27 April 2010

» Home » Kompas » Kesadaran Kelas dan Identitas

Kesadaran Kelas dan Identitas

Ribuan buruh galangan kapal PT Drydocks World Graha di Batam, Kepulauan Riau, mengamuk di dalam lokasi pabrik. Kemarahan massa itu dipicu oleh pernyataan bernada rasisme yang dikemukakan seorang pekerja ekspatriat.
Sebenarnya bukan persoalan umpatan supervisor berkewarganegaraan India itu sendiri yang melahirkan kemarahan kaum buruh Indonesia. Keadaan kaum buruh yang tertindas dan perasaan tak adil merupakan persoalan yang juga menjadi kekuatan determinan. Sistem pengupahan yang timpang dan perlakuan seenaknya merupakan daya yang berkontribusi terhadap aksi kekerasan itu.
Apa artinya? Perpaduan kesadaran kelas dan persoalan identitas punya efek penghancuran luar biasa. Persoalannya, kekuatan manakah yang lebih menentukan? Terciptanya kelas sosial yang sedemikian timpang atau kehadiran identitas yang menebarkan rasa perbedaan?


Tak gampang menjawab pertanyaan semacam itu sebab kesadaran kelas dan eksistensi identitas berlangsung secara berkelindan, saling mengisi, serta saling menyajikan kekuatan. Kelas ataupun identitas menghadirkan status sosial yang memiliki corak sendiri-sendiri.
Kesadaran kelas meletup dari problematika ekonomi. Pada sistem kapitalisme yang semakin mengglobal, kekuatan modal ternyata tak bisa menghapuskan batas identitas berbasis kebangsaan. Modal memang berhasil melampaui demarkasi geografis negara-bangsa. Gejala ini mengasumsikan bahwa identitas kebangsaan berhasil diringkus untuk kemudian dibungkus dalam keagungan nama perusahaan (korporasi). Namun, asumsi itu hanya mungkin direalisasikan ketika ketimpangan pengupahan dan perlakuan despotik dilenyapkan terlebih dulu. Selama kesenjangan ekonomi masih kuat bercokol, pencarian identitas merupakan kanal pelampias kemarahan.
Karakteristik eksploitatif
Tragisnya, sistem kapitalisme yang terus mendunia itu justru makin banyak menciptakan ketimpangan sosial. Bisa dikemukakan secara tegas, kapitalisme memang pada dasarnya berkarakter eksploitatif. Pihak yang paling banyak dapat untung adalah sang pemilik modal sendiri. Sementara itu, kalangan buruh secara kontinu dieksploitasi tanpa henti. Kaum buruh tak lebih hadir sebagai manusia yang diperlakukan layaknya mesin yang harus tunduk dan patuh terhadap logika modal yang berambisi melipatgandakan keuntungan finansial belaka.
Karakteristik eksploitatif yang menjadi bawaan kapitalisme merupakan soal yang tak bisa dihindarkan karena sistem ekonomi ini menciptakan dua kelas sosial yang saling berseberangan kepentingannya. Pertama, kaum borjuis (pemilik modal) yang mengendalikan semua aset perusahaan. Tujuan utama dari kelas ini, meraup keuntungan sebanyaknya, tetapi dengan biaya sesedikit mungkin. Kedua, kaum buruh yang tak memiliki modal sama sekali kecuali mereka harus menjual tenaga kepada borjuis. Kaum buruh harus merunduk-runduk dalam kekuatan borjuis. Nasib kaum buruh secara total ditentukan oleh sang pemilik modal.
Pada kasus amuk massa yang berlangsung di galangan kapal Kepulauan Riau itu, bisa saja konflik terjadi bukan karena kepentingan antara pemilik modal dan kaum buruh. Konflik itu bergulir antara sesama pekerja yang berbeda level: pengawas (supervisor) dan pekerja lapangan. Hanya saja harus diketahui, kapitalisme sebagai sistem ekonomi atau moda produksi menciptakan dua jalinan yang tak bisa terpisahkan. Pertama, persoalan kepemilikan alat-alat produksi yang menciptakan pembelahan kepentingan kelas antara pemilik modal dan buruh. Kedua, problem hubungan sesama manusia, yakni relasi pemilik modal dengan buruh serta jalinan buruh dengan buruh.
