02 Februari 2010

» Home » Kompas » Pertanian Pangan di Era ACFTA

Pertanian Pangan di Era ACFTA

Sebagai bangsa yang menyebut dirinya bangsa agraris, kinerja sektor pertanian jadi dipertanyakan dengan derasnya arus impor produk pertanian beberapa tahun terakhir. Berbagai kendala yang tak kunjung terpecahkan menjadi penyebabnya. Masih pantaskah kita disebut bangsa agraris?
Penyelenggaraan Seminar dan Pameran Pasok Dunia (Feeds the World) oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia baru saja usai. Pesan penting yang mengemuka adalah pentingnya persatuan dan kesatuan dalam membangun ketahanan dan kemandirian pangan, iklim investasi yang kondusif, dan teknologi yang diciptakan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan.

 

Peta Jalan Pembangunan Sektor Pangan yang disusun Kadin menyisakan banyak pertanyaan, khususnya menyangkut kondisi non-teknis dalam mencapai ketahanan pangan nasional berkelanjutan. Di antaranya, masalah lahan dan pembiayaan yang banyak menghambat investasi di subsektor pangan. Mendorong pertumbuhan hulu dari 15 komoditas unggulan pangan tanpa mengondisikan pasar tentu hanya akan menghasilkan kerugian dan kekecewaan produsen.
Nilai agribisnis pangan di Indonesia hampir 30 persen dari produk domestik bruto (PDB), sekitar Rp 1.500 triliun. Sebagian besar didominasi bisnis pangan segar, mencapai dua pertiga dari total bisnis pangan (sekitar Rp 1.000 triliun). Penyerapan kesempatan kerja juga dominan. Sektor pertanian menyerap sekitar 44 persen dari total kesempatan kerja nasional dan lebih dari 90 persen ada di berbagai sektor terkait bisnis pangan. Di manufaktur, kontribusi tenaga kerja di industri makanan dan minuman lebih dari 20 persen.
Secara umum, konsumsi untuk pangan masih mendominasi pengeluaran rumah tangga, rata-rata sekitar 47 persen pada 2007. Hal ini membuat kemandirian pangan menjadi isu strategis. Ketergantungan terhadap impor, terutama buah-buahan dan sayur-sayuran segar (FFV) masih mengkhawatirkan dan diperkirakan mencapai 5 persen dari PDB. Situasi global juga belum sepenuhnya pulih.
Menurut FAO, masalah ketahanan pangan masih akan berlanjut. Saat ini gap antara kebutuhan investasi di subsektor pangan masih sangat besar (83 miliar dollar AS), sedangkan kebutuhan sekitar 209 miliar dollar AS dan perkembangan produksi pangan, terutama di negara berkembang, cenderung menurun.
Komposisi jenis produk pertanian didominasi bahan tanaman pangan. Data tahun 2007 menunjukkan bahan tanaman pangan mencapai 52,5 persen, sedangkan subsektor lain hanya 17,2 persen untuk perikanan, 13,5 persen peternakan, dan 16,8 persen perkebunan. Perkembangan investasi agribisnis 1990-2008 untuk penanaman modal asing (PMA) menunjukkan tren naik. Walau terjadi dinamika periodik, secara konsisten tren meningkat dari 25 juta dollar AS (1990) ke 400 juta dollar AS lebih (2006).
Dengan pola dinamika yang agak berbeda, tren investasi agribisnis bidang pangan oleh perusahaan penanaman modal dalam negeri (PMDN) juga meningkat dari Rp 222 juta (1990) menjadi Rp 3,7 triliun (2006). Penurunan investasi PMA dan PMDN dimulai sejak 2007 dan menjadi lebih parah pada 2008 akibat krisis keuangan di negara-negara maju tujuan ekspor.
Persoalan lahan
Agribisnis pangan sangat bergantung pada tanah, cuaca, dan air atau secara aset disebut lahan. Masalah lahan tidak lagi jadi isu ekonomi, tetapi sudah masuk ke ranah sosial-politik. Lambannya penanganan rencana tata ruang wilayah nasional telah menunda banyak investasi selama lebih dari lima tahun. Dalam posisi yang sudah legal pun, lahan masih dapat bermasalah ketika investor pertambangan berhadapan dengan perkebunan.
Penghambat kedua, masalah pembiayaan terkait fasilitasi kredit perbankan berbunga tidak kompetitif. Industri produk setengah jadi kakao Indonesia mati suri karena tak mampu memperoleh pembiayaan berbunga rendah seperti pesaingnya di Singapura dan Malaysia. Infrastruktur dan pasokan energi yang sangat lamban antisipasinya menyongsong masuknya investasi juga jadi kendala tidak ringan.
Hal terakhir yang perlu diperhitungkan, timbulnya ekses otonomi daerah terkait berbagai peraturan daerah yang tak promotif untuk investasi di bidang pangan.
Para penanam modal sangat mendambakan pemerintah menangani secara produktif perbaikan iklim investasi agribisnis pangan. Penyederhanaan perizinan, pengaturan regulasi yang menghambat masuknya pemain baru (barrier to entry), insentif fiskal dan non-fiskal, penyederhanaan administrasi pajak dan pabean, dan melindungi investor adalah beberapa perbaikan yang mereka tunggu. Tanpa itu semua, pengusaha Indonesia akan lebih senang menjadi pedagang produk-produk China daripada memproduksi sendiri, terutama di era perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) sekarang.
Didiek H Goenadi
Anggota Komite Penanaman Modal Bidang Agribisnis BKPM
Opini Kompas 3 Februari 2010