Saking banyaknya pemodal gede di AS, klaim itu sulit terbantahkan. Kebijakan apa pun pasti diperjuangkan berbagai kelompok orang berada. Namun, kenyataan itu tidak banyak membantu pengertian kita. Pada hemat saya, kita perlu menelusuri dulu visi dan kemampuan politik sebuah pemerintah untuk melaksanakan visi tersebut. Ibarat nakhoda ship of state, kapal negara, seorang presiden atau perdana menteri bisa membanting roda setir kapalnya dan menempuh trayek yang berbeda dengan pendahulunya. Di AS, hal itu terjadi ketika Obama menggantikan George W Bush di Gedung Putih.
Tiga trayek baru dalam kebijakan luar negeri Obama amat mencolok mata. Yang paling berhasil, pendekatan barunya terhadap kepemilikan senjata nuklir. Pada 8 April 2010 sebuah persetujuan penting ditandatangani oleh Obama bersama Presiden Rusia Dmitri Medvedev. Apabila jadi diratifikasi Senat AS, jumlah strategic warheads, rudal strategis yang mengandung bom nuklir, yang dimiliki AS dan Rusia akan dikurangi dari 2.200 menjadi 1.550 dalam tujuh tahun.
Tujuan jangka panjang pemerintahan Obama adalah sebuah dunia tanpa senjata nuklir. Tujuan itu bertolak belakang dengan pemerintahan sebelumnya. Menurut Presiden Bush, senjata nuklir memainkan ”peran kritis” dalam kebijakan pertahanan AS, termasuk terhadap negara-negara yang menyerang AS dengan senjata-senjata nonnuklir atau konvensional. Sebaliknya, Obama menegaskan bahwa senjata nuklir tidak akan dipakai terhadap negara-negara nonnuklir, terkecuali Iran dan Korea Utara. Dua negara itu belum menandatangani Nuclear Nonproliferation Treaty, persetujuan internasional yang melarang penyebaran nuclear materials, barang-barang nuklir yang digunakan untuk membuat bom.
Trayek baru kedua menyangkut hubungan AS-Iran, yang belum pulih sejak pemerintahan Shah Reza Pahlavi digulingkan oleh revolusi Islamis pada tahun 1979. George W Bush, sesuai dengan pola umum kebijakan luar negerinya, mengambil sikap keras. Bersama Irak dan Korea Utara, Iran dijuluki ”poros setan” dan hubungan diplomatik dibekukan selama delapan tahun.
Barack Obama berpandangan lain. Iran adalah bagian penting dari strategi besarnya untuk berangsur-angsur menghapuskan senjata nuklir. Demi tujuan itu, ia menyatakan secara lantang kesediaannya berunding dengan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad. Sikap itu sangat kontroversial, termasuk dalam partainya sendiri. Setelah dilantik sampai hari ini, Obama berusaha keras memulai sebuah dialog serius dengan pemerintahan Iran.
Trayek baru Obama yang paling menakjubkan adalah kebijakannya terhadap konflik Israel-Palestina. Presiden Bush tampaknya menyetujui kesimpulan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahwa eksistensi negaranya akan terancam oleh Palestina sampai hari kiamat. Lagi pula, Bush tidak pernah menantang suatu kebijakan atau tindakan Israel terhadap masyarakat Palestina.
Bagi Obama, kebijakan AS terhadap Israel harus diletakkan dalam kerangka kebijakannya terhadap Timur Tengah, termasuk Iran dan ancaman nuklirnya. Ironisnya, keyakinan itu diperkuat oleh keterlibatan ratusan ribu pasukan AS dalam perang-perang pemerintahan Bush di Irak dan Afghanistan. Jenderal David Petraeus, Komandan Pasukan AS di Timur Tengah, malah mengeluh bahwa ”kemarahan Arab tentang masalah Palestina membatasi kuatnya dan dalamnya kemitraan AS dengan pemerintah-pemerintah dan masyarakat-masyarakat Timur Tengah.”
Pendekatan Obama dicanangkan di Kairo pada Juni 2009. Ia menjanjikan sebuah permulaan baru antara AS dan umat Islam serta menyampaikan rasa empatinya terhadap penderitaan orang Palestina di bawah ”pendudukan Israel”. Kedua belah pihak, Palestina dan Israel, dituding intransigent, keras kepala. Obama mengimbau kepada Hamas, partai politik yang berkuasa di Gaza, untuk mengakhiri penggunaan kekerasan dan kepada Israel untuk mengakhiri pembangunan permukiman baru di luar perbatasan historis negara Israel.
Seperti halnya dengan Iran, belum ada tanda-tanda bahwa Israel atau Palestina mau menerima pendekatan baru Presiden Obama. Israel justru membangkang. Beberapa hari setelah Obama berpidato di Kairo, Netanyahu secara eksplisit menolak imbauannya. Hubungan AS-Israel bertambah dingin pada Maret 2010. Secara sengaja Menteri Dalam Negeri Israel mengumumkan pembangunan 1.600 permukiman baru di Jerusalem Timur beberapa jam setelah Wakil Presiden Joseph Biden tiba di kota itu. Selain marah, Presiden Obama dilaporkan bertambah yakin bahwa penyelesaian konflik Israel-Palestina perlu menjadi prioritas utamanya.
Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kisah tiga trayek ini? Bagi saya, yang penting bukan keberhasilannya, yang memang belum meyakinkan. Yang penting, kesadaran kita bahwa kebijakan luar negeri AS sudah berubah secara mendasar. Penyebabnya adalah keputusan-keputusan Presiden Obama, bukan hal-hal di luar kekuatan manusia untuk bertindak. Kesadaran itulah yang membekali kita untuk melawan atau mendukung kebijakan itu secara serius.