Ahmad Gelora Mahardika
Koordinator Foppera (Forum Pendidikan untuk Rakyat), mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UGM
Beberapa hari ini hampir semua media baik itu cetak ataupun elektronik ramai-ramai memberitakan "nyanyian" Komisaris Jenderal Susno Duadji, mantan Kabareskrim di tubuh institusi Polri. Susno menyebut ada sejumlah anggota kepolisian berpangkat jenderal yang terlibat sebagai makelar kasus (markus) dalam kasus pengemplangan pajak.
Fenomena nyanyian Susno ini bukan yang pertama kalinya. Dia pernah pula terlibat sebagai saksi yang meringankan mantan Ketua KPK Antasari Azhar dalam kasus pembunuhan berencana atas Direktur Rajawali Putra Banjaran, Nasruddin Zulkarnain.
Melihat dari sejarahnya, apa yang dilakukan Susno Duadji merupakan tindakan berani. Karena selain ia masih berpangkat komisaris jenderal, ia juga masih berstatus anggota polisi aktif. Melihat tindakannya ia terkesan sudah tidak memedulikan lagi dampak dari tindakannya yang membongkar borok di institusinya sendiri. Yang patut diperhatikan adalah apa sebenarnya motif di balik tindakan Susno.
Dalam konteks studi psikologi, Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan bahwa untuk memahami motivasi individu dapat dilihat dari beberapa indikator, di antaranya durasi kegiatan; frekuensi kegiatan; persistensi pada kegiatan; ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam menghadapi rintangan dan kesulitan; devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan; tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan; tingkat kualifikasi prestasi atau produk (output) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan; arah sikap terhadap sasaran kegiatan.
Ketika kita melihat apa yang dilakukan Susno dengan kacamata motivasi, kita lihat kondisi Susno ketika kasus itu dibongkar. Susno Duadji merupakan satu-satunya orang yang menjadi korban ketika konflik Cicak versus Buaya mencapai titik kulminasi. Sebagai satu-satunya korban dari institusi yang ia bela pasti sangat menyakitkan. Hal itulah kemungkinan yang melatarbelakangi munculnya rasa benci, sikap permusuhan serta upaya untuk menyeret mantan rekan-rekannya untuk ikut terperosok bersama dia.
Salah satu hal yang menarik adalah sikap ketabahan yang ditunjukkan Susno dan sikap percaya dirinya yang tak pernah hilang. Dia selalu menunjukkan data dan fakta tanpa rasa takut sedikitpun. Berbeda dengan sikap Brigjen Raja Erizman yang tampak kebakaran jenggot dengan tuduhan yang dilontarkan mantan atasannya tersebut. Hal ini secara kasat mata menunjukkan posisi Susno jauh lebih unggul dari anggota jenderal yang disebut oleh dirinya sebagai makelar kasus.
Dari salah satu motivasi lainnya, yaitu pengorbanan, Susno terlihat siap untuk berkorban semaksimal mungkin. Ia rela dikenai sanksi institusi atas sikapnya tersebut. Bahkan Brigjen Raja Erizman siap memberikan data-data korupsi yang pernah dilakukan Susno. Akan sangat menarik melihat sikap buka-bukaan yang dilakukan seorang jenderal dan mantan atasannya ini.
Walaupun motif yang dilakukan oleh Susno adalah dendam pribadi, sikap Susno patut diapresiasi. Selama ini institusi Polri selalu menjadi closed institution atau sebuah institusi yang tertutup, secara keuangan atau pengawasan. Momentum ini bisa dijadikan sebagai alasan untuk melakukan audit secara transparan terhadap keuangan para pejabat Polri.
Lantas, apakah output yang kemungkinan akan terjadi dari "nyanyian" Susno ini? Ada kemungkinan sikap Susno ini akan berefek pada jatuhnya sejumlah jenderal yang diketahui oleh Susno terlibat dalam sejumlah kasus. Susno memang tidak mendapatkan apa-apa, tapi dia mendapatkan kepuasan karena berhasil melampiaskan kekecewaan atas institusi yang selama ini ia banggakan.
Apa yang dilakukan Susno merupakan sebuah tindakan politik. Karena akan menyeret sejumlah nama penting dalam institusi Polri, bahkan ada kemungkinan sosok Kapolri juga ikut terseret. Ada tiga efek besar yang akan terjadi dari "nyanyian" Susno ini apabila di tarik ke ranah politis. Yang pertama, "nyanyian" Susno akan menjadi menjadi momentum penting untuk melakukan reformasi di tubuh Polri. Kepercayaan masyarakat terhadap institusi ini sangat rendah. Dengan adanya mantan orang dalam yang berani buka-bukaan dan tak mempunyai kepentingan serta tidak takut sanksi, sejumlah kasus diharapkan akan bisa terpecahkan.
Efek besar kedua, kasus ini akan menghapus secara otomatis sejumlah prestasi Polri yang terjadi beberapa hari ini. Yaitu keberhasilan Densus 88 menangkap sejumlah teroris penting yang oleh Amerika dihargai jutaan dolar, seperti Dul Matin dan Noordin M. Top. Bukan hanya itu, "nyanyian" Susno ini juga akan berdampak terhadap semakin tebalnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi pengayom dan pelindung masyarakat ini.
Efek ketiga dari sikap Susno adalah lupanya masyarakat terhadap kasus-kasus besar yang terjadi sebelum ini seperti kasus Bank Century. Media sebagai aktor penting dalam pembentukan opini telah mem-blow up secara besar-besaran kasus "nyanyian" Susno, sehingga lama-kelamaan masyarakat akan lupa terhadap kasus yang merugikan negara senilai 6,7 triliun tersebut.
Lepas dari asumsi sebagai pengalihan isu atau adanya tendensi politik tertentu, apa yang dilakukan Susno merupakan sikap yang patut diacungi jempol. Dia berani melawan ketidakadilan yang menimpa dirinya, walaupun kemudian dia harus menanggung risiko yang sangat menyakitkan. Dia berani membuka fakta-fakta yang melibatkan sejumlah mantan rekannya untuk memberikan kebenaran sebegitu bobroknya institusi yang pernah ia bela selama puluhan tahun ini.
Setidaknya sampai saat ini Komjen Susno Duadji telah menjadi bagian dari masyarakat yang berkeinginan dan mempunyai niat untuk membongkar kebobrokan Polri. Mari kita dukung beliau. Namun, alangkah bijaknya apabila Bapak Susno bersedia mengubah motivasi dan niatnya yang semata-mata dendam pribadi menjadi perbaikan dan karena kecintaan beliau terhadap institusi Polri. n
Opini Lampung Post 23 Maret 2010