02 April 2010

» Home » Kompas » Buruh Serabutan dan Skandal Century

Buruh Serabutan dan Skandal Century

Pada suatu sore tanggal 27 Maret dengan bersepeda saya singgah di sebuah warung kecil di kawasan Sleman, Yogyakarta. Di sana ada seorang bernama Suproyono (40), dan ia langsung menyebut nama saya. Lalu terjadilah perkenalan singkat. Dia mengenalkan diri sebagai buruh serabutan. Ajaibnya, sahabat kita ini ternyata mengikuti berita-berita hangat Tanah Air.
Inilah di antara kalimatnya: ”Saya telah berusaha pinjam modal kecil sebesar Rp 500.000 sampai dengan Rp 1.000.000 pada BRI, tetapi selalu gagal karena tidak punya agunan. Kartu Keluarga dan KTP tak berlaku sebagai jaminan pinjaman. Yang diminta BPKB sepeda motor, jelas tidak ada. Datang ke sini saya membonceng sama teman. Saya punya keterampilan untuk berusaha kecil-kecilan, tetapi modal ke mana saya cari?”


Lalu diteruskannya: ”Mendapatkan pinjaman senilai itu saya pun tak berhasil, sedangkan BI demi menyelamatkan Bank Century yang sarat masalah itu dengan mudah saja mengeluarkan dana sebesar Rp 6,7 triliun, mengapa semuanya ini terjadi? Sebagai rakyat kecil, ya, beginilah nasib saya. Talangan triliunan rupiah Bank Century saya tonton melalui TV. Pak Maarif saya kenal juga lewat TV saat ditemui Tim Sembilan, mengapa kita dapat berjumpa di sini?”
Anda jangan anggap enteng seorang buruh serabutan. Dia paham apa yang sedang berlaku di republik ini. Dia telah kehilangan kepercayaan kepada pemerintah yang dinilainya tidak berpihak kepada wong cilik. BRI tentu saja punya aturan mainnya sendiri, tetapi rakyat kecil yang sungguh-sungguh ingin berusaha, ke mana harus mengadu.
Memang di mana-mana berkeliaran lintah darat yang siap meminjamkan modal, tetapi dengan bunga yang mencekik. Su- proyono tidak berani mendekatinya sebab pasti akan semakin memperparah nasibnya yang sudah tak menentu.
Indonesia merdeka belum melahirkan seorang ekonom seperti Muhammad Yunus dari Banglades dengan Grameen Bank-nya yang sampai batas tertentu telah berhasil memberdayakan rakyat miskin, khususnya kaum perempuan. Orang miskin dengan demikian punya tempat mengadu.
”Mengapa upaya saya untuk pinjam sejumlah itu selalu gagal, sementara talangan untuk Bank Century dengan mudah dicairkan?” tanyanya. Mendapat pertanyaan tajam semacam ini dari seorang buruh serabutan, saya terdiam, mulut saya terkunci. Setelah sejenak saya hanya berkata lirih kepadanya, ”Memang sistem ekonomi kita tidak berorientasi kepada keadilan, bahkan tidak sejak kita merdeka.” Hanya itu jawaban yang dapat saya berikan kepadanya.
Menjelang magrib, kami pun berpisah dengan meninggalkan kegalauan yang perih di hati saya. Jumlah orang seperti Soproyono ini pasti bukan ribuan, melainkan jutaan, tersebar di kawasan perkotaan dan pedesaan di seluruh Nusantara. Mereka adalah bagian dari anak bangsa yang menderita di tengah-tengah kehidupan elite yang berfoya-foya, di lingkungan gurita korupsi yang mematikan, dan praktik kongkalingkong antara aparat dan penjahat yang sangat melukai batin buruh serabutan, seperti halnya Suproyono. Sebelum berpisah, saya tanyakan tempat tinggalnya. Dia jawab, di Gedong Tengen, Yogyakarta.
Keadilan sosial
Para ekonom Indonesia masih saja berdebat tentang sistem ekonomi neoliberal dengan menjadikan pasar sebagai ”agama” dan sistem ekonomi kerakyatan yang berorientasi kepada kesejahteraan umum. Suproyono tampaknya tak tertarik dengan wacana itu. Yang diinginkannya adalah agar nasib rakyat jelata jangan dibiarkan terkatung-katung dan telantar seperti sekarang ini. Seorang menteri bisa saja mengatakan: ”Saya pengagum Bung Karno, masa dituduh neolib?” Akan tetapi, kenyataan di lapangan, pasar-pasar tradisional semakin tergusur, bahkan di kawasan pedesaan sudah semakin menghilang dengan segala kepedihan yang ditinggalkannya.
Setelah warung-warung serba sederhana itu dilibas mati oleh Indomaret-Indomaret yang semakin agresif, lalu ke mana pedagang-pedagang dengan modal yang sangat minim itu harus pergi mencari sesuap nasi? Maka, Anda jangan kaget jika kota-kota besar semakin padat oleh migrasi lokal, menyabung nyawa untuk menyambung kehidupan. Sebagian kecil tentu berhasil, sedang- kan sebagian besar pasti terempas digulung roda ekonomi pasar. Kehidupan di perkotaan sangat ganas dan liar. Jutaan yang sudah menjadi korban, tetapi migrasi itu tetap saja berlangsung karena kondisi desa pun sudah tidak memberi harapan. Bukankah jumlah desa tertinggal di seluruh Indonesia masih berada di atas angka 40 persen dari total 70.611 desa?
Jika demikian, di mana Pancasila dengan sila Keadilan Sosialnya? Siapa sih yang masih menghayati Pancasila sebagai pedoman dalam membuat kebijakan untuk kepentingan umum? Pancasila ada dalam pembukaan UUD, dalam pidato, dalam buku pelajaran, dan tergantung dalam bungkus pigura cantik di kantor-kantor publik. Dalam realitas lebih banyak dikhianati tanpa rasa dosa.
Suproyono yang gagal memperoleh pinjaman di bank pemerintah dan sebal menonton kasus penalangan Bank Century adalah salah seorang dari puluhan juta anak bangsa yang belum merasakan makna sila kelima Pancasila itu dalam kehidupan hariannya yang tidak menentu. Mereka adalah sahabat kita yang perlu pembelaan.
Ahmad Syafii Maarif Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah

Opini Kompas 3 April 2010