Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) akhirnya menyatakan UU BHP sebagai inkonstitusional karena tidak sejalan dengan UUD 1945. Alasan pembatalan adalah penolakan terhadap penyeragaman penyelenggaran pendidikan yang harus berbentuk BHP sehingga menghilangkan hak yayasan, perkumpulan, wakaf, dan badan hukum sejenis untuk menyelenggarakan pendidikan. Alasan lain penilaian bahwa BHP adalah adopsi konsep Barat yang membenarkan pemerintah untuk lepas tangan terhadap penyelenggaraan dan pembiayaan pendidikan. Undang-Undang BHP menempatkan pendidikan sebagai barang publik sekaligus barang pribadi yang dapat diperjualbelikan. Pemerintah dikhawatirkan tidak mempunyai kontrol yang penuh terhadap praktik pemungutan biaya pendidikan yang akan membebani masyarakat dan membatasi akses masyarakat dari kalangan menengah ke bawah.
Banyak kalangan merasa puas dengan keputusan MK ini. Akan tetapi keputusan MK tersebut mengambangkan kembali peran perguruan tinggi dalam menanggulangi krisis mutu dan pendanaan. Krisis mutu terlihat dari lemahnya daya serap perguruan tinggi dan tingkat pengangguran lulusan perguruan tinggi. Perguruan tinggi sudah diciutkan dalam tataran jasa pendidikan sebagai sistem produksi yang menghasilkan lulusan dengan penyandang dana terbesar untuk kelangsungannya berasal dari mahasiswa. Persaingan antarperguruan tinggi berkutat pada strategi peningkatan volume peserta didik yang sebanding dengan tingkat pendapatan. Ironisnya persaingan ini tidak membawa dampak pada peningkatan angka partisipasi kasar pendidikan tinggi nasional sekitar 18 persen pada 2009 dan penurunan angka pengangguran terdidik lebih dari tujuh ratus ribu orang pada 2009.
Kapasitas dalam pencarian pendapatan di luar uang kuliah menjadi kebutuhan baru. Akan tetapi, ruang pengembangan sumber pendanaan perguruan tinggi telah terkepung dari berbagai arah. Persaingan antarperguruan tinggi bukan hanya terjadi dalam bidang pendidikan tetapi juga dengan pelaku lainnya yang eksis dalam bidang riset, konsultasi, pelatihan, dan bisnis.
Anggaran dana pemerintah dalam menanggung dana peningkatan mutu perguruan tinggi tetap tidak akan mencukupi untuk semua perguruan tinggi di Indonesia. Dana peningkatan mutu yang tersedia dari Direktorat Pendidikan Tinggi kerap terbentur pada perbedaan biaya satuan, bidang keilmuan, kuota antardaerah, dan birokrasi pengusulan dan pencairan dana. Selain itu, pemerintah kesulitan dalam menyediakan biaya investasi prasarana dan sarana yang selama ini berasal dari pinjaman dan hibah yang tidak terjadwal. Sumber pendanaan dari masyarakat terutama alumni, orang tua mahasiswa, dan dermawan belum terbangun secara membudaya. Kesadaran memberikan donasi kepada perguruan tinggi baru pada taraf kesadaran individu. Dana lestari (endowment fund) belum signifikan menjadi salah satu sumber dana.
Sumber dana lain berkenaan dengan bidang konsultasi, pelatihan, dan riset, perguruan tinggi sudah tertinggal jauh dari lembaga swasta, asosiasi, dan perusahaan asing. Kegiatan sertifikasi sudah menjadi domain Badan Sertifikasi Nasional. Bahkan dosen dengan status pegawai negeri tidak bisa mengikuti tender projek konsultasi dan riset yang dibiayai anggaran negara dan daerah. Dana riset 2010 sebesar Rp 1,5 triliun bukan untuk pendidikan tinggi saja tetapi dialokasikan juga ke berbagai kementerian lainnya. Dana penelitian yang tersedia Rp 50 juta per judul tidak akan mampu mendongkrak kemampuan riset kelas dunia. Peran serta dunia usaha dalam riset sangat minim dan lebih aman menggunakan tenaga asing daripada dosen dengan alasan perguruan tinggi dianggap tidak kredibel dalam mengelola riset komersial.
Apakah ruang-ruang yang menstimulasi kehadiran berbagai sumber dana sudah dipersiapkan pemerintah? Pemerintah perlu segera mempersiapkan sumber dana investasi yang produktif, pemihakan pada perguruan tinggi untuk sejajar dengan lembaga lain dalam menggarap kegiatan riset dan pengembangan, konsultasi, dan pelatihan, peningkatan partisipasi swasta dalam riset dan pengembangan yang melibatkan perguruan tinggi, serta promosi pemanfaatan dana riset dan pengembangan luar negeri. Pemerintah kota juga perlu mengalokasikan dananya dalam rangka membangun pusat-pusat unggulan dalam penguasaan sains, teknologi, dan seni, studi kebijakan, pemecahan persoalan lokal, dan pemberdayaan masyarakat. Perguruan tinggi harus bekerja sama bukan hanya memproduksi lulusan tetapi turut memengaruhi penyaluran lulusan untuk bekerja di dalam dan luar negeri dan kewirausahaan melalui taman sains dan teknologi, inkubator, konsorsium kewirausahaan, transfer kredit mahasiswa, dan mobilitas pakar antarinstitusi.
Jawaban utama terhadap pendanaan bukan berasal dari pemerintah, masyarakat, atau yayasan, tetapi pada perguruan tinggi itu sendiri. Tanpa stimulasi pemerintah yang jelas dalam penanggulangan krisis pendanaan maka pembatalan UU BHP tetap membuka ketidakjelasan pendanaan yang membuat perguruan tinggi tidak mempunyai keharusan secara mandiri untuk mencari sumber dana lain di luar uang kuliah. Dengan kata lain, perguruan tinggi akan tetap melakukan cara-cara lama menguras sumber pendapatan utama dari para mahasiswanya.***
Penulis, Guru Besar Sains Manajemen ITB.
Opini Piikiran Rakyat 3 April 2010