02 Februari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » ACFTA dan Pengadilan Hubungan Industrial

ACFTA dan Pengadilan Hubungan Industrial

Oleh ROEBING GUNAWAN BUDHI

Berbeda halnya dengan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung (MA), Pengadilan Tata Usaha Negara, atau Mahkamah Konstitusi, keberadaan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sejauh ini belum begitu dikenal luas oleh masyarakat. Hal ini wajar sehubungan dengan usia PHI yang masih ”seumur jagung” (empat tahun) dan merupakan pengadilan khusus yang hanya menangani perkara-perkara menyangkut hubungan industrial (ketenagakerjaan), seperti: perselisihan hak, perselisihan kepentingan, sengketa pemutusan hubungan kerja (PHK), sampai perselisihan antarserikat pekerja atau serikat buruh dalam satu perusahaan. Hal ini sesuai dengan diktum pasal 56 UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), yang menegaskan PHI memutus di tingkat pertama dan/atau terakhir untuk jenis perselisihan tadi.


Sehubungan dengan sifatnya yang khusus, terdapat persyaratan khusus pula yang harus dipenuhi majelis hakim PHI, yaitu terdiri atas hakim karier dan hakim ad hoc (ahli) dari unsur pekerja dan pengusaha. Hal ini diatur secara lengkap di dalam Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad Hoc Pada PHI. Cara-cara beracara di PHI pun bersifat khusus, seperti tidak adanya upaya hukum banding melainkan langsung kasasi untuk jenis perselisihan tertentu dan adanya target waktu penjadwalan pemutusan perkara yang diterima.

Pengadilan Hubungan Industrial yang diresmikan pada 14 Januari 2006 di Padang, Sumatra Barat, oleh Ketua MA saat itu Bagir Manan, berdiri di 33 provinsi di seluruh Indonesia dan merupakan pengadilan khusus di bawah pengadilan negeri yang terletak di setiap ibu kota provinsi sesuai dengan amanat dari pasal 59 UU 2/2004. Lembaga ini mulai beroperasi sejak April-Mei 2006 dan memiliki tidak kurang dari 155 hakim ad hoc di seluruh Indonesia dan 6 hakim ad hoc di tingkat MA.

Berdirinya PHI tidak terlepas dari sejumlah pertimbangan, antara lain, dalam era industrialisasi dan berlakunya ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), masalah perselisihan hubungan industrial akan semakin meningkat dan kompleks, seiring dengan maraknya industri yang ”gulung tikar” akibat tidak mampu bersaing sehingga diperlukan institusi khusus dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah, sementara UU 22/1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan jo. UU 12/1964 tentang PHK di Perusahaan Swasta pun sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat sehingga harus direvisi. Dalam hal ini tentu tidak terlepas dari dasar pemikiran filosofis bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan, perlu diwujudkan secara optimal sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara kita.

Selama empat tahun terakhir, perselisihan PHK menduduki peringkat teratas untuk kasus-kasus yang masuk dan ditangani hakim PHI kemudian diikuti perselisihan hak dan perselisihan kepentingan. Sebagai contoh di PHI Bandung, Jawa Barat, tahun 2008 tercatat 160 perkara PHK, 23 perselisihan hak, dan 7 perselisihan kepentingan, sementara sampai Mei 2009 tercatat 65 kasus PHK dan 3 sengketa perselisihan hak. Apa sesungguhnya makna dari setiap jenis perselisihan dimaksud? Perselisihan hak merupakan perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama (PKB). Perselisihan kepentingan (doelmatigheit) adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan PHK adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak. Perselisihan antarserikat pekerja atau serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja atau serikat buruh dan serikat pekerja atau serikat buruh lain dalam satu perusahaan karena tidak adanya kesesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban serikat pekerja.

