02 Februari 2010

» Home » Solo Pos » Pengelolaan sampah lintas teritorial

Pengelolaan sampah lintas teritorial

Beberapa hari ini permasalahan rencana pengelolaan sampah di TPA Putri Cempo cukup menarik perhatian. Pemkot Solo berencana mengelola sampah di sana bersama investor dari Jerman. MoU antara Pemkot Solo dengan investor dari Jerman diteken 6 Oktober 2009.

Dalam lingkup nasional isu persampahan memang sangat penting. Apalagi jika dikaitkan dengan isu pemanasan global.



Sudah disahkan pula UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah pada 7 Mei 2008. Dengan UU tersebut, paling lambat pada 2013 sudah tidak diperbolehkan lagi adanya penumpukan sampah secara open dumping atau model tempat pembuangan akhir (TPA). TPA yang diperbolehkan hanyalah yang berbasis sanitary landfill atau semi sanitary landfill. Pemerintah daerah atau pengelola sampah di TPA tinggal menghitung hari untuk segera mengimplementasikan UU tersebut.

Berkenaan dengan kondisi di atas, perlu kiranya dilakukan pengkajian mendalam terhadap berbagai metode pengelolaan sampah yang ditawarkan oleh investor. Pengkajiannya tentu saja meliputi empat aspek utama yaitu aspek lingkungan, aspek teknologi, aspek ekonomi dan aspek sosial. Keempat aspek tersebut harus sudah ada pada hasil feasibility study (FS) yang dilakukan investor.

Khusus pada aspek teknologi, yaitu mengenai perlakuan terhadap sampah, jenis sampah dan output-nya, secara normatif harus sudah bisa dipaparkan secara jelas oleh para investor sebelum FS. Jika dalam aspek ini tidak bisa dipaparkan oleh investor, maka bisa disimpulkan bahwa penawarannya patut dipertanyakan. Ada beberapa metode pengelolaan sampah beserta kelebihan serta kekurangannya yang bisa jadi telah atau akan ditawarkan oleh para investor.



Pilihan metode

Pertama, metode open dumping. Metode ini adalah penimbunan sampah di lokasi TPA tanpa aplikasi teknologi yang memadai. Metode ini memungkinkan adanya perembesan air lindi (cairan yang timbul akibat pembusukan sampah) melalui kapiler-kapiler air dalam tanah hingga mencemari sumber air tanah, terlebih di musim hujan. Efek pencemaran bisa berakumulasi jangka panjang dan pemulihannya bisa membutuhkan puluhan tahun. Metode ini sudah tidak populer karena selain sudah tidak akan diperbolehkan lagi juga berpotensi pada pencemaran lingkungan.

Kedua, metode komposting. Metode ini menggunakan sistem dasar pendegradasian bahan-bahan organik secara terkontrol menjadi pupuk dengan memanfaatkan aktivitas mikroorganisme. Aktivitas mikroorganisme bisa dioptimalisasi pertumbuhannya dengan pengkondisian sampah dalam keadaan basah (nitrogen), suhu dan kelembaban udara (tidak terlalu basah dan atau kering), dan aerasi yang baik (kandungan oksigen). Secara umum, metode ini bagus karena menghasilkan pupuk organik yang ekologis (pembenah lahan) dan tidak merusak lingkungan.

Ketiga, metode sanitary landfill. Metode ini mengelola sampah dengan melakukan pelapisan geotekstil yang tahan karat pada permukaan tanah sebelum ditimbuni sampah. Geotekstil berfungsi mengalirkan air lindi ke bak penampungan agar tidak mancemari air tanah. Air lindi selanjutnya diolah menjadi pupuk organik cair (POC). Setelah sampah ditimbun, kemudian dilapisi lagi dengan geotekstil di bagian atasnya dan ditutup dengan tanah. Metode ini lebih bagus daripada sekedar open dumping. Namun memerlukan lahan yang luas, biaya maintenance yang mahal serta risiko besar atas kebocoran zat atau gas beracun.