Dalam problem relasi buruh dengan buruh yang berbeda level itulah kekerasan sangat mungkin terjadi. Dalam jalinan ini, kaum buruh sama-sama terasing. Buruh yang bertindak sebagai supervisor berperan jadi sosok pengawas yang sedemikian culas. Buruh yang bekerja di lapangan mendapat pengawasan intensif untuk bekerja lebih keras. Target jumlah dan mutu produksi menjadi acuan tunggal yang harus dijalankan. Peristiwa yang tak mungkin dicegah adalah bahwa pada satu sisi, pengawas menuntut kerja terlalu berlebihan; pada sisi lain, buruh di lapangan merasa sudah maksimal bekerja.
Pertikaian di antara sesama buruh terjadi ketika supervisor sekadar berperan sebagai sang pemberi perintah yang bertindak secara instruktif, sedangkan buruh di lapangan diperlakukan sebagai pesuruh yang harus menunjukkan perilaku submisif (penuh kepatuhan). Persoalan terpendam yang melahirkan kekuatan ledakan dahsyat dalam jalinan ini adalah ketimpangan pengupahan dan keberadaan identitas. Sang pemberi perintah yang berkewarganegaraan asing dapat upah yang lebih tinggi. Sebaliknya, para pesuruh berkewarganegaraan Indonesia mendapatkan upah yang sebegitu rendah serta jauh dari kelayakan untuk hidup.
Dalam konteks itu, eksistensi identitas menjadi problem krusial yang makin memicu terjadinya kemarahan kaum buruh. Identitas bukan sekadar persoalan tentang status seseorang atau kelompok menjadi buruh dalam perusahaan. Identitas, demikian Stuart Hall (1994), merupakan sesuatu yang bersifat imajiner atau diimajinasikan tentang keutuhannya. Identitas muncul bukan dari kepenuhannya yang berasal dari dalam diri secara individual, melainkan mencuat akibat perasaan timpang yang kemudian diisi oleh kekuatan dari luar setiap individu. Identitas adalah suatu imajinasi yang lahir ketika kita dipandang berbeda oleh pihak lainnya. Artinya, identitas hadir ketika sang diri berhadapan dengan sosok liyan.
Namun, identitas tak sekadar berhenti pada persoalan diri versus yang lain. Paul Gilroy (1996) menegaskan bahwa konsep tentang identitas menggulirkan tiga pertanyaan. Pertama, pertanyaan tentang diri yang berarti bahwa manusia merupakan pelaku yang diciptakan sekaligus menciptakan ketimbang dilahirkan dalam bentuk yang sudah tuntas. Kedua, pertanyaan tentang kesamaan yang bermakna bagaimana subyek memandang diri sendiri dan bagaimana memandang pihak lain. Ketiga, pertanyaan tentang solidaritas yang mengandaikan adanya keterhubungan dan perbedaan yang menjadi prinsip dasar tindakan sosial.
Marah massa di galangan kapal Batam menunjukkan kehadiran identitas sangat ditentukan oleh persoalan ketimpangan pengupahan. Kesadaran tentang keadaan sang diri yang dieksploitasi pihak asing akhirnya menebarkan solidaritas bagi kaum buruh melakukan perlawanan. Perpaduan kesadaran kelas dan eksistensi identitas menggulirkan daya destruktivitas yang luar biasa. Inilah pelajaran pahit dari kapitalisme yang semakin mendunia.
TRIYONO LUKMANTORO Dosen FISIP Universitas Diponegoro, Semarang

Opini Kompas 28 April 2010