29 April 2010

» Home » Suara Merdeka » Drama Pemimpin Indonesia

Drama Pemimpin Indonesia

Seharusnya sang pengembala melindungi dombanya dari ancaman serigala, namun betapa pula jika sang pengembala sendiri adalah serigala-serigala? (syair Arab dari Saifuddin Zuhri, 1981)

DRAMA pemimpin Indonesia kian seru saja, satu babak telah dilewati, masuk babak baru. yang terakhir ini kian ramai diperbincangkan terkait masalah makelar kasus (markus), seperti kasus pajak, kasus hutan dan sebagainya,  banyak menyangkut petinggi yang menduduki posisi strategis di republik ini. Keputusan yang diambil oleh para petinggi tersebut bias kepentingan pribadi dan kelompok, bukan kepentingan umum.

Menonjolnya kepentingan individu ataupun kelompok menunjukkan gejala rendahnya tingkat kepercayaan umum, yang sebenarnya menggambarkan rendahnya modal sosial. Modal sosial beserta modal lainnya seperti modal keuangan, dan modal manusia yang ada dalam masyarakat, begitu menentukan tingkat kemajuan masyarakat. Dengan demikian, maju-mundurnya suatu masyarakat bergantung pada determinan-determinan yang begitu banyak dan kompleks, yang pengaruhnya kumulatif terhadap perubahan sosial yang akan terjadi.


Masyarakat umum sebenarnya tahu terhadap perilaku para petinggi yang diduga banyak yang tidak berorientasi kepentingan publik, tetapi seolah-olah pura-pura tidak tahu. Kenyataan ini disebabkan secara sosiologis  perilaku balasan berlaku pada status sosial yang sama, akan tetapi apabila status sosial lebih tinggi akan diperlakukan lain.

Penelitian penulis (tahun 1985) menunjukkan pelanggaran sosial (misalnya kumpul kebo) pada masyarakat kebanyakan langsung digerebek, dengan mengawinkan mereka di KUA. Tetapi kalau status pelakunya lebih tinggi tidak ada yang berani mengusiknya, sebaliknya yang muncul adalah rumor berita miring di kalangan masyarakat.

Selain peristiwa markus, ada fenomena menarik yaitu banyaknya artis terjun ke gelanggang politik. Kita bisa menyaksikan bagaimana di gedung DPR para artis cukup banyak berperan pada berbagai parpol, demikian berapa artis yang sudah berhasil sebagai pemimpin daerah. Belum lagi, soal Julia Perez, Maria Eva, Ratih Sanggarwati, Ikang Fawzi  ataupun artis lainnya yang dicalonkan sebagai pemimpin daerah.

Teori perburuan rente (rent seeking theory) begitu mendominasi berbagai segi di Indonesia ini. Oligarki kekuasaan dapat dibangun dengan menjalin kerja sama yang saling menguntungkan antarberbagai pihak. Hitung-hitungan ekonomi akan dilakukan dengan pembagian masing-masing, tetapi sebenarnya pihak kebanyakan akan dirugikan.

Celakanya masyarakat kebanyakan yang dirugikan akibat oligarki kekuasaan, tidak dapat berkutik dan sesuai dengan norma masyarakat yang perlakuannya tidak seimbang, ikut-ikutan terseret dalam putaran berbagai segi secara bersama yang merugikan.

Bercermin Sejarah

Karut-marutnya Indonesia sekarang ini seolah memberikan gambaran suramnya masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau kebiasaan-kebiasan jelek menjadi budaya masyarakat, maka suramnya masa depan tidak dapat dihindarkan.

Cara melakukan perubahan tentunya dari potensi diri kita sendiri, dan bukan pada tempatnya menggantungkan pihak lain. Melihat budaya masyarakat yang menempatkan posisi pemimpin pada titik sentral, karena wakil Tuhan di dunia; maka pemimpin harus dapat menjalankan tugasnya secara jujur, baik, profesional, dan menempatkan unsur etika ataupun  moralitas pada titik sentral.

Presiden SBY sebagai posisi sentral harus dapat memecahkan masalah para petinggi yang benar-benar melakukan tindakan merugikan masyarakat. Hukum yang keras tanpa pandang bulu harus dapat ditegakkan, kalau perlu koruptor layaknya teoris dihukum mati mengingat ketua Mahkamah Konstitusi sudah memberi sinyal membolehkan.

Prof Arysio Santos (2009), geolog dan fisikawan nuklir Brasil, secara meyakinkan membuktikan pendapat Plato tentang hilangnya Atlantis sebagai negara surga dunia, akhirnya memunculkan negara Indonesia. Santos berhasil membantah para pakar terkemuka di dunia, bahwa cerita Plato bukan isapan jempol dan rekaan belaka tetapi senyatanya.

Temuan Santos yang begitu mengagetkan adalah pusat peradaban dunia berada di Indonesia, bukan negara lainnya. Pertanyaannya adalah mengapa Indonesia yang menurut Santos dulunya peradabannya merupakan kiblat manusia sejagat, sekarang ini seolah-olah begitu tidak berdaya dan dipermainkan bukan saja oleh negara besar dan maju tetapi negara lain yang dulunya begitu takut dan hormat pada kita?

Penduduk Atlantis asalnya secara umum begitu kaya, mulia, dan berbudi luhur. Mereka tidak mementingkan kekayaan, tetapi lebih mementingkan kebajikan dan kesalehan. Antara rakyat dan pemimpinnya terjadi kepercayaan yang sangat tinggi, karena orientasinya kepada tugas dan peran masing-masing di mana pemimpin berhasil memajukan rakyatnya.

Lambat laun menurut Plato, penduduk Atlantis terperangkap kesombongan, ambisi, iri hati, serta tidak mementingkan etika dan moralitas. Hukum-hukum Tuhan dilanggarnya, tidak samanya perkataan dan perbuatan, sehingga marahlah penguasa jagat raya ini. Cerita akhirnya hilanglah benua  Atlantis dan memunculkan negara makmur tak tertandingi: Indonesia. (10)

— Purbayu Budi Santosa, guru besar FE Undip yang menekuni ekonomi kelembagaan

Wacana Suara Merdeka 30 April 2010