26 Maret 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Mewujudkan Keragaman Pangan Berbasis Lokal

Mewujudkan Keragaman Pangan Berbasis Lokal

Oleh Kundang Harisman Hadikusumah

Beberapa tahun lalu, Departemen Pertanian ditantang untuk meningkatkan produksi padi sekitar lima persen setiap tahun. Kita layak memberikan apresiasi bahwa tantangan ini dalam tiga tahun terakhir bisa dicapai. Tahun 2007 terjadi peningkatan produksi 4,96 persen. Bahkan, 2008 naik menjadi 5,14 persen, meskipun pada 2009 hanya mendekati 5 persen. Sedangkan 2010 diprediksi akan terjadi penurunan produksi gabah 1,6 juta ton. Penurunan produksi ini sebagai akibat dari ancaman perubahan iklim, termasuk bencana banjir yang  melanda sebagian areal persawahan di tanah air yang akan berpengaruh terhadap sediaan dan konsumsi pangan.

Mengantisipasi penurunan produksi akibat perubahan iklim, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No. 22 Tahun 2009 tentang kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal pada 6 Juni 2009. Gerakan percepatan ini dibarengi upaya pengembangan bisnis dan industri pangan lokal, dengan harapan akan mengurangi konsumsi beras (padi-padian) dari 300,1 gram/kapita/hari menjadi hanya 275,5 gram/kapita/hari.



Potensi pangan berbasis sumber daya lokal di negeri kita termasuk di Jawa Barat seperti singkong, jagung, ubi jalar, talas, sagu, kacang-kacangan, pisang, dan kentang cukup melimpah. Namun, tidak mudah mengembangkan penganekaragaman konsumsi pangan ini karena menyangkut budaya, sosial, ekonomi, dan teknologi. Dari aspek budaya, masih ada persepsi yang terbentuk di masyarakat, ”belum makan kalau belum makan nasi”. Padahal, kalau tinjauannya dari segi energi, 100 gram nasi setara dengan 100 gram singkong atau 50 gram jagung atau 200 gram kentang atau 50 gram sagu. Celakanya lagi bila mengonsumsi pangan lokal dianggap mempunyai nilai sosial yang rendah, ”kampungan-pinggiran”. Hal ini yang mendorong masyarakat bergeser pola konsumsi dari nonberas ke beras. Seperti halnya masyarakat Papua yang semula makan ubi dan sagu, masyarakat Gunung Kidul yang biasa ma-kan tiwul, dan masyarakat Ma-dura makan jagung. Secara ekonomi harga pangan lokal relatif lebih mahal dibandingkan dengan beras. Terlebih dengan adanya Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin) yang harganya di bawah Rp 2.000.

Berbagai inovasi teknologi pangan untuk membuat pangan nonberas menjadi semurah dan semudah beras telah berkembang baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Di antaranya beras dari singkong (rasi) dan beras aruk (”oyek”)  juga terbuat dari singkong. Sayang, harganya masih mahal. Rasi dan aruk misalnya dijual di pasaran umum Rp 7.000/kg, sementara beras harganya sekitar Rp 5.000/kg.

Membangun industri makanan tradisional dengan pendekatan teknologi agar menghasilkan cita rasa yang  universal di sentral-sentral produksi pangan lokal sudah harus menjadi prioritas. Misalnya mi, roti, donat, chicken roll, steak, keripik, bola-bola, siomay, kaluit, bolu, dan titan (tiwul instan) yang terbuat dari singkong dan ubi jalar yang cukup digemari masyarakat. Hal serupa dilakukan Malaysia dan Thailand dan telah menjadikan Indonesia yang penduduknya 200  juta lebih merupakan pasar potensial produk pangan lokal mereka.

Upaya percepatan penganekaragaman konsumsi pangan telah dielaborasi Departemen Pertanian  (2009) melalui strategi: (1) kampanye, sosialisasi, advokasi, dan promosi percepatan penganekaragaman konsumsi pangan yang bergizi seimbang dan aman berbasis sumber daya lokal baik untuk aparat pemerintah dan pemerintah daerah, individu, kelompok masyarakat maupun industri. (2) Pendidikan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman secara sistematis melalui pendidikan formal maupun nonformal. (3) Penyuluhan ibu rumah tangga dan remaja, terutama ibu hamil, ibu menyusui, dan wanita usia subur tentang manfaat mengonsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman. (4) Pemanfaatan pekarangan dan potensi pangan di sekitar lingkungan. (5) Pembinaan kepada industri rumah tangga dan pengusaha kecil bidang pangan guna meningkatkan kesadaran untuk memproduksi, menyediakan, dan memperdagangkan aneka ragam pangan yang aman berbasis sumber daya lokal. (6) Pengembangan dan diseminasi serta aplikasi paket teknologi terapan terhadap pengolahan aneka pangan. (7) Pembinaan mutu dan keamanan pangan kepada industri rumah tangga dan UMKM di bidang pangan berbasis sumber daya lokal. (8) Memfasilitasi pengembangan bisnis pangan, permodalan, dan pemasaran kepada pengusaha di bidang pangan baik segar, olahan maupun siap saji yang berbasis sumber daya lokal. (9) Pemberian penghargaan kepada individu/perseorangan dan kelompok masyarakat yang dinilai berperan sebagai pelopor dalam menjalankan dan memajukan upaya percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal. (10) Evaluasi dan pengendalian pencapaian upaya penganekaragaman konsumsi pangan tahap I.

Sekarang, menjadi kewajiban semua pihak (masyarakat, pemerintah, dan legislatif) untuk mengawal strategi Departemen Pertanian tersebut agar dapat berjalan dengan baik dan jangan sampai Perpres 22 ini menjadi dokumen mati. ***

Penulis, dosen Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Dosen dan Ketua Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Winaya Mukti Jatinangor 2002-2006 serta pengurus Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Sumedang.
Opini Pikiran Rakyat 27 Maret 2010