena Gayus dan Pemberantasan Korupsi

Sebetulnya bagi saya aneh sekali kalau modus operandi korupsi yang dilakukan Gayus Tambunan disebut modus baru dalam praktik perkorupsian di Indonesia. Sebagaimana diketahui, pemberantasan korupsi di Indonesia sudah lama dilakukan. Dari awal periode zaman Soekarno sampai saat ini pemberantasan korupsi dapat dikatakan tidak berhasil tuntas kendatipun dalam berbagai pidato person yang bertanggung jawab untuk memberantasnya, yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, beliau terkesan sangat serius. Bahkan ada yang menyatakan, ”Saya yang terdepan dalam pemberantasan korupsi.” Namun, apa yang dulu terjadi pada era Soekarno dan yang terjadi saat ini, seperti yang dilakukan Gayus Tambunan, tidak pernah berhenti dan terus terjadi dalam intensitas serta kompleksitas yang semakin rumit.
Kita belum pernah mendapatkan studi komprehensif tentang praktik korupsi di Indonesia, kecuali hanya tentang indeks korupsi yang merupakan persepsi masyarakat tentang praktik korupsi di Indonesia dari beberapa sektor yang diteliti. Survei ini pun tidak dilakukan pemerintah, tetapi swasta asing. Kalau memang pemerintah atau DPR serius, sudah selayaknya ada upaya melakukan penelitian korupsi yang komprehensif, jangan hanya teori dan pendapat orang asing saja, atau dalam pidato-pidato politik, khususnya era kampanye, yang sedikit pun tidak memengaruhi pemberantasan korupsi.


