Oleh DADANG S. ANSHORI
Hingga saat ini sesungguhnya belum ada satu pun perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang melaksanakan UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Kementerian Pendidikan Nasional baru meluncurkan Permendiknas No. 32 Tahun 2009 tentang Mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan, Perubahan Badan Hukum Milik Negara atau Perguruan Tinggi, dan Pengakuan Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Sebagai Badan Hukum Pendidikan yang ditindaklanjuti dengan Edaran Dirjen Dikti No. 170/D/T/2010 tanggal 17 Februari 2010 tentang Perubahan Perguruan Tinggi menjadi Badan Hukum Pendidikan. Tahun ini, Dikti menargetkan perguruan tinggi negeri mempersiapkan diri mengubah bentuk, diawali pengajuan perubahan bentuk oleh tujuh PT BHMN. Namun, rencana tersebut harus ditunda berkaitan dengan pembatalan UU BHP oleh MK.
Argumentasi dasar pembatalan UU BHP karena bertentangan dengan UUD 45 tentang kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. UU BHP dipandang tidak sejalan dengan UUD 45 yang menyatakan, setiap warga negara berhak atas pendidikan. Hampir semua pihak memberi perhatian pada pasal 41 ayat (9), biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan tinggi berstandar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan pada BHPP paling banyak 1/3 dari biaya operasional. Pasal ini yang dikhawatirkan makin meningginya biaya pendidikan. Besarnya biaya pendidikan yang harus ditanggung peserta didik seakan-akan memberi indikasi keberpihakan pemerintah pada komersialiasi pendidikan. Ini tentu saja dibantah pemerintah sebab pada pasal 46 ayat (1) dan (2) dengan memberi porsi 20 persen bagi masyarakat miskin untuk mencicipi pendidikan tinggi. Tidak heran, pembatalan UU BHP dipandang sebagai akhir dari upaya komersialisasi pendidikan.
Selain itu, ketidakberpihakan UU BHP tampak pada pasal 40 ayat (3), badan hukum pendidikan menyediakan anggaran untuk membantu peserta didik warga negara Indonesia yang tidak mampu membiayai pendidikannya, dalam bentuk: a. beasiswa; b. bantuan biaya pendidikan; c. kredit mahasiswa; dan/atau d. pemberian pekerjaan kepada mahasiswa. Sementara itu, UUD 45 menyatakan, fakir-miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Seharusnya negara memberi perlindungan dan akses pendidikan sepenuhnya kepada masyarakat tidak mampu. Ayat ini pula yang dijadikan alasan penggugat dan MK untuk membatalkan UU BHP.
Artikulasi
Selepas UU BHP dibatalkan, apakah berkonsekuensi pada hilangnya komersialiasi pendidikan? Tentu letak persoalannya bukan di sana. Pemerintah harus mendesain pendidikan nasional sesuai dengan konteks kemajuan masyarakat nasional dan dunia di satu sisi dan pada sisi lain harus memperhatikan kemampuan dan aspirasi masyarakat bawah. Niat baik pemerintah dalam UU BHP adalah memberikan ketegasan atas peran pemerintah dan masyarakat, termasuk batasan-batasan yang harus dilakukan perguruan tinggi dalam menyelenggarakan pendidikan. Hal itu tampak pada tatakelola, anggaran, serta pengawasan dan akuntabilitas. Dalam pasal 15 ayat (2) dijelaskan, badan hukum pendidikan harus memiliki, (a) organ representasi pemangku kepentingan; (b) organ representasi pendidik; (c) organ audit bidang nonakademik; dan (d) organ pengelola pendidikan. Pada PT BHMN organ-organ ini diwujudkan dalam bentuk majelis wali amanat, senat akademik, dewan audit, dan pimpinan universitas. Namun, kerap terjadi konflik kepentingan pada masing-masing organ sehingga keanggotaan tersebut tidak sepenuhnya terpisah.
Pada level organ pemangku kepentingan, hal tersebut dapat dipahami karena memang sesuai perannya menjadi lembaga keputusan tertinggi. Namun, agak heran kalau organ pengelola pendidikan sekaligus menjadi anggota organ representasi pendidik. Bagaimana mungkin terjadi kritisi dan evaluasi terhadap pimpinan organ pengelola pendidikan (rektor) apabila anggota organ representasi pendidikan (senat akademik) adalah pejabat-pejabat organ pengelola yang diangkat oleh pimpinan organ pengelola pendidikan (rektor)? Ketidakjelasan ini sarat kepentingan, mengingat pada saatnya organ representasi pendidik ini akan berperan menyeleksi calon pimpinan tertinggi organ pelaksana pendidikan (rektor).
Dalam hal pengawasan dan akuntabilitas sebagaimana disebutkan pasal 48 ayat (3), (4), (5) mencakup akuntabilitas akademik dan nonakademik sangat diperlukan untuk konteks saat ini. Dalam akuntabilitas laporan keuangan disebutkan pada pasal 51 ayat (3), laporan keuangan tahunan badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, harus diumumkan kepada publik melalui surat kabar berbahasa Indonesia yang beredar secara nasional dan papan pengumuman. Demikian pula disebutkan pada pasal 52 ayat (2), laporan keuangan tahunan badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi diaudit oleh akuntan publik. Dalam hal ini PT dituntut agar transparan dan akuntabel dalam penggunaan uang negara dan masyarakat.
Sesungguhnya UU BHP dari sisi-sisi ini memiliki visi dan misi yang jelas dan membatasi secara tegas hubungan antara perguruan tinggi dan masyarakat. Komersialisasi pendidikan terjadi pada ruang ketidakjelasan batasan yang boleh dijalankan perguruan tinggi. Otonomi perguruan tinggi dalam pengelolaan akademik dan manajemen belum diterjemahkan ke dalam peraturan yang tegas mengenai di mana batas-batas perguruan tinggi dalam menarik biaya dari masyarakat. Di saat perguruan tinggi harus menutupi kebutuhan operasional penyelenggaraan pendidikan, ruang ini dimanfaatkan dengan menarik dana dari masyarakat yang untuk ukuran masyarakat kita sangat mahal. Pertanyaan sekarang adalah adakah harapan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan tinggi yang terjangkau dapat terkabul? Bola panas ini sekarang berada di pundak para pimpinan perguruan tinggi. ***
Penulis, dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), peneliti pada Educational Quality Control (EQC) Foundation.
Opini Pikiran Rakyat 3 april 2010