Keempat, metode rooftiling, floortiling, walling. Metode ini mengkonversi sampah menjadi material untuk atap (genteng), lantai (tegel/keramik), dan atau bahan-bahan untuk tembok. Dengan sistem reuse dan recycle ini, permasalahannya adalah pada biaya investasi yang besar dan output yang masih terlalu mahal dan kalah kualitas dibandingkan dengan produk regular dari material nonsampah pada umumnya.

Kelima, metode insenerator. Metode ini dilakukan dengan memasukkan sampah (disortir maupun tanpa disortir) ke dalam unit pembakaran dalam suhu 800°C-1.200°C. Metode ini bisa mereduksi sampah 80%–100%. Panas yang dihasilkan bisa digunakan untuk pembangkit listrik. Lahan yang diperlukan untuk sistem ini relatif lebih kecil daripada metode sanitary landfill tetapi berbiaya mahal. Metode ini sudah tidak akan diizinkan karena kontribusinya yang sangat besar pada efek gas rumah kaca.

Keenam, metode gas metana. Metode ini menggunakan teknik fermentasi secara anaerobik terhadap sampah organik. Secara teknis sampah disortir menjadi sampah organik dan anorganik. Sampah organik dicampur dengan air dan digester (dimasukkan dalam tempat kedap udara) selama kurang lebih dua pekan dan akan menghasilkan gas metana (CH4) yang bisa digunakan sebagai energi listrik. Metode ini menguntungkan karena bisa menghasilkan energi terbarukan.

Ketujuh, metode autoclave. Metode ini relatif baru walaupun secara teknis sebetulnya sangat sederhana. Sistemnya adalah melakukan pembongkaran langsung dari dump truk masuk ke mesin autoclave. Di dalam autoclave sampah diinjeksi dengan uap bersuhu 160°C selama 2 jam. Sampah kemudian secara otomatis disalurkan melalui belt conveyor ke mesin penyortiran. Proses pada sistem ini ramah lingkungan dan berpeluang mendapatkan kredit karbon.



Pilihan dan kendala

Pilihan ada di pemerintah daerah untuk memutuskan metode apa yang akan dipakai. Masing-masing investor pasti menyampaikan paparan dengan keyakinan bahwa metode merekalah yang terbaik di antara yang lain. Tahapan ini sebetulnya bisa dijembatani dengan melakukan pengkajian pra-Amdal oleh lembaga yang paling berkompeten dengan pelaksanaan Amdal (lembaga perguruan tinggi) bekerjasama dengan stakeholders terkait lainnya.

Kendala dalam peraturan pemerintah yang tidak memperkenankan adanya penunjukan tunggal atas proyek-proyek vital atau yang melibatkan aset-aset daerah sudah disikapi secara bijak oleh Pemkot Solo dengan rencana tender bagi para calon investor pengelolaan sampah. Tender tersebut direncanakan akan digelar pada Februari ini.

Dengan tender ini bisa jadi bertentangan dengan keinginan sebagian investor yang menolak adanya tender. Investor pasti tidak mau rugi atas biaya FS yang telah dilakukan jika akhirnya kalah dalam tender. Bisa jadi pula investor tidak mau melakukan studi kelayakan kalau tidak ada jaminan peluang berinvestasi. Solusinya bisa ditawarkan dengan pemberian keistimewaan kepada investor dalam proses tender sebagai kontribusi atas FS yang telah dilakukan. Atau Pemkot Solo mengembalikan biaya penggantian FS jika perusahaan bersangkutan kalah dalam tender. Pasti ada terobosan yang bisa dilakukan untuk memfasilitasi investasi tanpa harus melanggar peraturan.

Secara integratif, permasalahan sampah adalah lintas teritorial. Pemkot Solo tidak sendirian. Layak dipertimbangkan juga oleh Pemkot Solo untuk keluar dari paradigma kedaerahan. Penawaran pengelolaan sampah yang melibatkan wilayah lain di luar Solo bisa jadi momentum sebuah keputusan yang visioner. Seberapa maju terobosan dan visionernya keputusan yang akan diambil, sejarah akan mencatatnya.

Florencius Kus Sapto Widodo General manager trading house pupuk organik Penelaah investasi pengelolaan sampah - Oleh : Florencius Kus Sapto Widodo

Opini Solo Pos 3 Februari 2010