22 Maret 2010

» Home » Kompas » NU Politik dan Retaknya Modal Sosial

NU Politik dan Retaknya Modal Sosial

Aspirasi yang menghendaki agar Nahdlatul Ulama tidak terbawa oleh kepentingan politik yang kembali menguat dalam muktamarnya yang ke-32 di Makassar, pekan ini.
Tuntutan itu bukan tanpa alasan justru berangkat dari sebuah realita selama lebih dari sepuluh tahun terakhir, di era reformasi, ketika para tokoh Nahdlatul Ulama (NU) mulai dari kalangan senior hingga kalangan aktivis mudanya cenderung ”memanfaatkan kesempatan” masuk ke panggung politik praktis.
Pendirian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada awal era Reformasi—H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai tokoh utamanya—menandai babak baru perjalanan NU setelah deklarasi kembali ke khitah 1926 melalui muktamar ke-27 di Situbondo. PKB pun oleh para pendiri dan pendukungnya dianggap sebagai ”jendela politik NU”— klaim yang seolah-olah mengarahkan agar seluruh kaum sarungan menjadikannya sebagai pilihan politik resmi.

 

Berbagai kritik yang mengatakan bahwa langkah itu bertentangan dengan substansi upaya kembali ke khitah 1926 memang sudah sering dilontarkan. Namun, semuanya diabaikan, bahkan dianggap tak paham atau keliru dalam menafsirkan makna khitah NU. Tepatnya, pihak yang ingin tetap menjadikan NU netral dari kepentingan politik menjadi kelompok pinggiran dalam NU. Mengapa?
Pertama, pengaruh Gus Dur (alm) yang begitu dominan sejak tahun 1984. Cucu pendiri NU KH Hasyim Asy’ari itu memang menjadi salah satu figur utama yang menggagas dan mewujudkan konsep kembali ke khitah 1926, meniadakan atau melepaskan ikatan formal antara NU dan parpol (saat itu menjadi bagian fusi PPP). Maka, yang dilakukannya terhadap NU termasuk menggiringnya ke pentas politik praktis dianggap sebagai sah-sah saja, diposisikan sebagai ”tidak mungkin mencelakakan organisasi warisan para leluhurnya”. Apalagi almarhum merupakan figur yang kredibel dan memperoleh pengakuan baik nasional maupun internasional.
Kedua, para tokoh NU yang masuk dunia politik benar-benar menikmatinya, memperoleh berbagai jabatan baik di legislatif (DPR, DPRD, dan DPD) maupun di eksekutif. Sudah pasti faktor materi menyertai sukses mereka di pentas politik itu.
Ketiga, di tengah terbukanya peluang berpolitik terdapat kekuatan luar yang terus menggoda para tokoh NU untuk memanfaatkan basis massa. Ketersebaran kiprah dan pilihan politik warga nahdliyin, harus diakui, telah saling dimanfaatkan oleh sebagian tokoh NU yang berpolitik dan para politisi non-NU.
Sangat merugikan NU
Kondisi dan kecenderungan seperti itu kalau jujur diakui, sebenarnya telah sangat merugikan NU sebagai organisasi sosial keagamaan dengan basis umat yang terbanyak di Indonesia. Pertama, sulit dihindari terjadinya konflik kepentingan di antara sesama elite NU. Maka, tidak heran kalau pertarungan kepentingan dalam politik selalu mengalahkan nilai-nilai substansial kekerabatan, kolegial, dan bahkan pertalian darah dalam suatu keluarga. Dan itu pulalah yang menimpa keluarga NU setelah larut dalam godaan politik kekuasaan.
Selama berdirinya PKB, misalnya, setidaknya sudah terjadi tiga kali konflik di internnya yang melibatkan keluarga inti NU, yaitu antara kubu Gus Dur dan Matori Abdul Jalil (yang dimenangi Gus Dur), kubu Gus Dur dengan Alwi Shihab-Saifullah Yusuf (kembali dimenangi Gus Dur), dan terakhir konflik Gus Dur dengan Muhaimin Iskandar yang ternyata dimenangi oleh kubu Muhaimin. Konflik terakhir ini masih terbawa hingga Gus Dur wafat, suatu yang memprihatinkan yang sekaligus merupakan bagian dari luka sejarah dalam keluarga NU yang mungkin sulit tersembuhkan.
Kedua, NU akan semakin sulit untuk menjadikan dirinya sebagai modal sosial untuk gerakan sosial dalam rangka perubahan kehidupan kebangsaan yang lebih baik. Padahal, benih-benih ke arah itu sudah muncul demikian kuat di dalam tiga periode kepemimpinan Gus Dur (1984 hingga sebelum pendirian PKB), yang ditandai dengan, antara lain, begitu kritisnya sikap para tokoh dan aktivis NU terhadap kekuasaan otoriter Orde Baru dan maraknya gerakan advokasi penyadaran hak-hak politik, budaya, dan ekonomi rakyat.
Mereka yang dulunya demikian aktif di kancah civil society dan kritis terhadap kekuasaan yang korup justru beramai-ramai masuk panggung politik. Kecenderungan seperti ini bila tak dibuatkan rambu-rambunya oleh NU, warga NU akan terus teracakacak, retak, dan akan mengalami pembusukan dari dalam. Inilah yang perlu direnungkan mendalam oleh seluruh elite dan warga NU.
Selamat bermuktamar.

Opini Kompas 23 Maret 2010