02 Februari 2010

» Home » Okezone » Pantaskah Antasari Dituntut Mati?

Pantaskah Antasari Dituntut Mati?

Di RRC (China) banyak koruptor dijatuhi hukuman mati. Di Indonesia, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar yang malah dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan tuduhan terlibat dalam pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Tak hanya Antasari, dua terdakwa lain, yakni Komisaris Besar Pol Wiliardi Wizar dan pengusaha Sigid Haryo Wibowo, juga dituntut hukuman mati.

Banyak orang yang bertanya, di era reformasi sekarang ini, di tengah masyarakat dunia tengah mengagung-agungkan hak asasi manusia, masih pantaskan hukuman mati diterapkan? Ternyata, Indonesia tergolong sebagai negara yang paling gemar menjatuhkan hukuman mati.

Di tahun 2009, Kejaksaan Agung melakukan tuntutan hukuman mati kepada 105 terdakwa. Di tahun 2005, ada 2.148 orang dieksekusi mati di 22 negara, termasuk Indonesia. Dari data itu, 94 persen praktik hukuman mati dilakukan di Iran, RRC, Arab Saudi, dan Amerika Serikat. Sampai tahun 2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan praktik hukuman mati, termasuk Indonesia.

Selebihnya, 88 negara telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara melakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan 129 negara lainnya melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati. Kenapa banyak negara mulai alergi terhadap hukuman mati?

Ternyata banyak kalangan yang meyakini bahwa hukuman mati selalu merupakan bentuk balas dendam dengan menggunakan perangkat negara. Iskandar Susanto dalam artikelnya yang berjudul “Hukuman Mati: Suatu Tinjauan dari Perspektif Alkitab” dalam jurnal JT Aletheia(September 1995) menulis, hukuman mati adalah retribusi yang sering dikacaukan dengan ide “pembalasan seseorang”. Pembalasan adalah keinginan yang kuat dari seseorang untuk melukai dan menyengsarakan orang lain sebagai pukulan balik pada orang yang melukai dia. Biasanya ide tersebut dilandasi dengan kekejaman dan kemarahan.

Profesionalitas Jaksa

Jika mengacu pada teori Iskandar, adakah dendam dan kemarahan dalam tuntutan mati yang diberikan jaksa penuntut umum kepada Antasari dkk? Tentu jaksalah yang bisa menjawabnya. Namun, ada satu peristiwa lama yang mungkin bisa dijadikan pijakan, yakni saat menjadi Ketua KPK, Antasari pernah mengobok-obok kejaksaan dan menyeret jaksa senior Urip Tri Gunawan ke pengadilan tindak pidana korupsi.

Gebrakan KPK yang telah memenjarakan ”orang-orang penting” juga menjadi sebuah ”kegelisahan” tersendiri bagi orang-orang tertentu. Inilah yang kemudian menimbulkan tanda tanya, apakah tuntutan mati bagi Antasari adalah dampak dari sebuah tindak pidana murni atau ada motif politik dan sekaligus aksi balas dendam? Mengacu pada teori Iskandar dan untuk menghindari adanya dugaan aksi balas dendam dalam menjatuhkan tuntutan mati, jaksa memang dituntut senantiasa profesional.

Pasal 3 ayat C Peraturan Jaksa Agung No PER-067/A/JA/07/ 2007 tentang Kode Perilaku Jaksa menyebutkan, dalam melaksanakan tugas profesinya jaksa wajib mendasarkan pada keyakinan dan alat bukti yang sah untuk mencapai keadilan dan kebenaran. Pasal 4 ayat B menegaskan pula bahwa jaksa dilarang merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara. Koridornya memang sudah jelas. Sikap cermat dan profesional untuk menjatuhkan tuntut mati tentu tidak hanya ditekankan kepada jaksa.

Dewi Keadilan juga perlu melihat sikap cermat dan profesionalitas penyidik kepolisian sebagai hulu dari proses penegakan hukum. Sudahkah polisi dan jaksa cermat serta profesional sehingga tuntutan mati terhadap Antasari dkk patut dijatuhkan? Bukankah polisi dan jaksa cenderung mengabaikan banyak hal dalam menangani kasus pem-bunuhan Nasrudin tersebut? Dalam tuntutannya jaksa mengabaikan hal-hal yang meringankan.

Seolah beberapa prestasi Antasari dalam mengungkap kasus korupsi, saat menjadi Ketua KPK, tidak menjadi sebuah pertimbangan yang meringankan bagi jaksa. Begitu juga para saksi dan barang bukti yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah untuk mencapai keadilan dan kebenaran cenderung diabaikan polisi dan jaksa. Bahkan dalam proses penyidikan, kelima terdakwa yang dituduh sebagai eksekutor mengaku disiksa polisi dengan cara diketok martil dan disetrum bagian vitalnya.

