16 Maret 2010

» Home » Republika » Gerilya Politik para Selebriti

Gerilya Politik para Selebriti

Sejumlah selebriti bergerilya politik di daerah-daerah pada musim pilkada yang bakal ramai tahun ini. Sebut saja seperti Ikang Fauzi calon wabup Lampung Selatan, pelawak Bolot calon wali kota Tangerang Selatan, Emilia Contesa calon bupati Banyuwangi, dan Ratih Sanggarwati calon bupati Ngawi. Sebelumnya, Rano Karno telah sukses meski hanya menjadi wakil wali kota Tangerang Selatan. Dede Yusuf juga sukses menjadi wakil gubernur Jabar. Selain sukses, ada juga sejumlah selebriti gagal dalam pilkada, seperti Primus Yustisio, Syaiful Jamil, dan Marissa Haque.

Dalam demokrasi, sebenarnya tak ada masalah siapa pun warga negara yang ingin mencalonkan diri dalam kepemimpinan. Dalam undang-undang sendiri secara langsung dikatakan tentang hak politik (political right), yang dapat diartikan berhak mencalonkan diri menempati kedudukan wakil rakyat atau pemimpin politik, berhak memberikan suara, berhak mengadakan komunikasi dan mengkritik negara, dan membela keyakinan sendiri. Jadi, tak hanya para seleb, siapa pun warga, tak terkecuali, dapat mencalonkan diri sebagai pemimpin, kecuali warga yang melanggar hukum dan perbuatan yang merugikan negara dan bangsa.

Namun, jika kita mau kritis, persyaratan legal formal saja sebenarnya tak cukup untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin. Aspek moral seharusnya menjadi perhatian bagi siapa pun warga negara, yang meliputi misalnya, soal kemampuan, kualitas, profesionalitas, memiliki tujuan politik yang jelas, jujur, dan bersih. Pertanyaannya, apakah para seleb itu memiliki aspek moral tersebut, dikembalikan lagi kepada individu masing-masing. Jika tak memiliki, sebaiknya mengundurkan diri saja, daripada nanti bermasalah di tengah jalan.

Kurangnya para selebriti dalam memiliki sense politik juga banyak dipertanyakan. Misalnya, apakah keinginan mereka mencalonkan diri atas dasar keinginan dan cita-cita politik sendiri, ataukah ada pihak-pihak tertentu dari partai politik di daerah yang hanya ingin memenangkan pilkada? Jika kemungkinan kedua benar, tak diragukan lagi, para seleb telah terjebak pada politik oportunisme yang pragmatis, yang hanya akan menguntungkan pribadi dan golongan, sementara perjuangan untuk membela kesejahteraan rakyat dapat dipastikan nihil.

Para politisi daerah juga harus dipertanyakan karena telah membawa para selebriti pada kancah politik, yang menurut istilah Azyumardi Azra (2004) politik Indonesia bagai 'belantara' ini. Jadi, jika kegagalan politik para selebriti nanti terjadi, sebenarnya pihak yang harus dipersalahkan juga adalah para politisi daerah yang telah membawa seleb pada politik pragmatis itu. Jika ada sebuah keyakinan bahwa perkembangan demokrasi ditentukan oleh kualitas kaum politisinya. Dari sini bisa kita mengambil sebuah hipotesis bahwa semakin berkualitas para politisi, akan berkorelasi positif dengan kemajuan demokrasi.

Kemudian muncul pertanyaan, apakah para selebriti memiliki kriteria semacam itu? Untuk itu, sistem politik yang harus dibangun adalah sistem yang mengutamakan politisi-politisi yang memiliki kualitas dan kapasitas dan tidak menoleransi politikus dadakan yang miskin pengalaman. Politisi yang miskin pengalaman, seperti para selebriti, dipastikan hanya akan menjadi benalu demokrasi. Tugas mengatur dan mengawasi menuju pemenuhan kesejahteraan rakyat bukanlah hal yang gampang. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang memiliki track record yang mumpuni, kapasitas, dan kualitas yang bisa membawa bangsa ini keluar dari kemelut berkepanjangan.

Kekuasaan bukanlah ajang coba-coba atau ajang pembelajaran bagi politisi yang miskin pengalaman. Untuk menjadi seorang politisi yang sejati, haruslah memulai perjuangan dari bawah. Sejatinya seorang politisi adalah individu tokoh yang telah mendapatkan kepercayaan masyarakatnya ditambah dengan sikap amanah selalu menjaga, mengurusi, dan menangani seluruh keperluan masyarakatnya, baik langsung kepada masyarakat maupun tidak langsung dalam bentuk kebijakan yang berpihak kepada masyarakat luas.

Bangsa ini sekarang tengah berada dalam era politik yang sesungguhnya antipolitik. Politik tidak dibangun berdasarkan moral dan etika, yang misalnya, persoalan etika dan moral diwujudkan dengan membuat aturan-aturan strategis yang diimplementasikan bagi kesejahteraan rakyat.

Politik saat ini, energinya dihabiskan hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok, dan di sisi lain persoalan yang sesungguhnya harus diselesaikan, seperti persoalan kemiskinan, angka pengangguran yang kian meninggi, dan persoalan krisis pangan, misalnya, nyaris tak disentuh sama sekali.

Kaum politisi dan birokrat hanya sibuk bicara soal suksesi kepemimpinan.
Politik hanya menjadi ajang dan arena untuk memperkaya diri, saling menjatuhkan, dan sebagainya, pendeknya yang bertentangan dengan etika dan moral politik.

Jika keadaan itu terus berlangsung, sesungguhnya akan membahayakan kelangsungan bangsa ini. Karena politik di situ tak lebih hanya merupakan instrumen destruktif yang justru akan memorak-porandakan kondisi bangsa dari dalam.

Politik tak menjadi instrumen untuk merekonstruksi persoalan-persoalan bangsa, dan kemudian membangunnya hingga sedemikian rupa persoalan kian surut. Politik hanyalah sebatas utopia, harapan-harapan, namun tak pernah dapat terejawantah dalam kehidupan riil.


Opini Republika 17 Maret 2010