Oleh Radhar Tribaskoro
Panitia Angket Kasus Bank Century telah menutup masa kerja mereka dengan gemilang. Justice is done, but what next?
Bagi pendukung Susilo Bambang Yudhoyono, voting dalam sidang paripurna bak tamparan keras yang harus diterima di usia pemerintahan yang baru seumur jagung. Kini saatnya bagi presiden dan seluruh pendukungnya merenungkan lebih mendalam apa makna di balik kekalahan itu. Apa yang sesungguhnya dikehendaki rakyat dan apa resonansi kehendak rakyat itu di dalam masyarakat politik kita. Buah renungan itu niscaya bermanfaat untuk menegakkan kembali wibawa pemerintahan dan menguatkan kepercayaan diri pemerintah dalam mengemban amanat penderitaan rakyat.
Salah satu faktor penyebabnya adalah kegagalan memahami bahwa kesalahan Sri Mulyani dan Boediono terlalu nyata untuk diabaikan. Pertama, mereka tidak mengungkap sebab kebangkrutan Bank Century yang ternyata lantaran pencolengan dari dalam menimbulkan kecurigaan ada aksi cover up. Kedua, sekalipun mereka sejak semula mengetahui itu, tetapi begitu mereka tetap memberikan talangan 6,7 triliun tanpa pengawasan yang layak. Sebagai perbandingan, pada periode yang sama pemerintah Amerika Serikat memberi talangan besar ke korporasi maupun perbankan, tetapi dengan pengawasan superketat. Puluhan bank ditutup tanpa diikuti rush.
Panitia Angket Kasus Bank Century telah menutup masa kerja mereka dengan gemilang. Justice is done, but what next?
Bagi pendukung Susilo Bambang Yudhoyono, voting dalam sidang paripurna bak tamparan keras yang harus diterima di usia pemerintahan yang baru seumur jagung. Kini saatnya bagi presiden dan seluruh pendukungnya merenungkan lebih mendalam apa makna di balik kekalahan itu. Apa yang sesungguhnya dikehendaki rakyat dan apa resonansi kehendak rakyat itu di dalam masyarakat politik kita. Buah renungan itu niscaya bermanfaat untuk menegakkan kembali wibawa pemerintahan dan menguatkan kepercayaan diri pemerintah dalam mengemban amanat penderitaan rakyat.
Salah satu faktor penyebabnya adalah kegagalan memahami bahwa kesalahan Sri Mulyani dan Boediono terlalu nyata untuk diabaikan. Pertama, mereka tidak mengungkap sebab kebangkrutan Bank Century yang ternyata lantaran pencolengan dari dalam menimbulkan kecurigaan ada aksi cover up. Kedua, sekalipun mereka sejak semula mengetahui itu, tetapi begitu mereka tetap memberikan talangan 6,7 triliun tanpa pengawasan yang layak. Sebagai perbandingan, pada periode yang sama pemerintah Amerika Serikat memberi talangan besar ke korporasi maupun perbankan, tetapi dengan pengawasan superketat. Puluhan bank ditutup tanpa diikuti rush.
Kegagalan memahami kesalahan Sri Mulyani dan Boediono tersebut telah membawa presiden dan para pendukungnya memusatkan kekuatan ke battleground yang keliru. Mereka sibuk membela diri bahwa bailout adalah langkah yang benar dalam situasi ketika itu. Bailout sebagai kebijakan mungkin bisa diterima sepanjang dibuat melalui prosedur yang benar.
Apakah pelaksanaan kebija- kan bisa dilepaskan dari pertanggungjawaban pembuat kebijakan? Kaidah yang kita ketahui, pembuat kebijakan juga harus memastikan kebijakan yang dibuatnya dapat dilaksanakan benar dan efektif.
Kebijakan yang bertanggung jawab, menurut pendapat saya, meliputi beberapa tindakan. Pertama mengumumkan Bank Century default karena penggangsiran oleh pemilik. Langkah kedua, mengambil alih Bank Century, menangkap pencolengnya, membersihkan manajemen, dan menegakkan rule of law. Selanjutnya, membayar penarikan oleh nasabah kalau ada, menyita dan membekukan harta jarahan untuk mengembalikan kerugian negara. Saya yakin, tidak akan ada rush. Integritas sistem perbankan terjaga bahkan mungkin malah meningkat.
Skenario di atas hanya hipotesis. Namun, skenario hipotesis saya tersebut setidaknya setara kredibilitasnya bila dibandingkan dengan skenario hipotesis (andai kata tidak ada bailout, andai kata ada rush, dan sebagainya) yang diajukan oleh pendukung presiden.
Kesalahan kedua adalah tidak menyadari learning effect pemilu lalu kepada anggota koalisinya. Kemenangan besar Partai Demokrat dalam Pemilu 2009 sementara partai-partai koalisi justru merosot drastis, memberi pelajaran kepada partai anggota koalisi bahwa seluruh credit point keberhasilan kabinet hanya jatuh ke tangan presiden dan partainya. Rakyat ternyata hanya mengapresiasi presiden, mereka tidak tahu dan tidak peduli kepada partai koalisi.
Pelajaran ini besar sekali artinya bagi partai koalisi. Mereka sekarang merasa perlu menjaga jarak dari presiden. Bila suatu isu menjadi perhatian rakyat mereka tidak akan sungkan mengambil sikap berbeda, bahkan bertentangan dengan presiden. Jabatan bukan segala-galanya, apalagi kalau itu berisiko terhadap dukungan dari konstituen.
Adapun faktor terakhir yang turut menentukan kekalahan Fraksi Demokrat adalah kurangnya menyadari sentimen antineoliberal di dalam tubuh koalisi maupun di kalangan masyarakat. Sentimen itu telah menggerakkan elemen-elemen mahasiswa, buruh, dan petani. Sentimen inilah yang dengan kuat mendukung perlawanan berbulan-bulan demi kemungkinan penggusuran Sri Mulyani dan Boediono.
Harus kita akui, banyak orang bersimpati kepada Sri Mulyani dan Boediono. Mereka bersikap independen terhadap kekuasaan. Saya tidak menyangkal hal itu, tetapi menjadi pemimpin juga membutuhkan akseptabilitas politik dan ideal. Tanpa kedua hal tersebut sebuah kesalahan saja bisa berakibat fatal. Prestasi-prestasi mereka sebelumnya bisa tidak berarti apa-apa. Bagi pemerintah sekarang keduanya lebih sebagai liability (beban) ketimbang aset.
Kasus Bank Century mengungkap kenyataan betapa lansekap politik sedang mengalami pergeseran signifikan. Acuan kepada jabatan dan elite tergerus secara perlahan, namun pasti. Presiden dan Partai Demokrat perlu menyadari hal tersebut. Mereka harus berani mengubah track sehingga tetap berada di arus utama perubahan.
Kunci utama perubahan track terletak pada masa depan Sri Mulyani dan Boediono. Bila presiden dan Partai Demokrat bersikukuh mempertahankan keduanya, bukan tidak mungkin rakyat akan meninggalkan mereka.***
Penulis, pemerhati politik dan mantan anggota KPU Jabar.
Opini Pikiran Rakyat 06 Maret 2010