Meski sudah mengadu ke Komnas HAM, jaksa tetap saja mengabaikan pengakuan ini dan majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang pun memvonis mereka 16 sampai 18 tahun penjara. Kejanggalan lain yang diabaikan polisi dan jaksa adalah kasus pembiaran tubuh Nasrudin selama 16 jam (di RS Mayapada dan RS Gatot Subroto) setelah ditemukan tertembak di Modernland Tangerang.

Dalam kesaksiannya, ahli forensik Dr Munim Idris mengatakan, saat mayat Nasrudin diterimanya, bagian kepalanya sudah dalam keadaan terjahit. Kenapa kejanggalan ini tidak ditelusuri polisi maupun jaksa? Kenapa pihak-pihak yang membedah bagian kepala Nasrudin, sebelum divisum Dr Munim, tidak dijadikan saksi? Begitu pula dengan oknum TNI AL dan oknum Brimob yang menjual senjata api kepada terdakwa eksekutor, kenapa tidak dijadikan saksi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan? Padahal senjata api itulah yang disebut-sebut polisi dan jaksa digunakan untuk membunuh Nasrudin.

Dalam kesaksiannya di persidangan terdakwa Wiliardi Wizar, Dr Munim tidak bisa menjelaskan Nasrudin ditembak dalam posisi duduk, berdiri atau tidur. Sebab secara forensik alat bukti satu-satunya yang menentukan posisi seseorang saat tertembak hanyalah baju yang dikenakannya. Namun dalam kesaksiannya Munim menegaskan, baju korban tidak diserahkan penyidik dalam autopsi dan visum et repertum. Dalam persidangan jaksa pun tidak menyertakan baju korban sebagai barang bukti. Padahal, baju korban adalah alat bukti yang sah untuk mencapai keadilan dan kebenaran. Baju korban akan ”berbicara” banyak, apakah korban ditembak di tempat lain atau di tempat ditemukan.

Kemandirian Jaksa

Kejanggalan lain dalam surat tuntutan jaksa, kata-kata tuntutan mati ditulis dengan pulpen dan merupakan tulisan tangan. Artinya, tulisan itu diberikan di saat sidang pembacaan tuntutan sedang berlangsung. Hal ini mengindikasikan ada pihak tertentu yang mengintervensi kemandirian jaksa. Padahal Pasal 3 ayat D Kode Perilaku Jaksa menekankan, dalam melaksanakan tugas profesinya, jaksa wajib bersikap mandiri, bebas dari pengaruh, tekanan/ancaman opini publik secara langsung dan tidak langsung. Ketentuan itu tampaknya tidak mendapat tempat dalam perkara Antasari dkk.

Sebab, dalam menjatuhkan tuntutan maksimal (tuntutan hukuman mati) tersebut jaksa penuntut umum tidak profesional. Ada kesan jaksa malah mempermainkan nasib dan nyawa terdakwa, dengan cara menulis tuntutan mati dengan pulpen. Seolah jaksa tidak memiliki kemantapan dan berkeyakinan yang teguh berdasar fakta-fakta persidangan sehingga kata-kata tuntutan mati dalam surat tuntutannya patut diberikan kepada Antasari dkk.

Apa yang dilakukan jaksa tersebut merupakan pelanggaran terhadap Pasal 3 ayat C Kode Perilaku Jaksa yang menekankan, dalam melaksanakan tugas profesinya, jaksa wajib mendasarkan diri pada keyakinan dan alat bukti yang sah untuk mencapai keadilan dan kebenaran. Mengacu pada teori Iskandar, tak salah jika kita melihat ada nuansa lain di balik tuntutan mati tersebut, yakni nuansa dendam.

Memang, bagi mereka yang mendukung hukuman mati biasanya mempunyai alasan yang sama, yaitu agar si jahat tidak mengulangi lagi perbuatannya dan mencegah orang lain berbuat hal yang sama. Namun, jika kita lihat lebih saksama, hukuman mati selalu merupakan bentuk balas dendam dengan menggunakan perangkat negara.

Hukuman mati sama artinya pengambilan hak Ilahi oleh manusia. Sama dengan kelahiran, kematian merupakan hak prerogatif Tuhan. Hukuman mati adalah hukuman yang bersifat final dan manusia mengumbar dendam di baliknya. Tentu, kejahatan tidak akan berakhir dengan mengumbar dendam.(*)

Neta S Pane
Ketua Presidium Indonesia Police Watch

Opini Okezone 2 Februari 2009