16 Maret 2010

» Home » Kompas » Obama dan "Statecraft"

Obama dan "Statecraft"

Dalam banyak hal Indonesia ”berutang” sangat besar kepada Amerika Seri- kat, baik dalam bentuk ”pengetahuan akademik” maupun dalam ”wujud material ekonomi”. Berbagai ”utang” itu mulai muncul secara fenomenal sekitar tiga dasawarsa setelah Indonesia memperoleh kemerdekaannya.
Sebagian besar elite strategis pembuat kebijakan ekonomi Indonesia sejak awal tahun 1970-an tidak lagi berasal dari Eropa, tetapi merupakan produk lembaga pendidikan tinggi AS.
Kalau kita meminjam definisi John Williamson dalam The Political Economy of Policy Reform (1994), para ekonom itu disebutnya sebagai technopol. Pada masa lalu mereka merupakan bagian dari lingkaran dalam rezim Orde Baru. Jalur komunikasi para ekonom ini dengan Soe- harto ketika itu sangat khas.
Menurut Boediono, yang kini menjabat Wakil Presiden, salah satu rahasia kesuksesan ekonomi Orde Baru sebelum krisis 1998 adalah karena tidak terganggunya jalur komunikasi antara presiden dan para ekonom tersebut. Apakah proteksi presiden terhadap technopol ini masih terus berlangsung dalam masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, tentu saja masih merupakan perdebatan yang menarik. Yang pasti sisa-sisa fenomena technopol ini masih terasa kuat sampai sekarang.

 

Murid politik yang baik
Dalam investasi, Indonesia ”berutang” sangat besar kepada AS, terutama di sektor pertambangan. Kita juga menemukan kehadiran AS dalam industri jasa perbankan dan manufaktur. Indonesia juga ”berutang” kepada AS dalam bantuan pinjaman keuangan serta proyek pembangunan lewat IMF, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia.
Indonesia juga ”berutang” untuk pengadaan alutsista (alat utama sistem persenjataan) dari AS guna memenuhi kebutuhan TNI, termasuk program pelatihan bagi tentara melalui program pendidikan dan pelatihan internasional (IMET) dan juga berbagai pelatihan bagi polisi untuk menghadapi ancaman teroris.
Indonesia juga sangat ”berutang” kepada AS dalam perdagangan luar negeri. Di samping China dan Jepang, pasar AS merupakan pasar ekspor ketiga terbesar bagi Indonesia. Keamanan sumber devisa negeri ini sedikit banyak ditentukan oleh daya serap pasar dalam negeri AS.
Indonesia juga ”berutang” kepada AS dalam menciptakan format politik demokrasinya. Dalam 10 tahun terakhir, demokrasi prosedural Indonesia sudah menyerupai AS. Presiden sudah dipilih secara langsung, demikian juga kepala daerahnya dan anggota perwakilan rakyat, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Kebebasan pers Indonesia juga merebak sangat luar biasa, mirip seperti yang dapat ditemukan di AS. Bahkan, sebagian ilmuwan politik Indonesia juga telah mendapat inspirasi dan meniru profesi sejawat mereka di AS, terlihat misalnya melalui maraknya kehadiran lembaga survei yang acap kali juga berfungsi sebagai konsultan politik. Sebagian dari mereka sesungguhnya merupakan ”murid” yang baik bagi ajaran politik yang telah tumbuh di AS.
Bukan seni panggung
”Wajah” Indonesia saat ini pasti akan berbeda seandainya tidak terdapat berbagai bentuk ”utang” terhadap AS itu. Kunjungan Presiden Obama ke Indonesia sangat penting. Tidak hanya karena Oba- ma pernah tinggal di Indonesia. Yang lebih penting, kunjungan itu juga disertai dengan rencana untuk meluncurkan secara formal Kemitraan Komprehensif Indone- sia-AS dengan tagline ”Kemitraan Abad Ke-21 untuk Dunia Abad Ke-21” (21st Century Partnership for a 21st Century World). Kemitraan ini tidak hanya sekadar kemitraan antara Indonesia dengan China, Jepang, dan Korea Selatan.
Bagi sebagian orang, umumnya yang berada di lingkaran pembuat kebijakan dan sebagian juga di kalangan komunitas pemikir strategis, fenomena berbagai bentuk ”utang” ini dipandang sebagai sesuatu yang baik dan positif. Bagi kelompok ini, justru akan menjadi tidak baik jika Indonesia semakin jauh dari AS. Mereka juga cemas jika Indonesia kini memiliki hubungan ekonomi yang semakin dekat dengan China.
Karena itu, kelompok ini berpandangan hubungan bilateral dengan AS menjadi sangat penting dan perlu diikat melalui komitmen kemitraan strategis untuk melestarikan ”utang-utang” itu. Kelompok ini juga sangat berharap bahwa kekuatan AS akan sangat membantu Indonesia untuk mengatasi proyek infrastruktur yang dalam 10 tahun terakhir mengalami stagnasi. Menurut laporan Oxford Economic Country Briefing, Indonesia (2010), ataupun oleh Business Monitor, Indonesia Infrastructure Report (2010), tanpa ketersediaan pendanaan pinjaman, semua proyeksi tentang pembangunan infrastruktur yang telah dicanangkan, baik energi, jalan, jembatan, maupun pelabuhan, mungkin tidak dapat diwujudkan dan hanya akan menjadi angan-angan di atas kertas dan proses deindustrialisasi tidak akan dapat dihindarkan.
Namun, terdapat kelompok lainnya yang menyatakan bahwa seluruh ”utang” ini merefleksikan interdependensi yang sangat asimetris—jika bukan ketergantungan yang semakin besar—Indonesia terhadap AS. Bagi kelompok ini, negeri yang ”berutang” terlalu besar dengan sendirinya diproyeksikan tidak akan lagi memiliki ruang yang cukup besar untuk melakukan pilihan kebijakan secara bebas.
Karena itu, secara konseptual, tantangannya adalah bagaimana membuat kunjungan Obama itu bukan sekadar rutinitas ”seni tata panggung” (stagecraft), suatu istilah yang dikemukakan sendiri oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa dalam pidatonya di CSIS-Jakarta (2009). Jauh lebih penting daripada itu adalah bagaimana membuat kunjungan Obama memiliki bobot sebagai ”seni bina negara” (statecraft).
Ini berarti rancangan kegiatan apa pun yang nantinya dihasilkan di bawah payung kemitraan strategis haruslah disertai dengan argumen-argumen yang tajam dan reasonable bahwa tujuan kemitraan adalah untuk membuat Indonesia menjadi suatu aktor negara yang kuat dan sekaligus untuk melestarikan tradisi dan identitas politik luar negeri dan diplomasinya yang independen. Tanpa itu, kunjungan Obama hanya sekadar ”seni tata panggung” dan bagian dari rutinitas diplomatik biasa.
MAKMUR KELIAT Pengajar Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI

Opini Kompas 17 Maret 2010