MENJELANG 40 hari setelah kewafatan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), saya mendapat tidak kurang dari 9 undangan untuk acara yang sama: Peringatan 40 Hari Wafat Gus Dur. Dua di antaranya dari keluarga almarhum di Tebuireng, Jombang (Jatim) dan Ciganjur, Jakarta. Saya ketika itu hadir pada peringatan di Tebuireng; terutama karena undangannya datang lebih dahulu. Sekarang ini, undangan untuk peringatan 100 hari wafatnya, juga berdatangan dari mana-mana. Ada yang pas 100 harinya, ada yang sebelum dan sesudahnya.
Kiai sepuh karismatik KH Maemoen Zubair yang pada malam peringatan 40 hari wafatnya Gus Dur hadir bersama nyai di Tebuireng, sempat bertanya —seolah-olah kepada diri sendiri— mengenai fenomena presiden ke-4 itu. Pertanyaan yang juga mengusik pikiran saya dan mungkin banyak orang. Amaliyah Gus Dur apa kira-kira yang membuat cucu Hadhratussyeikh KHM Hasyim Asy’ari dan KH Bisri Sansuri itu tampak karomah-nya, dihargai, dan dihormati orang sedemikian rupa setelah kemangkatannya? Penghormatan yang belum pernah terjadi pada orang lain, termasuk pada presiden ataupun kiai sekalipun.
Pers dunia tidak hanya memberitakan kewafatannya, tapi menulis tentang diri Gus Dur. Pada saat pemakaman, keluarga; masyarakat; dan pemerintah seperti berebut merasa paling berhak menghormatinya.
Ternyata pemakaman Kiai Bangsa ini bukanlah penghormatan terakhir. Rombongan demi rombongan dari berbagai pelosok Tanah Air, setiap hari berdatangan. Bahkan banyak peziarah memerlukan datang dari luar negeri. Mereka datang dengan tulus menangisi dan mendoakannya.
Sebagian malah memohon maaf kepada Gus Dur atas kesalahannya; termasuk seorang ibu yang menangis memohon maaf karena tahun 2004 tidak memilih PKB.
Di samping acara doa bersama untuk Gus Dur, berbagai acara untuk mengenang dan menghormati almarhum diselenggarakan di mana-mana.
Ada yang bersifat ritual keagamaan, ada yang dikemas dalam bentuk pengajian umum, sarasehan, atau kesenian. Acara itu tidak hanya diselenggarakan oleh kalangan pesantren, nahdliyin, kaum muslimin, tapi juga oleh kalangan agama dan etnis lain. Dalam rangka peringatan 40 hari wafatnya, di mana-mana pun orang menyelenggarakan acara khusus.
Saya mendatangi undangan Gus Sholahuddin Wahid dan keluarga Bani Wahid di Tebuireng. Menyaksikan ribuan orang yang mulai pagi berdatangan menuju kompleks pesantren, di mana terletak makam Gus Dur. Rahmat Allah berupa hujan, mengguyur Tebuireng dan sekitarnya.
Sekian banyak orang berbasah-basah berjalan dari tempat parkir yang jaraknya antara 3 dan 5 km menuju ke makam. Saya menyaksikan di samping tempat parkir, tukang-tukang ojek dadakan, juga warung-warung baru. Semuanya itu tentu untuk melayani peziarah.
Kembali ke pertanyaan Kiai Maemoen. Ketika Gus Dur ke rumah saya di Rembang, seminggu sebelum wafat, Beliau menceritakan mimpi saudaranya. Mimpi, yang menurut saudaranya itu aneh dan ingin ditolaknya. Saudaranya itu bermimpi berada dalam jamaah shalat. Termasuk yang ikut menjadi makmum adalah Hadhratussyeikh KHM Hasyim Asy’ari dan yang menjadi imam Gus Dur.
Barangkali untuk menghilangkan kekecewaan saudaranya yang tampak kurang senang Mbah Hasyim kok makmum Gus Dur meski hanya dalam mimpi, Gus Dur pun menafsiri mimpinya, ‘’Ya kalau soal akhlak dan agama, imamnya memang harus Hadhratussyeikh tapi kalau soal politik, imamnya ya saya’’.
Kiai Tolchah Hasan mempunyai pendapat menarik. Menurut tokoh yang pernah ditunjuk Gus Dur menjadi menteri agama itu, karomah seperti yang diperoleh Gus Dur disebabkan oleh keistikamahan. Keistikamahan Gus Dur minimal bisa dilihat dari dua hal: istikamah memihak dan membela kaum lemah dan istikamah dalam ke-zuhud-annya.
Pemihakan dan pembelaan Gus Dur kepada kaum lemah berlangsung sejak sebelum menjadi presiden, ketika menjadi presiden, sampai setelah tidak menjadi presiden. Sampai wafat.
Demikian pula ke-zuhud-annya. Sepanjang hidupnya, hati Gus Dur tidak pernah kumanthil pada hal-hal bersifat duniawi. Gus Dur tidak bisa Anda bayangkan menghitung duit, misalnya. Pangkat presiden disikapinya biasa-biasa saja. Diangkat tidak syukuran dan dilengserkan tidak kecewa. Hidupnya berlangsung terus seperti semula tanpa terpengaruh materi duniawi.
Dari sudut tasawuf, saya setuju Kiai Tolchah, karena saya juga lama bergaul dengan Gus Dur. Namun dari sudut lain, saya berpendapat Gus Dur dihargai dan dicintai beragam orang, karena ia menghargai keberagaman dan mencintai beragam orang. Gus Dur dihormati orang secara tulus, karena dia juga tulus menghormati orang. Gus Dur bersemayam di hati orang banyak, karena orang banyak selalu berada di hati dia.
Gus Dur, setahu saya, sering dan banyak berbeda dari sejumlah orang, tapi tidak pernah benci kepada mereka yang berbeda, bahkan kepada yang membencinya sekalipun. (10)
— A Mustofa Bisri, budayawan
Wacana Suara Merdeka 10 April 2010