09 April 2010

» Home » Suara Merdeka » Problem Sistemik Pilkada

Problem Sistemik Pilkada

BIAYA ini belum termasuk dana yang diperlukan oleh kandidat untuk ”membeli” dukungan partai, sosialisasi dan kampanye, serta proses pencalonannya. Untuk sebuah kabupaten yang paling miskin di Indonesia, biaya politik seorang calon kepala daerah paling sedikit Rp 2,5 miliar.

Di tingkat provinsi, indeks biaya pilkada berlipat ganda karena perkalian jumlah pemilih sesuai jumlah kabupaten / kota yang ada serta dana sosialisasi dan kampanye kandidat yang juga sangat besar. Pilgub Jawa Timur pada 2008 mencatat rekor biaya hingga hampir Rp 1 triliun karena berlangsung dalam tiga putaran akibat sengketa hasil suara.

Pembengkakan anggaran terjadi akibat inflasi, peningkatan honor petugas, dan kelemahan antisipasi KPU. Seperti telah disinggung, ketentuan cara pemungutan suara berdampak pada anggaran pilkada. Bila pilkada sekarang memakai cara Pemilu 2009, yaitu dengan mencontreng tanda gambar, maka biaya bisa ditekan. Tetapi KPU tidak berinisiatif mengusulkan perpu untuk mengubah ketentuan mencoblos dalam UU Nomor 32 Tahun 2004.

Sementara itu, pemerintah juga dianggap terlalu cepat berkeinginan mengubah format pilgub dari pemilihan langsung ke pemilihan oleh DPRD. Padahal masih banyak opsi yang bisa dicoba untuk menekan biaya pilgub. Misalnya, selain menerbitkan perpu untuk cara pemungutan suara, perlu ditempuh kebijakan sosialisasi kandidat oleh KPU daerah dan pembatasan biaya kampanye untuk menekan anggaran calon.

Penerapan e-voting (pemungutan suara lewat layar sentuh) juga merupakan opsi yang pantas dicoba. E-voting mampu menghemat sepertiga biaya pilkada. Cara ini sudah dipraktikkan dalam pemilihan kepala dusun di Kabupaten Jembrana, Bali, yang akan diterapkan pula dalam pilkada di daerah tersebut sesuai putusan MK tanggal 30 Maret lalu atas judicial review yang diajukan bupati Jembrana.

Dalam dialog di TvOne, Senin (05/04/10) malam, anggota Dewan Pertimbangan Presiden M Ryaas Rasyid berpendapat, kalau biaya pilkada dianggap terlalu mahal maka bisa dicari format baru yang lebih efisien. Mendagri Gamawan Fauzi dalam forum yang sama juga mengungkapkan rencana Depdagri mengadakan lokakarya mencari sistem pilkada hemat.

Apa pun modusnya, efisiensi janganlah dijadikan alasan utama untuk mengubah format pilkada langsung. Di balik hajat pilkada ada perputaran ekonomi yang juga mendorong pertumbuhan daerah. Model pilkada langsung sudah bagus dan menjamin kebebasan, demokrasi, serta legitimasi kepala daerah terpilih.
Kualitas Calon Masalah lain yang masih melekat dalam pilkada adalah kualitas calon kepala daerah. Problem ini terutama mencerminkan kelemahan mekanisme internal parpol dalam perekrutan kandidat. Mekanisme parpol dinilai belum demokratis dan masih didominasi elite pusat, sehingga tidak semua kader terbaik partai terakomodasi dalam pilkada.

Struktur di internal partai yang oligarkis dan proses pengambilan keputusan masih diwarnai politik uang, akhirnya membuat kader-kader terbaik partai tersingkir dan digantikan oleh kader luar partai. Secara nasional, perbandingan calon kader partai dan calon luar partai sekitar 40 : 60 persen. Bahkan yang 40 persen pun tidak seluruhnya kader murni.

Karena itu, parpol dianggap lebih berfungsi sebagai kendaraan politik untuk kekuasaan daripada institusi yang menyiapkan pejabat publik. Fungsi penyerap aspirasi rakyat juga sebagian sudah diambil alih oleh komponen civil society seperti ormas, LSM, dan institusi independen lainnya.

Kendala di internal partai dan tidak dilaksanakannya proses uji publik terhadap calon kepala daerah sebagaimana amanat UU Nomor 32 Tahun 2004, membuat sejumlah kepala daerah dianggap bermasalah secara managerial, etika, norma, dan hukum.

Di Jawa Tengah, kasus-kasus tersebut terjadi antara lain di Brebes, Kabupaten Pekalongan, Batang, Kendal, Kota Semarang, Sragen, Kota Magelang, Purworejo, dan Cilacap.

Kualitas kepala daerah terpilih juga dipengaruhi oleh kualitas pemilih. Banyak pemilih dinilai belum kritis, kurang memerhatikan jejak rekam kandidat, mudah tergiur janji kosong dan politik uang, serta gampang terpesona oleh popularitas calon.

Itulah sebabnya muncul fenomena sejumlah kepala daerah dari kalangan selebritis yang mengandalkan popularitas. Tampaknya kompetensi calon tidak lagi menjadi pertimbangan bagi sebagian pemilih. Atau sebaliknya, figur selebritis dianggap sebagai alternatif bagi kandidat berkompeten tapi bermasalah.

Solusi bagi sejumlah problem tersebut adalah penyempurnaan regulasi serta memasukkan regulasi pilkada dalam program penyelarasan dan integrasi hukum nasional, peningkatan kemandirian dan profesionalisme penyelenggara, penerapan teknologi baru dalam penyelenggaraan pilkada, perbaikan mekanisme internal partai, dan kepedulian masyarakat termasuk pemilih dalam peningkatan kualitas demokrasi lokal.(10)

— A Zaini Bisri, wakil ketua Pengurus Nasional Mapilu-PWI dan penulis buku Pilkada Langsung: Problem dan Prospek” (2006)


Wacana Suara Merdeka 10 April 2010