22 Maret 2010

» Home » Kompas » Kesehatan dan Politik

Kesehatan dan Politik

Presiden AS Barack Obama menunda kunjungannya di Indonesia karena menghadapi pemungutan suara di Kongres (dan Senat) mengenai Rancangan Undang-Undang Layanan Kesehatan, lebih dikenal sebagai Health Reform Bill. Dalam pemungutan suara kemarin, UU ini akhirnya lolos walaupun khusus pengaturan aborsi ditunda hingga Obama mengeluarkan keputusan presiden (executive order).
Sikap Obama yang mementingkan ihwal reformasi kesehatan ini menunjukkan betapa dalam percaturan politik Amerika, kesehatan menduduki tempat penting.
Dalam hampir setiap kampanye calon presiden, kalau tidak salah sejak Truman, kesehatan menjadi salah satu topik utama selain kesempatan kerja dan politik luar negeri. Sebenarnya gagasan reformasi kesehatan yang akan mengubah sistem kesehatan secara agak drastis pernah diusulkan Hillary Clinton semasa suaminya menjadi presiden, tetapi tidak mendapat cukup dukungan di Kongres, terutama karena mayoritas Kongres dikuasai oleh Partai Republik yang menolak reformasi tersebut.

 

Inti reformasi kesehatan yang diajukan Presiden Obama sebenarnya tak terlalu jauh dari konsep Hillary Clinton dulu: memberikan perlindungan asuransi kesehatan bagi seluruh rakyat Amerika. Pembedanya adalah usulan Obama ini tidak akan mengurangi pendapatan para dokter dan dirancang akan mengurangi defisit anggaran negara sebesar 132 miliar dollar AS setahun dalam sepuluh tahun mendatang; tetapi pada awalnya akan menyedot anggaran sebesar 871 miliar dollar AS yang akan diperoleh dengan menaikkan pajak asuransi bagi premi asuransi yang tinggi (di atas 8.500 dollar AS per orang per tahun). Dengan kata lain, pendanaan dilakukan dengan subsidi silang. Selain itu, setiap orang harus punya asuransi kesehatan, baik ditanggung majikan maupun membeli sendiri, dengan sanksi denda jika tidak mempunyai.
Akan makin mahal
Perlu dipahami bahwa anggaran kesehatan di AS sudah terlalu tinggi, hampir mencapai 19 persen dari GDP, dan diperkirakan akan terus meningkat, yang membuat makin banyak rakyat AS yang tak akan mampu membayar biaya pengobatan ketika sakit. Sistem pembiayaan masih berbasis fee for service yang memang cenderung akan makin mahal.
Asuransi kesehatan diselenggarakan oleh swasta, kecuali Medicaid (untuk yang miskin) dan Medicare (untuk lanjut usia) yang diberikan negara berdasarkan Social Security Act tahun 1965. Meskipun demikian, masih ada sekitar 40 juta orang yang tidak terlindungi asuransi kesehatan. Mereka tidak masuk kategori miskin, tetapi juga tidak mampu membeli polis asuransi kesehatan swasta. Obama ingin merombak ini sehingga tak ada satu pun warga Amerika yang tak terlindungi asuransi kesehatan. Inilah inti cita-cita reformasi kesehatan Obama.
Dalam kerangka reformasi itu, setiap perusahaan harus membayari premi asuransi karyawannya. Perusahaan kecil dan menengah akan diberi insentif potongan pajak. Pekerja lepas disuruh membeli asuransi sendiri. Supaya premi dapat terjangkau, Obama merencanakan membentuk pool (bursa) asuransi kesehatan di setiap negara bagian. Ini konsep yang dulu diajukan Hillary Clinton. Dengan menempatkan perusahaan asuransi dalam pool semacam itu, mereka akan dapat menekan biaya pemasaran dan biaya birokrasi.
Saat ini diperkirakan 30 persen dari harga premi dihabiskan untuk biaya pemasaran dan administrasi perusahaan asuransi. Hal itu ikut menyebabkan harga premi menjadi mahal tanpa ada perbaikan mutu layanan. Berbeda dengan Inggris yang baik asuransi maupun pelayanan dikelola oleh negara, di AS semuanya diserahkan kepada swasta. Obama agaknya tidak mau mengubah sistem yang sudah ada.
Pihak Partai Republik bukan tidak setuju dengan reformasi, tetapi mereka menganggap bahwa usul Obama tidak akan dapat berjalan karena orang kaya yang dinaikkan pajaknya pasti akan menolak. Mereka juga mengungkit layanan yang ditanggung—termasukkah di sana layanan aborsi?—dan menganggap dana yang harus disediakan akan melebihi satu triliun dolar AS selama 10 tahun. Perusahaan asuransi tentunya cenderung mendukung pendapat Partai Republik. Beberapa negara bagian yang gubernurnya dari Partai Republik meminta agar ada pilihan bagi tiap negara bagian, mau ikut konsep Obama atau tidak. Pokoknya dengan segala dalih, Partai Republik agaknya ingin menggagalkan konsep Obama.
Celakanya, dengan kemenangan Senator dari Partai Republik, Scott Brown, di Massachusetts (yang selama berpuluh tahun dimenangi Demokrat), kedudukan Demokrat di Senat menjadi terguncang. Apalagi Massachusetts adalah negara bagian yang sudah menerapkan sistem universal coverage seperti konsep Obama. Peristiwa ini dapat memberikan kesan bahwa rakyat Massachusetts sendiri tidak puas dengan sistem baru itu.
Jika konsep Obama ini ditolak oleh Senat meskipun diterima Kongres, akan terjadi dilema politis yang merugikan Partai Demokrat di pemilu sela November mendatang. Oleh karena itu, dapatlah dimengerti mengapa Obama memilih memusatkan perhatian kepada Undang-Undang Kesehatan ini dan menunda kunjungannya ke Indonesia.
Situasi di Indonesia
Indonesia mempunyai situasi yang hampir sama dengan Amerika Serikat, tetapi malu-malu mengambil sikap yang tegas. Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional menyatakan bahwa setiap WNI wajib ikut asuransi kesehatan. Pengelolaan asuransi diserahkan kepada BUMN yang, bagaimanapun, juga berperilaku seperti swasta. Pelayanan pun merupakan campuran antara pemerintah dan swasta, bahkan di daerah: pemerintah pun berperilaku seperti swasta.
Tidak jelas apakah kita akan menganut konsep Inggris yang seluruhnya ditangani pemerintah, baik asuransi kesehatan maupun pelayanannya, atau sistem AS yang seluruhnya diserahkan kepada swasta, kecuali untuk yang miskin dan lanjut usia. Bagaimana pula kaitannya dengan otonomi daerah? Sementara itu, biaya pelayanan kesehatan semakin tidak terjangkau dan mutu layanan pun tidak terjamin.
Kartono Mohamad Mantan Ketua Umum PB IDI

Opini Kompas 23 Maret 2010