Sejak akhir Januari hingga pertengahan Maret 2010 tercatat sejumlah kerusuhan yang melibatkan pendukung Persija Jakarta, ”Jakmania”. Sabtu malam, 30 Januari, sekelompok pendukung Jakmania di Jalan TB Simatupang melempari mobil dengan batu.
Sebelumnya, tawuran Jakmania dengan pendukung Persijap Jepara di Bundaran Pondok Indah. Malam itu juga terjadi tawuran antar-Jakmania di Bundaran Jalan Arteri Pondok Indah. Lalu, 3 Februari sekitar 20 pendukung Jakmania merusak angkot 06A di Jalan DI Panjaitan. Juga 19 Februari, tawuran menggunakan benda tumpul dan lemparan batu terjadi antar-Jakmania.
Pada 16 Maret kepolisian mengamankan sebanyak 38 Jakmania dengan barang bukti senjata tajam dan narkoba saat akan menyaksikan tim kesayangannya bertanding di Gelora Bung Karno. Di situ kerusuhan juga terjadi. Ratusan Jakmania terlibat tawuran dengan polisi. Di kawasan Jatinegara, Jaktim, terjadi bentrok sesama Jakmania. Aksi tawuran yang melibatkan pendukung Persija juga terjadi di depan Kantor Wali Kota Jakarta Utara.
Kita bisa melacak catatan kerusuhan melibatkan kelompok pendukung sepak bola lain di Indonesia. Pada 4 September 2006 pendukung Persebaya Surabaya, bonek, beraksi pada pertandingan Copa Dji Sam Soe antara Persebaya dan Arema di Stadion Gelora 10 Nopember, Surabaya, menghancurkan kaca-kaca di dalam stadion, juga membakar sejumlah mobil. Pada akhir Januari 2010 bonek beraksi lagi ketika mendukung tim pujaan mereka bertanding melawan Persib di Stadion Si Jalak Harupat, Bandung.
Catatan lain, kerusuhan yang dilakukan suporter Persib Bandung, ”Viking”, di Stadion Siliwangi, Bandung, Minggu, 20 Juli 2008, saat Persib bertanding melawan Persija. Setelah pertandingan, tindak kekerasan meluas, sejumlah pendukung Persib memukuli dan merusak mobil-mobil bernomor kendaraan Jakarta.
Pengertian kerusuhan
Yang ditampilkan para pendukung klub sepak bola di Indonesia lebih cocok disebut kerusuhan daripada hooliganisme karena kelompok yang melakukannya bersifat cair dan tidak cukup terorganisasi. Para pelaku tidak membentuk geng yang solid di luar pertandingan dan dalam keseharian. Memang ada satu-dua kelompok pendukung yang juga melakukan kegiatan-kegiatan di luar masa pertandingan, tetapi intensitas dan frekuensinya tergolong rendah.
Dalam psikologi sosial, kerusuhan adalah tingkah laku tak bertujuan yang mencakup kerusakan atau kekacauan (Darrow & Lowinger, 1968). Kerusuhan juga dapat dilihat sebagai perilaku sekelompok orang yang relatif spontan dan bertentangan dengan norma-norma tradisional (Marx, 1972). Lebih jauh lagi, kerusuhan merupakan hasil penyimpulan yang bias dan lebih digerakkan emosi sebagai putusan satu atau lebih orang untuk terlibat dalam kekerasan terhadap orang atau properti (McPhail, 1994). Dalam konteks olahraga, kerusuhan didefinisikan sebagai tingkah laku destruktif atau menyebabkan luka yang dilakukan oleh para penonton olahraga yang disebabkan oleh faktor personal, sosial, ekonomi, atau kompetitif (Simons & Taylor, 1992).
Kerusuhan terkait sepak bola merupakan masalah sosial karena selain melibatkan kelompok dan berefek terhadap kehidupan sosial, akar-akarnya pun ada di masyarakat. Penyebab pastinya belum diketahui karena gejala itu sangat kompleks. Tetapi, ada sejumlah sudut pandang yang dapat digunakan untuk memahami kerusuhan itu.