Pengadilan Hubungan Industrial sebagai pengadilan khusus di dalam menangani perkara yang masuk sesuai dengan pasal 57 UU 2/2004 menggunakan hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali yang diatur secara khusus dalam UU PPHI. Jadi di sini berlaku asas lex specialis derogat lex generalis. Undang-Undang 2/2004 sebagai hukum acara dan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan menjadi hukum materiilnya. Dengan demikian, sejak mengajukan gugatan, bukti, dan saksi, yang berlaku adalah hukum acara perdata secara umum dan dianut asas, siapa yang mendalilkan, maka dia yang harus membuktikannya selain prinsip bahwa hakim bersifat menunggu atau pasif, dan hakim mendengar kesaksian dari kedua belah pihak yang berselisih. Ditegaskan pula di dalam pasal 58 UU No. 2 tahun 2004 dalam proses beracara di PHI, pihak yang berperkara tidak dikenai biaya, termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya di bawah Rp 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah). Ini berarti untuk perkara hubungan industrial yang nilai gugatannya di atas Rp150.000.000 dikenakan biaya seperti biaya perkara perdata yang berlaku di lingkungan peradilan umum.

Berbeda dengan pengadilan umum, bilamana para pihak tidak puas dengan keputusan atau kesimpulan dari majelis hakim PHI, maka tidak dapat dilakukan banding ke pengadilan tinggi melainkan harus langsung mengajukan proses kasasi ke MA. Namun hal ini dibatasi hanya untuk perselisihan hak dan perselisihan PHK, sesuai dengan pasal 56 UU 2/2004 untuk perselisihan kepentingan dan perselisihan serikat pekerja tidak dapat diajukan kasasi sebab PHI memutus untuk tingkat pertama dan terakhir, sehingga sudah tidak ada upaya hukum lainnya.

Dalam hal diajukan kasasi, PHI menjadi pengadilan tingkat pertama sebagai yudex factie, memeriksa fakta dan bukti perkara perselisihan, sementara MA bukanlah yudex factie, sehubungan hanya meneliti apakah pengadilan tingkat pertama telah menerapkan aturan-aturan hukum dengan tepat atau tidak. Permohonan kasasi harus diajukan secara tertulis melalui Subkepaniteraan PHI dalam tenggang waktu 14 hari kerja dengan ketentuan bagi pihak yang hadir, dihitung sejak keputusan dibacakan dalam sidang majelis hakim dan bagi pihak yang tidak hadir dihitung sejak tanggal penerimaan pemberitahuan putusan. Selanjutnya Subkepaniteraan PHI harus sudah menyampaikan berkas perkara kepada MA. Dalam waktu maksimal 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi, MA wajib memberikan keputusan.

Selama keputusan MA belum turun maka keputusan (kesimpulan) majelis hakim PHI tetap berlaku sah secara hukum. Bilamana keputusan MA telah turun, maka terdapat dua kemungkinan keputusan; mengukuhkan keputusan PHI alias sependapat dengan putusan majelis hakim PHI, atau dapat pula MA membatalkan keputusan PHI alias tidak sependapat dengan putusan majelis hakim PHI.

Pada dasarnya, dalam semua proses hukum langkah terbaik adalah perundingan internal dan terwujudnya perdamaian (dading). Hal ini merupakan solusi terbaik. Bilamana perdamaian atau perundingan bipartit (dua belah pihak) tidak dapat diselesaikan, masih ada upaya lain seperti mediasi, konsiliasi, ataupun penyelesaian melalui arbitrase (untuk perselisihan kepentingan dan perselisihan antarserikat pekerja). Setiap perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit, sesuai dengan pasal 3 ayat 1 UU 2/2004. Bipartit adalah perundingan antara pekerja atau buruh atau serikat pekerja atau serikat buruh dan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Penyelesaian perselisihan melalui bipartit harus diselesaikan maksimal 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.

Pada akhirnya, sesuai dengan mekanisme hubungan industrial Pancasila, pekerja dan pengusaha merupakan mitra yang sejajar. Masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang harus dihormati satu sama lain. Di tengah ancaman dampak global dengan pemberlakuan ACFTA, sudah selayaknya pekerja dan pengusaha bersatu hati meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan daya saing, baik khususnya bagi kemajuan perusahaan maupun pada umumnya untuk kejayaan bangsa Indonesia secara keseluruhan agar tidak kalah bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Pemerintah telah menyiapkan media PHI sebagai solusi terakhir bilamana timbul kasus-kasus perselisihan perburuhan yang sudah tidak dapat lagi diselesaikan secara musyawarah mufakat dan bipartit yang merupakan sarana hubungan industrial.***

Penulis, alumnus FH Unpar Bandung dan Pengurus Apindo Kab. Bandung Barat.
Opini Pikiran Rakyat 3 Februari 2010