Kendatipun sebenarnya tidak ada penelitian secara teoretis tentang itu yang sudah terbukti dilaksanakan di beberapa negara, pemberantasan korupsi dapat dikatakan gampang jika ada kemauan yang sangat sungguh-sungguh, bukan setengah-setengah dari 'penghulu' sarang korupsi, yaitu 'pemegang kekuasaan eksekutif', persisnya Presiden. Jika Presiden tidak sungguh-sungguh dan hanya berdiri di depan, tidak langsung masuk ke sarang korupsi, tetapi melalui lembaga-lembaga yang belum tentu ampuh untuk menyerang kekuatan besar itu, dapat dikatakan perang melawan korupsi tidak akan berhasil. Kita sudah mengalami selama 65 tahun merdeka, persepsi dan pengamatan kita tentang korupsi semakin merajalela. Korupsi adalah kanker dan belum ada obat ampuh untuk mematikannya 100%. Dia adalah penyakit yang sangat ganas, yang bila saja kita lengah mengintai dan memberantasnya, dia akan menjalar dan menular dengan cepat, dengan eskalasi yang sukar ditandingi seperti yang terjadi di negara ini.
Pada era SBY saat ini pendekatan yang dipakai ialah pendekatan 'seolah-olah', verbal, kelembagaan, regulasi, dan UU. Dengan eksistensi ini semua, dapat diklaim seolah-olah pemberantasan korupsi sudah dilakukan tanpa melakukan evaluasi langsung terhadap hasilnya. Bahkan aneh sekali jika Presiden, dalam satu pidatonya sewaktu kunjungan kerja di Tanjung Priok beberapa tahun lalu, menyatakan, ”Kebangetan kalau praktik korupsi masih ada di Indonesia”. Ini bermakna bahwa memberantas korupsi, menurut penanggung jawab pemberantasan korupsi sesuai Tap MPR 1998, sudah seolah-olah selesai dengan kelengkapan institusional seperti Tap MPR, UU, BPKP, BPK, KPK, Tipikor, Komisi Judisial, Satgas Pemberantasan Mafia, Ombudsmen, irjen, pidato, dan imbauan. Kenyataannya, sikap ini dijawab tanpa tedeng aling-aling dengan kasus Gayus Tambunan, seorang pegawai golong III A yang memiliki omzet korupsi sekitar Rp25 miliar. Ini pun baru yang diketahui. Saya yakin lebih banyak yang belum diketahui dan masih banyak oknum lainnya yang tidak diketahui tetapi benar-benar melakukannya, baik di Ditjen Pajak, Bea Cukai, Perbendaharaan, DPR, BI, kepolisian, kejaksaan, kehakiman, maupun kementerian, sebagaimana telah terbongkar di beberapa kasus di pengadilan ataupun penyidikan KPK.
Sekali lagi, aneh sekali kalau seorang Presiden menganggap bahwa masalah korupsi sudah selesai di Indonesia dengan keberadaan institusi itu (KPK), dan ini sudah jelas terbantahkan dengan kasus Gayus Tambunan. Pertanyaan yang mendasar, kenapa Presiden begitu yakin seolah-olah korupsi tidak ada lagi di Indonesia? Apakah beliau tidak mendapatkan informasi yang benar dan baik dari staf, berita, atau informasi informal lainnya? Dengan meminjam istilah Eep Saefulloh Fatah, ini karena 'kaca rabun'. Beliau tinggal di tempat yang dikelilingi kaca rabun sehingga tidak bisa melihat keadaan yang sebenarnya karena staf dan sistem yang dibangunnya, termasuk UU protokol, tidak memungkinkan beliau melihat fakta yang sebenarnya. Saya yakin beliau berpendapat bahwa tidak ada kemacetan di Jakarta karena beliau bisa melewati jalan di Jakarta dengan kecepatan 120 km per jam tanpa macet. Berbeda dengan yang dialami rakyat, hanya 5 km yang bisa ditempuh dalam 2 jam. Namun, kenapa kasus korupsi yang begitu masif dan dialami semua orang, baik dalam skala kecil maupun besar, entah berupa joke
entah informasi, termasuk saya yakin keluarga dan staf dekat beliau juga mengetahuinya, tidak diyakini ada? Mengapa? Jawabannya aneh sekali jika beliau tidak tahu, bahkan bukankah beliau juga pernah menyatakan bahwa dalam berbagai pertemuan internasional tingkat tinggi hal itu selalu bisa jadi lelucon pemimpin negara lain? Masa pemimpin negara lain tahu Presiden kita tidak tahu?
Dari dua fenomena ini, pertama, sikap 'seolah-olah' Presiden, dan kedua, terbongkarnya kasus Gayus Tambunan, dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya kita tidak serius dalam pemberantasan korupsi. Yang serius hanya institusi dan UU yang sebenarnya pasif dan mati, bukan orang yang bergerak aktif dan bukan pula penanggung jawab tertinggi dan paling efektif dalam pemberantasan korupsi, yaitu kepala eksekutif. Pemberantasan penyakit akut korupsi seperti kanker ganas, tidak cukup dengan pendekatan lepas tangan, seolah-olah, atau berdiri di garis terdepan. Pada saat yang sama orang yang di belakang bermain tanpa dilihat orang yang berdiri di garda depan. Pengalaman mantan Kapolri Hoegeng Iman Santoso sebenarnya bisa menjadi pelajaran bagi kita, baik sikap kesederhanaan, tanpa ambisi politik, kejujuran, kekuatan moral, konsistensi, sikap di rumah tangga, maupun sikap kepada keluarga. Beliau tidak hanya terjun ke lapangan, menyamar dan menangkap basah praktik korupsi. Tidak hanya dengan pidato, bahkan dengan ancaman pistolnya beliau menyuruh oknum yang menyogoknya menarik barang sogokan yang dikirimkan kepadanya. Artinya, perlu upaya yang tidak biasa untuk menolak praktik korupsi, bahkan dengan ancaman nyawa sekalipun. Kehidupan yang sederhana, bersih, dan keteladanan kepada bawahan membuat beliau menjadi salah satu yang bisa kita teladani di era saat ini.
Pelajaran yang dapat kita ambil dalam perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia ialah bahwa apa pun yang sudah dilaksanakan selama ini ternyata tidak berhasil sepenuhnya. Memang ada yang tertangkap, tetapi lebih banyak yang belum tertangkap. Memang praktik korupsi masa lalu banyak yang diangkat, tetapi praktik korupsi sekarang dan akan datang masih terus berjalan dengan intensitas dan kecanggihan yang lebih rapi. Institusi sudah banyak, bahkan terlalu banyak, tapi kadang justru yang diharapkan untuk memberantasnya justru pelaku institusi, bukan institusinya. Yang belum kita lihat ialah kesungguhan yang serius, bukan hanya pendekatan 'seolah-olah' dari Presiden melalui keterlibatannya secara langsung, tidak hanya melalui pencitraan dan pidato sesaat yang tidak berpengaruh sedikit pun serta tidak menimbulkan ketakutan pada pelakunya, yang umumnya berada dalam lingkup kekuasaan yang sangat bisa ia jangkau.

Oleh Sofyan S Harahap, Guru Besar FE Universitas Trisakti

Opini Media Indonesia 13 April 2010