27 April 2010

» Home » Kompas » Jelajah Musi dan Peta Pembangunan

Jelajah Musi dan Peta Pembangunan

Menyimak ide ”Jelajah Musi 2010” yang dilakukan Harian Kompas, awalnya saya berpikir bahwa aktivitas itu tidak lebih dari sekadar petualangan. Menyusuri kelok-kelok Sungai Musi, menelusuri imajinasi kehidupan masa lalu dalam aliran sungai sepanjang 640 kilometer.
Penilaian itu ternyata keliru. Membaca laporan tim ”Jelajah Musi” selama sepekan, tak ubahnya membaca peta pembangunan di Sumatera Selatan. Kekayaan alam, ketekunan dan keuletan penduduk, berpadu dengan realitas yang belum menggembirakan, seperti kemiskinan, kurangnya pendidikan, masalah kesehatan, dan perumahan, terutama di wilayah yang relatif jauh dari kota.
Selain itu, Jelajah Sungai Musi juga menginspirasi untuk kebangkitan sebuah optimisme. Dalam konteks ini, suka atau tidak, kebesaran Kerajaan Sriwijaya yang berdiri pada 17 Juni 683 Masehi bisa dijadikan alat politik untuk membangkitkan optimisme publik. Sentuhan pada alam bawah sadar penduduk mengenai hal itu diduga bisa memperkuat kerja sama pemerintah daerah (pemda) dan penduduk. Dengan demikian, akselerasi pembangunan akan terjadi dan perbaikan kehidupan rakyat akan terwujud.


Memicu optimisme
Sebagai Gubernur, saya meyakini, secara umum warga Sumsel merasa bangga karena mereka sering jadi tuan rumah bagi kegiatan-kegiatan besar baik yang berskala nasional maupun internasional. Bahkan, pada 2011, Sumsel akan jadi arena bagi ajang olahraga Sea Games XXVI.
Kebanggaan itu tentu saja memicu optimisme publik. Masyarakat secara otonom akan berinisiatif untuk bergerak, melakukan kerja apa saja yang berguna bagi peningkatan kualitas hidup mereka. Oleh karena itu, jika optimisme itu dipadu dengan kebanggaan masa lalu yang diinspirasi oleh Jelajah Musi, melalui strategi komunikasi politik yang tepat, tentu banyak masalah yang akan bisa lambat laun atau bahkan segera diatasi.
Becermin dari pemikiran itu dan menyerap realitas sosial- ekonomi seperti terpapar dalam Jelajah Musi, tampaknya tidak ada pilihan lain dari pemerintah kecuali melakukan integrasi langkah kebijakan. Selain program-program pembangunan yang dalam waktu singkat dapat mendorong secara langsung pertumbuhan ekonomi, pemda juga dituntut fokus pada tiga program utama, yaitu pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja. Menurut pemahaman saya, inilah sebagian dari pilar utama yang menyumbang perasaan tenteram masyarakat. Adapun fondasi kokohnya adalah pertumbuhan penduduk yang relatif rendah.
Laju pertumbuhan penduduk di Sumsel pada tahun lalu tercatat paling rendah di Indonesia, yaitu hanya 1,2 persen. Harapannya, tahun 2010 ini turun lagi menjadi 1,1 persen (rata-rata nasional 1,3 persen).
Situasi yang relatif terkontrol itu membuat pemda bisa mengalokasikan energi yang dimiliki untuk membangun pilar-pilar ketenteraman rakyat. Mengambil kebijakan dari Jelajah Musi, selain perlunya pembangunan infrastruktur di wilayah sekitar aliran sungai, masyarakat juga memerlukan akses yang luas terhadap pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja. Bahkan, pemenuhan atas ketiga akses itu merupakan kebutuhan seluruh warga masyarakat, terutama dari kelompok yang kurang beruntung.
Proyek infrastruktur
Berangkat dari kesadaran itu, selain merealisasikan pendidikan dan kesehatan gratis, pemda juga tengah bekerja keras mewujudkan proyek infrastruktur besar- besaran untuk mengeluarkan sumber daya alam batu bara (48,5 persen batu bara Indonesia ada di Sumsel) sebesar-besarnya dan secepat-cepatnya, dengan tetap memerhatikan masalah lingkungan. Proyek infrastruktur itu berupa pembangunan 270 km rel kereta api khusus batu bara, ratusan kilometer jalan khusus batu bara, serta angkutan sungai dan kanal-kanal. Semuanya menuju coal terminal di Pelabuhan Samudra Tanjung Api-api.
Saat ini, wilayah Tanjung Api-api sendiri telah ditetapkan sebagai kawasan ekonomi khusus. Di sini akan dibangun kawasan industri untuk pupuk, smelter aluminium, kilang minyak, industri hilir petrokimia, dan CPO. Semua ini memerlukan lebih dari seratus ribu tenaga kerja yang sebagian terbesar adalah tenaga lokal. Dengan demikian, masalah lapangan kerja dengan sendirinya akan dapat teratasi dalam waktu singkat.
Apabila Jelajah Musi sudah memberi dua nilai, yaitu inspirasi pada optimisme dan pemetaan pembangunan yang berbasis pada tiga pilar ketenteraman masyarakat (pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja), langkah selanjutnya adalah pembangunan fasilitas sosial yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat Sumsel. Inilah tantangan lanjutan yang dihadapi oleh pemda.
ALEX NOERDIN Gubernur Sumatera Selatan

Opini Kompas 28 April 2010