Perdebatan terkait dengan beberapa produk hukum yang telah dikeluarkan oleh seorang ulama atau organisasi keagamaan di Indonesia ataupun negeri-negeri lain memang sudah tak asing lagi.
Beberapa saat lalu, Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi keagamaan yang besar di Indonesia melalui keputusan komisi Bahtsul Masail ad-Diniyah Maudhu'iyyah dalam Muktamar ke-32 di Makassar, mengeluarkan sebuah penjelasan mengenai hukum khitan perempuan. Disampaikan bahwa perempuan yang dikhitan jauh lebih mulia daripada yang tidak berkhitan (Republika, 28/3/10).
Keputusan tersebut menuai perbincangan karena menyangkut hak-hak reproduksi kaum perempuan. Sebelumnya, fatwa haramnya rokok oleh Majelis Tarjih PP Muhammadiyah juga menambah pro-kontra yang telah ada sejak lama. Yang terbaru, diskursus menyangkut pajak dalam perspektif Islam pun disampaikan oleh KH Masdar Farid Mas'udi, menanggapi wacana boikot pajak yang berkembang dalam jejaring sosial facebook (Opini Republika, 01/4/10).
Bagaimana menyikapi perbedaan wacana tersebut, tulisan saudara Aziz Anwar Fachruddin beberapa waktu lalu dalam Opini 'Menyikapi Fatwa' (Republika, 12/3/10) cukup bisa memberikan panduan secara paradigmatis. Namun, menurut sudut pandang penulis, pada tataran praktisnya ada beberapa tantangan yang harus dihadapi, salah satunya dalam menerapkan kaidah maslahat
Tidak hanya oleh mustafti (pihak yang diberi fatwa), pertimbangan kemaslahatan memang seringkali dipakai baik oleh seorang mujtahid (penggali hukum) maupun mufti (pemberi fatwa) untuk menyampaikan keputusan hukum.
Karena sangat dimungkinkan, terdapat perbedaan sudut pandang pada setiap orang dalam melihat aspek kemaslahatan maka wajar jika hukum yang diambil pun berbeda-beda. Perbedaan tersebut tidak akan menjadi sederhana ketika menyangkut urusan publik. Dari sini, kaidah maslahat memang relevan untuk dikaji secara lebih mendalam ketika akan dijadikan pertimbangan untuk mengeluarkan ataupun menyikapi suatu produk hukum.
Dalam konteks kajian ilmu Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqh, dua cabang ilmu yang bisa dikatakan sebagai filsafat hukum Islam, teori tentang maslahat menjadi salah satu tema yang cukup menarik. Izzuddin bin Abdissalam (wafat 660 H), seorang ulama besar dalam ilmu Qawaid Fiqh, bahkan menyederhanakan pembahasan kaidah fikih hanya dalam sebuah paradigma I'tibaru al-mashalih wa dar'u al-mafasid, yang bermakna mengambil kemaslahatan dan mencegah kerusakan (Abdullah bin Said Muhammad 'Abbadi al-Luhajji, Idhah Qawaid Fiqh, 1990: 8).
Beberapa kaidah yang lahir dari paradigma ini salah satunya adalah kaidah yang bisa dipakai dalam pengambilan kebijakan, yakni Tasharruful imam 'ala ar-ra'iyyah manuthun bi al-mashlahah (kebijakan penguasa atas rakyatnya bergantung pada kemaslahatan).
Mengingat dinamisasi kehidupan yang tidak bisa dihindari, tantangan untuk mengaktualisasikan ajaran dalam Alquran dan sunah semakin besar. Tak jarang fakta yang ada sekarang seakan menunjukkan adanya kemaslahatan yang justru bertentangan dengan teks hukum yang kita temukan. Terkait dengan hal ini, kajian Ushul Fiqh pun menyentuh pada aspek pertentangan antara nas (teks hukum) dan kemaslahatan yang ada pada fakta sekarang.
