02 April 2010

» Home » Suara Merdeka » Memangkas Makelar Kasus

Memangkas Makelar Kasus

MAKELAR kasus (markus) kembali menjadi berita hangat. Keadaan ini dipicu oleh pernyataan mantan Kabareskrim Polri Komjen Susno Duadji yang menyatakan ada markus di lembaga yang membesarkannya.

Dia menjelaskan ada dua perwira di mabes terlibat.

Di sisi lain, dia mengangkat keanehan-keanehan yang menyelimuti kasus dugaan pencucian uang dan korupsi yang akhirnya berubah hanya kasus penggelapan, dengan terdakwa pegawai Ditjen Pajak Jakarta Gayus Halomoan Tambunan (SM, 25 Maret 2010).
Istilah markus kembali menjadi terkenal setelah program 100 hari pemerintahan SBY, yang program pertamanya adalah memberantas praktik mafia hukum, salah satunya yang melibatkan markus.


Praktik markus dalam skala kecil ataupun besar dapat dijumpai pada berbagai instansi, seperti pada penempatan jabatan yang dikatakan basah. Berbagai pihak tertarik menempati jabatan itu, karena bukan gaji resminya melainkan adanya pendapatan tambahan (hidden income) yang diharapkan diperoleh.

Pengeluaran ekstra akan dikeluarkan betapa pun besarnya, asal jabatan yang akan didudukinya menjanjikan pendapatan yang lebih besar. Belum lagi, sifat masyarakat Indonesia yang paternalistik akan melihat sesorang pada jabatan yang diduduki, bukan pada kinerja.

Pendapatan tambahan yang begitu diharapkan sebenarnya refleksi dari budaya upeti yang sudah turun-temurun, sebagai cermin dari kehidupan masyarakat yang begitu terpesona dengan kehidupan pegawai pemerintah, bukan pada wiraswasta. Belum lagi budaya menerabas akibat intensnya ekonomi pasar bebas, maka yang menjadi bidikan utama  tujuan dapat tercapai tanpa mempertimbangkan proses yang semestinya dijalani secara terstruktur dan sistematis.

Markus juga dapat dijumpai seperti pada kasus yang menyangkut pembesar yang berperkara hukum, maka dibentuk ‘’panitia’’ yang terdiri atas pihak-pihak yang mempunyai hubungan dekat dengan berbagai instansi yang dapat memperingan hukuman atau bahkan membebaskan hukuman.

Masalah yang terjadi pada kasus markus mengaitkan berbagai pihak dan juga berbagai segi, baik hukum, ekonomi, maupun budaya, bahkan dapat juga politik. Pemecahan terhadap masalah ini tidak dapat dilakukan secara parsial, tetapi harus menyeluruh dan tersistematis. Tanpa pemecahan secara terintegrasi, maka bisa saja kulit luarnya terkelupas, akan tetapi bijinya tetap ada. Akibatnya pada lain waktu masalah ini dapat muncul dalam rupa yang semakin menakutkan.
Penuh Pengabdian Melihat budaya sebagai unsur yang begitu penting di Indonesia maka pemecahan masalah ini harus berkiblat pada budaya lokal Indonesia. Pemimpin begitu dihormati sewaktu menjabat, akan kalau sampai terpeleset jatuh karena kesalahan, masyarakat akan berlaku sebaliknya, yaitu menghujat.

Para pemimpin harus dapat menjalankan tugasnya penuh pengabdian, di mana masyarakat banyak harus menjadi tujuannya. Antara ucapan dan perilaku haruslah searah, di mana ibadah vertikal hendaknya berkelindan dengan ibadah horisontal.

Memakai pepatah orang Jepang yaitu ikan mulai busuk dari kepalanya. Pejabat publik adalah kepala ikan dan organisasi yang dipimpinya (birokrasi) adalah badannya. Akibatnya, apabila pemimpin yang seperti kepala ikan mengalami kebusukan, maka bawahannya akan ikut-ikut cepat busuk (Bibit S Rianto, 2009).

Markus ataupun praktik korupsi lainnya muncul diakibatkan oleh renumerasi yang tidak rasional sehingga banyak pihak yang mencari pendapatan tambahan. Pendapatan tambahan yang lebih besar dari gaji resminya dilakukan, akibat kebutuhan hidup yang semakin tinggi dan sulit. Maka sudah waktunya perlu diterapkan standar gaji rasional, di mana gaji pejabat ataupun pegawai lainnya dipatok jumlah tertentu yang memadai sesuai dengan tanggung jawab yang diembannya.

Bibit S Rianto menunjukkan contoh pada 1984 gaji polisi Inggris adalah terbaik di negeri ini, kira-kira 10 sampai 12 kali lipat dibanding dengan gaji polisi Indonesia. Akibatnya tingkat korupsi di Inggris rendah dan pengawasan internal berjalan dengan sangat baik.

Gaji pegawai dapat dirasionalkan di Indonesia apabila tingkat korupsi dapat ditekan serendah-rendahnya. Tingkat korupsi yang salah satunya dalam wujud markus dapat diminimalisasi apabila hukumnya dapat berjalan secara tegas, konsisten, dan tanpa pandang bulu.

Kasus yang terjadi di negara China barangkali dapat sebagai teladan, di mana sekarang ini dengan diperlakukan hukum yang keras dan tegas, maka kasus korupsi mengalami penurunan drastis. Para pemimpin sebagai anutan masyarakat di negara Tirai Bambu ini kalau terbukti korupsi, maka benar-benar dihukum mati di hadapan publik.

Semoga dengan awalan markus yang dibuka Susno, benar-benar dapat memecahkan masalah korupsi yang begitu menggerogoti akar kehidupan berbangsa dan bernegara. Kontroversi markus dan korupsi dapat ditekan serendah mungkin, sehingga masa depan gemilang Indonesia bukan hanya impian dan wacana melainkan menjadi kenyataan. (10)

— Purbayu Budi Santosa, guru besar Fakultas Ekonomi Undip  yang menekuni ekonomi kelembagaan
 Wacana Suara Merdeka 3 Maret 2010