Oleh SULIS STYAWAN
”Di saat ikan terakhir kita tangkap. Di saat pohon terakhir kita tebang. Di saat itu pula kita tahu, bahwa uang tidak lagi ada gunanya”
ITULAH konklusi yang cukup patut kita ajukan setelah melihat kondisi terkini terkait fakta multibencana yang melanda setiap jengkal tanah di negeri berpenghuni 230 juta jiwa ini. Betapa tidak, kini alam sepertinya benar-benar sedang ”murka” dengan meluluhlantakkan apa saja yang berada di sekitarnya, tak terkecuali manusia yang menjadi penghuninya.
Khusus di Jawa Barat, misalnya. Pascalongsor Ciwidey, longsor Leuwi Nanggung (Sukanagara, Cianjur), dan longsor Legok Jengkol, Cianjur, mata publik kembali dipaksa untuk menyaksikan serentetan bencana yang ”mengepung” Tanah Sunda. Publik pun hanya bisa mengelus dada tanda prihatin.
Selain ancaman tanah ambles di Desa Girimekar, Cilengkrang, Bandung, senyatanya bencana banjir bandang akibat hujan deras yang memicu meluapnya Waduk Jatiluhur dan Waduk Saguling (yang berimbas pada lubernya Sungai Citarum) merendam sedikitnya empat kabupaten di Jawa Barat, antara lain: Bandung, Purwakarta, Karawang, dan Bekasi. Tak dimungkiri, bencana ini membuncahkan kepiluan, kesedihan, dan kesengsaraan, terutama bagi ribuan korban karena terpaksa harus mengungsi dan terganggu aktivitasnya.
”Malapraktik” pembangunan
Jika dicermati, sebenarnya bencana yang selalu saja terjadi di negeri ini, lebih merupakan akibat dari kesalahan dalam pelaksanaan pembangunan (baca: ”malapraktik” pembangunan). Pembangunan yang digembar-gemborkan oleh pemerintah sejak era Orde Baru, ternyata tidak menghasilkan kesejahteraan, kemakmuran, apalagi keadilan sosial bagi masyarakat banyak. Belakangan ini kita justru menemukan permasalahan yang jauh lebih pelik dan dahsyat dibanding persoalan yang ditemukan pada masa lalu.
Pembangunan, kemajuan ilmu pengetahuan, hingga keperkasaan teknologi saat ini, ternyata tidak ada apa-apanya dibanding kerusakan bumi yang terjadi saat ini. Laut tak ubahnya tempat sampah raksasa, tempat membuang segala limbah industri-industri besar. Hutan habis ”diperkosa” oleh manusia. Tak pelak, kita harus menerima ”upah” dari penggundulan ini, berwujud perubahan besar-besaran iklim di tingkat global (global warming) hingga memicu terjadinya kekeringan sumber-sumber air bersih.
Di Indonesia, yang notabene dikenal sebagai negara ”paru-paru” dunia karena banyaknya hutan, sangat sulit menemukan hutan yang masih ”perawan”. Semuanya telah diintervensi watak serakah manusia. Wajar jika kita selalu mendapat hadiah banjir setiap kali datang musim hujan karena hingga kini tak terlihat ada upaya konkret untuk menghentikan praktik perusakan dan pembalakan hutan secara liar yang menjadi penyebab utama maraknya bencana alam.
Hingga kini, aksi perambahan hutan merupakan salah satu kejahatan yang sulit dituntaskan. Setiap hari, ratusan bahkan ribuan hektare hutan gundul akibat pembalakan liar. Padahal semua mafhum, hutan adalah salah satu penunjang eksistensi kehidupan di muka bumi ini. Jika hutan rusak, simbiosis kehidupan akan terganggu.
Rakyat dan pemerintah belum memiliki sudut pandang dan asumsi yang sama. Bagi negara-negara berkembang, semisal Indonesia, masalah kerusakan hutan memang cukup dilematis. Penuh dengan pertarungan antara kepentingan, kebutuhan, dan tuntutan. Pertarungan yang paling tajam berada di sekitar pilihan pengutamaan; antara pemenuhan kepentingan ekologis daripada kepentingan ekonomis, atau sebaliknya.
Dari kenyataan empirik, sebagaimana selama ini terjadi, kepentingan ekonomis lebih sering mendominasi. Kemenangan kepentingan ekonomis inilah yang kemudian melempangkan jalan bagi aksi-aksi pengeksploitasian sumber daya hutan secara terus-menerus. Dengan alasan ekonomis, sekelompok orang, tentu dengan bantuan oknum-oknum pejabat, menebang hutan tanpa mempertimbangkan aspek-aspek ekologisnya.
Pendeknya, semua pihak hanya berpikir dengan kebutuhan jangka pendek masing-masing, tanpa memikirkan masa depan bumi dan masa depan anak cucu generasi yang akan datang. Kepentingan sesaat atas kekayaan telah membutakan kita akan keluhuran alam yang harus dipelihara, dilindungi, dan dipenuhi kebutuhannya untuk tidak dihancurkan. Sikap hidup berfoya-foya menjadi salah satu sumber kehancuran alam secara tidak langsung karena dengan kebutuhan hidup berbiaya tinggi membuat orang tak lagi memikirkan masa depan alam, tetapi malah mengeruk energinya untuk memuaskan keinginan sesaat.
Ubah paradigma
Bencana sudah sering terjadi. Sudah terlalu sering kita disentuh oleh ”tangan” Tuhan. Mungkin ini adalah bagian dari kenyataan yang harus dihadapi oleh seluruh warga bangsa ini sebagai ”upah” dari setiap perilaku ”nakal” dan kinerja menyimpang yang sering kita lakukan.
Sikap, paradigma, dan perilaku sehari-hari semua elemen masyarakat menjadi kata kunci hancur tidaknya ekologi bumi. Jika alam masih saja dipandang sebagai objek yang harus dieksploitasi, dikriminalisasi, serta boleh ”diperkosa” hak-haknya untuk hidup, kehancuran total tinggal menunggu waktu saja!
Sudah saatnya alam dipandang sebagai sahabat yang harus diperhatikan, dilindungi, dan dilestarikan. Semua elemen masyarakat harus mengubah cara berpikir bahwa alam ada bukan untuk ”diperkosa”, tetapi untuk dicintai kehidupannya. Merusak alam dan hutan adalah merusak kehidupan, yang secara mendasar dan jangka panjang sesungguhnya adalah merusak diri sendiri yang merupakan bagian dari alam.
Galibnya, kini, sudah saatnya untuk melestarikan ekosistem alam, terutama hutan. Jika tidak, bencana pasti akan selalu mengancam bahkan akan kian intens dan ”buas” menjadi tumpangan maut untuk merenggut korban berikutnya. Dan bukan tidak mungkin korban berikutnya itu adalah kita! Semoga tidak!***
Penulis, peneliti Center for Education Urgency Studies (CEUS) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY); Aktivis Green Citizen Indonesia (www.indonesiahijau.org); Sekjen ”Forum Indonesia”.
Opini Pikiran Rakyat 27 maret 2010