Dari motifnya, kerusuhan itu digerakkan oleh kebutuhan memperoleh kesenangan (Apter, 1982, 1992). Mereka yang terlibat di dalamnya merasa nikmat ketika melakukan kekerasan karena dapat mereduksi ketegangan yang disebabkan oleh berbagai masalah dan perasaan hampa dalam keseharian.
Di masyarakat kota besar, seperti Surabaya, Jakarta, dan Bandung, tingkat pengangguran, harapan hidup, dan jumlah waktu luang tergolong tinggi. Bersama dengan menurunnya kesempatan untuk mengambil risiko, semua itu mengarahkan banyak orang kepada kebosanan. Akibatnya, mereka mencari-cari kegiatan dengan risiko personal yang serius untuk membunuh kebosanan; menginterupsi hidup yang monoton.
Menurut Kerr (2005, 2006, 2007), ada metamotivasi yang menggerakkan orang terlibat dalam kerusuhan: (1) telic-negativistic, menyalurkan emosi-emosi negatif untuk merusak dan menyakiti; (2) paratelic-negativistic; dorongan memperoleh rangsangan dan kenikmatan; (3) telic-mastery, dorongan memperoleh perasaan berharga dan kekuasaan; (4) paratelic-mastery, dorongan mendominasi pihak lain untuk memperoleh kenikmatan.
Dari muatan emosinya, dibedakan jenis-jenis kerusuhan menjadi: kerusuhan berisi kemarahan, kerusuhan berisi kesenangan, kerusuhan berisi perasaan berkuasa, dan kerusuhan berisi kepuasan karena merasa lebih unggul (Kerr, 2005). Setiap jenis kerusuhan ini tampil berbeda-beda. Kemarahan terkandung pada kerusuhan sebagai reaksi terhadap frustrasi, pembatasan, atau persepsi ketidakadilan. Kesenangan dikandung kerusuhan berbentuk perkelahian atau vandalisme untuk memperoleh rasa senang. Perasaan berkuasa dikandung dalam bentrok dengan pihak otoritas olahraga atau polisi untuk demonstrasi kekuasaan. Kepuasan atau rasa unggul terkandung dalam kerusuhan setelah tim yang didukung mendapat kemenangan.
Semua jenis kerusuhan itu terjadi di Indonesia dengan derajat yang berbeda-beda. Jakmania, bonek, dan Viking pernah menampilkan semua jenis kerusuhan itu. Kondisi sosial-ekonomi bisa menjadi faktor yang berperan di situ. Sejumlah ahli (di antaranya Dunning, 1999; Kerr, 2005; Russell, 2008) menduga faktor lain, seperti kemiskinan, sosial, budaya, dan pendidikan, juga berperan.
Kerusuhan yang dilakukan pendukung tim sepak bola dapat dicegah dengan sejumlah cara. Dalam derajat tertentu, sebagian sudah dilakukan oleh para penyelenggara pertandingan di Indonesia, seperti mengatur jumlah suporter dan penempatan penonton di stadium, razia senjata tajam dan minuman keras, serta pengenalan terhadap seberapa penting sebuah klub sepak bola bagi pendukungnya, juga bagi pedukung lawannya.
Pengaturan pintu keluar dan urutan keluarnya serta penggunaan kendaraan oleh suporter pun sudah mulai diatur. Begitu juga dengan pengawalan terhadap para pendukung di perjalanan pulang oleh polisi. Pada intinya, organisator penyelenggara pertandingan harus selalu waspada terhadap masalah yang mungkin terjadi sebelum pertandingan diselenggarakan.
Meski dari sejarah tampaknya wajar terjadi kerusuhan terkait olahraga, terutama di cabang sepak bola, kerusuhan itu bukan hal yang niscaya. Kita dapat mencegahnya, baik sebelum, selama, maupun setelah pertandingan. Justru dari kerusuhan-kerusuhan di negara lain dan pengalaman menanganinya, Indonesia dapat belajar sehingga tak perlu mengulangi sejarah kekerasan itu. Kekerasan, dalam bentuk apa pun, tak dapat dibenarkan, bahkan oleh sejarah.
Opini Kompas 23 Maret 2010