16 Maret 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Multikulturalisme Obama

Multikulturalisme Obama

Oleh GALIH IMADUDDIN

We have the power to make the world we seek,
but only if we have the courage to make a new beginning,
keeping in mind what has been written.
Barack Hussein Obama

Bila tidak ada perubahan drastis, Presiden ke-44 AS Barack Hussein Obama akan berkunjung ke Indonesia dalam waktu dekat. Diperkirakan Obama akan melakukan kunjungan bilateralnya pada 22-24 Maret 2010 ini. 

Dalam sejarahnya, kedatangan Presiden AS ke Indonesia sering terjadi. Itu tidak lain karena kedudukan Indonesia yang sangat strategis secara geopolitik dan geostrategis, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Namun, mengapa kedatangan Obama kali ini terasa menjadi lebih spesial? Jawabannya karena Obama adalah satu-satunya Presiden AS yang menghabiskan masa kecilnya selama lima tahun di Indonesia. Bahkan, Obama pun pernah memiliki ayah tiri, Lolo Soetoro, yang berkewarganegaraan Indonesia.



Di tengah gelombang protes dan euforia untuk menyambut kedatangan Obama, pelajaran macam apakah yang sekiranya dapat diperoleh bangsa Indonesia? Apakah kedatangan Obama ini semata-mata hanya akan merefleksikan romantisme sejarah karena ia pernah bersekolah di SD Besuki Menteng? Ataukah ada makna lain dari kunjungan sang presiden yang sekiranya dapat menjadi suatu sumbangan yang berharga bagi negeri ini?

Ketika dinyatakan sebagai pemenang dalam Pilpres AS, November 2008, Obama dibebani harapan begitu besar dari rakyat AS, juga masyarakat dunia. Perubahan yang dijanjikan Obama bukan hanya berlaku di negerinya, tetapi diharapkan juga mengubah tatanan dunia yang lebih adil, damai, dan stabil.

Pengaruh AS tentu saja akan memegang peran penting dalam penataan hubungan internasional. Suramnya masa depan politik dunia akhir-akhir ini menyebabkan masyarakat AS dan dunia berharap banyak pada janji perubahan dari Obama yang selalu ditekankan dalam setiap kampanyenya. Dalam pandangan Obama, kalau saja masyarakat AS di seluruh negeri bersatu; tidak peduli Republik -Demokrat, miskin-kaya, putih-berwarna, tua-muda, Hispanik ataupun Asia, maka tujuan luhur untuk menciptakan perdamaian dan tatanan dunia yang lebih adil serta stabil dapat tercapai. Obama selalu menegaskan kepada bangsa Amerika bahwa ”we are one nation”.

Jargon itu tentunya menyiratkan sesuatu yang tidak sederhana. Obama pasti menyadari perjuangan menuju kondisi yang ideal itu harus menempuh jalan panjang, serta berliku-liku. Sejarah pun membuktikan, AS harus melewati banyak fase dalam perjalanannya sebagai negara yang terfragmentasi ke dalam pelbagai golongan dan kepentingan. Berulang-ulang peperangannya dengan bangsa lain, termasuk juga perang saudara antara utara dan selatan yang pernah mencabik-cabiknya pada 1861-1865, menegaskan semua itu. Obama mungkin takkan mampu mencapai semua mimpinya hanya dalam satu kali masa jabatannya sebagai presiden AS. Akan tetapi, kalau masyarakat dunia bersatu, tujuan akan tatanan dunia yang adil, damai, dan stabil bukanlah sesuatu yang mustahil. 

Sebagaimana pernah diungkapkan Matthew Festenstein (2000), dalam kondisi suatu negara yang memiliki keberanekaragaman budaya, ras, etnis, dan agama, prinsip majoritarianism akan selalu menggoda untuk diterapkan. Artinya, yang banyaklah yang dijunjung, sedangkan hak-hak dari mereka yang ”liyan”, yang ”sedikit”, akan selalu berada dalam ”ampunan” dan ”belas kasih” dari mereka yang mayoritas.

Dengan latar belakang yang penuh warna, munculnya figur Obama merupakan revolusi besar-besaran dalam cara pandang masyarakat AS terhadap politik domestiknya. Sebagai seseorang dari minoritas kulit hitam, Obama berhasil menyedot dukungan nyata, baik dari kalangan mayoritas maupun golongan minoritas di AS. Kesediaan untuk menghargai dan melepaskan diri dari batasan mayoritas-minoritas inilah yang menjadi tawaran paling berharga, sekaligus paling rumit, dari filosofi multikulturalisme.

Di dalam salah satu bab dari buku Dreams From My Father (2004) yang ditulisnya sendiri, Obama melukiskan segenap pengalamannya selama tinggal di Indonesia dan hubungan dekatnya dengan ayah tirinya. Ini menunjukkan, kunjungan ke Indonesia akan menjadi sesuatu yang emosional untuk Obama. Terlebih lagi, sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, kunjungan Obama dapat menjadi wahana pengejawantahan strategis dari komitmen Obama untuk menunjukkan, AS tidaklah bermusuhan dengan dunia Islam. Ini terlihat dari substansi pidatonya tahun lalu di Universitas Kairo, Mesir. Obama menjadi contoh strategis bagi bangsa Indonesia tentang bagaimana toleransi dapat diwujudkan dalam kondisi masyarakat yang begitu multikultural.

Tentu saja, bangsa Indonesia tidak perlu menelan mentah-mentah segala hal yang dipraktikkan dalam politik domestik AS. Kondisi multikultural di AS tentunya berbeda dengan apa yang ada di Indonesia. Namun, bukankah kita selalu mengaku sebagai bagian dari budaya Timur yang penuh dengan kesantunan? Obama memang bukan Superman, tetapi ia jelas merupakan figur yang inspiratif bagi semua bangsa. Atas dasar itu, kedatangan Obama semestinya tidak disambut dengan sikap skeptis dan reaktif. Ia justru harus disambut dengan hangat karena kedatangannya merupakan kedatangan seseorang yang melambangkan multikulturalisme.***

Penulis, alumnus Program Magister Ilmu Politik FISIP Unpad.
Opini Pikiran Rakyat 17 Maret 2010