ENTAH kenapa pendidikan dianggap mulia, bahkan sakral. Maka istilah bisnis, apalagi industri pendidikan, dianggap tabu yang mencemarkan citra kemuliaan pendidikan.
Pandangan memuliakan pendidikan itu benar apabila yang dimaksud adalah pendidikan yang diberikan orang tua kepada anaknya. Sebab, pendidikan seperti ini lazimnya dilakukan tulus ikhlas tanpa memungut biaya sesen pun. Namun pandangan memuliakan pendidikan itu keliru, bahkan munafik, apabila yang dimaksud pendidikan adalah pengajaran yang diberikan guru atau lembaga pendidikan kepada para muridnya; apabila para murid, orangtua atau walimurid harus membayar biaya, meski cuma sesen, apalagi jutaan rupiah.
Munafik mengaku pemungutan biaya pendidikan, meski berkedok istilah sumbangan gedung, biaya seragam, atau apa pun sebagai bukan bisnis, apalagi industri! Selama ada transaksi jual beli, jelas yang dilakukan adalah bisnis atau dalam skala lebih massal disebut industri. Maka selama murid harus membayar jasa guru atau lembaga yang memberikan pendidikan sebenarnya istilah yang tidak munafik adalah bisnis atau industri pendidikan.
Ternyata yang keliru bukan cuma pengingkaran istilah saja, melainkan juga pengingkaran terhadap UUD negara dan bangsa Republik Indonesia tercinta! Sebenarnya di dalam UUD 1945 sudah tegas dan jelas hitam di atas putih, eksplisit tersurat, setiap warga bangsa dan negara Indonesia memiliki hak atas pendidikan. Pada kenyataannya, hak atas pendidikan itu sudah diabaikan,bahkan diingkari.
Ternyata setiap warga Indonesia bukan memiliki hak, melainkan malah kewajiban membayar pendidikan bagi dirinya masing-masing. Sungguh ironis. Di Jerman, negara dengan rakyat tidak miskin dan tidak berfalsafah Pancasila dengan asas kemanusiaan dan keadilan sosial, pendidikan malah total gratis dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi! Lebih celaka lagi ketika UU Pendidikan Nasional sesuai UUD 1945 diupayakan untuk ditegakkan, malah berbagai pihak sengit menolak.
Mereka beralasan pendidikan gratis tidak realistis karena cuma kosmetik politis demi memikat suara rakyat, terutama di masa pemilu. Yang menolak pendidikan gratis adalah para penganut paham kapitalisme sejati atau mereka yang sudah telanjur menikmati nikmatnya berbisnis pendidikan tidak gratis.
Alasan utopia justru terbukti tidak realistis sebab pendidikan gratis di Jerman dan berbagai negara beradab di planet bumi ini terbukti bisa dijadikan kenyataan yang sangat nyata.Pendidikan gratis kalau memang mau, pasti mampu. Tetapi kalau memang tidak mau yapasti tidak mampu! Di Indonesia sudah terbukti, kalau mau para politisi mampu memenuhi janji menggratiskan pendidikan di wilayah kekuasaan masing-masing.
Dipelopori para penerima anugerah Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) seperti Bupati Jembrana yang berhasil nyata menggratiskan pendidikan tanpa mengurangi, bahkan meningkatkan, mutu pendidikan di daerah Kabupaten Jembrana sejak 2000. Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) terbukti mampu menepati janji kampanye menggratiskan pendidikan di Provinsi Sumsel pada 2009!
Kalau mau, pasti mampu! Ada pula contoh, meski mau, tapi ternyata tidak mampu, atau lebih tepatnya tidak boleh. Bupati Banyuwangi sempat gagal menepati janji-janji kampanye untuk menggratiskan pendidikan akibat ditentang habis-habisan oleh DPRD Banyuwangi.
Mayoritas anggotanya lebih berpihak kepada mereka yang sudah telanjur mengenyam nikmatnya berbisnis pendidikan ketimbang berpihak ke rakyat yang terus-menerus diperah dan diperas untuk membayar pendidikan!
Memang selalu ada yang lebih mengutamakan kepentingan kocek pribadi atau lembaga masing-masing ketimbang menjunjung tinggi Pancasila dan mematuhi UUD 1945; sambil murka apabila dituduh membisniskan atau mengindustrikan pendidikan. (*)
JAYA SUPRANA
Opini Okezone 06 Maret 2010
05 Maret 2010
Industri Pendidikan
Thank You!