Diskursus selanjutnya, kalaupun aspek kemaslahatan dijadikan sebagai pertimbangan dalam penetapan hukum, tantangan yang ada adalah keharusan adanya pengkajian yang mendalam untuk mencari kemaslahatan yang hakiki (al-maslahah al-muhaqqaqah). Untuk itu, diperlukan pemahaman yang komprehensif mengenai fakta yang ada. Jika kemaslahatan itu menyangkut ranah publik, kemaslahatan itu pun harus berupa kemaslahatan umum (al-maslahah al-ammah), tidak boleh hanya berlaku untuk satu pihak. Di samping itu, kajian terhadap kebijakan politik yang melatarbelakangi transformasi masyarakat hingga seperti sekarang pun tidak bisa diabaikan.
Sebagai contoh, beberapa waktu lalu pewacanaan atas hukum haramnya riba termasuk di dalamnya bunga bank yang digali dari nas-nas Alquran, dipandang sebagai suatu hal yang berat untuk dijalankan dan kurang memberikan maslahat bagi masyarakat. Ini terjadi karena faktanya bank konvensional seakan menjadi satu-satunya alternatif saat itu. Namun, dengan adanya wacana sistem keuangan syariah yang memiliki sisi keunggulan dibandingkan sistem keuangan konvensional, kondisinya menjadi berbeda. Berdirinya bank-bank yang berkomitmen untuk menjalankan prinsip muamalah secara syar'i, membuat semangat untuk menghindari riba di kalangan umat Islam semakin menguat. Dari sini, hukum haramnya riba yang secara teks disampaikan dalam Alquran bukan lagi menjadi hal yang berat untuk dijalankan dan menunjukkan kemaslahatan.
Contoh lain mengenai hukum merokok dan dampak sosial atas dikeluarkannya hukum tersebut. Diskursus yang ada diharapkan tidak hanya cukup pada kemaslahatan yang sekilas tampak bagi satu pihak. Secara medis, rokok memang dinyatakan sangat berpotensi membahayakan kesehatan. Namun, nasib para petani tembakau dan buruh industri rokok juga harus dipikirkan. Wacana untuk mengembangkan komoditas tembakau di luar industri rokok seharusnya direspons dengan baik oleh pemerintah ataupun swasta. Lapangan pekerjaan lain yang aman di luar sektor industri rokok juga patut disediakan secara memadai untuk seluruh elemen masyarakat.
Begitu pula, ketika memandang aspek kemaslahatan dari pajak. Dengan sistem ekonomi yang diterapkan di Indonesia sekarang, pajak memang sangat vital. Privatisasi pengelolaan aset-aset publik, yang tidak jarang jatuh ke tangan swasta asing, meniscayakan pajak menjadi penerimaan utama dari APBN kita. Namun, dengan pertimbangan daya beli masyarakat saat ini serta adanya upaya untuk menggeser sistem dalam rangka mengoptimalkan kinerja pengelolaan aset publik oleh pemerintah (BUMN), akan memungkinkan komposisi penerimaan APBN tidak lagi didominasi oleh pajak.
Beberapa contoh tersebut diharapkan semakin memperluas sudut pandang kita. Sudah selayaknya saat ini dilakukan kajian secara objektif terhadap akar dari seluruh problematika yang melingkupi masyarakat.
Solusi yang ditawarkan seharusnya mengacu kemaslahatan yang bersifat komprehensif seraya tidak mengabaikan prinsip-prinsip agama.
Bagaimanapun keyakinan kita terhadap agama meniscayakan ketaatan kita terhadap aturan-aturan yang secara hakiki tertuang dalam agama tersebut. Tidak mustahil, bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar dan mandiri bukan karena meminggirkan agama (sekuler), melainkan karena memegang prinsip agama dengan kuat dan mengaktualisasikannya dengan tepat.
Opini Republika 30 April 2010