02 Februari 2010

» Home » Jawa Pos » Ironis, Dewan Tidak Ber-NPWP

Ironis, Dewan Tidak Ber-NPWP

SEKALI lagi, anggota dewan yang terhormat mempertontonkan perangai yang tidak layak ditiru rakyat jelata. Setelah tidak merespons kewajiban menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) -dari 560 anggota DPR, baru 229 orang yang melaporkan- beberapa waktu lalu, kini mereka ganti bermasalah dengan kewajiban pajak.

Direktorat Jenderal Pajak Depkeu mencatat, 113 anggota DPR dan 23 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) belum memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Jumlah wakil rakyat yang tidak taat pajak itu cukup besar. Kalau dipersentasekan, jumlahnya mencapai 20 persen. Mestinya dengan total gaji puluhan juta rupiah, anggota DPR dan DPD sudah dikategorikan sebagai wajib pajak (WP) perseorangan. Gaji yang diterima DPR saat ini lebih dari Rp 50 juta. (Jawa Pos, 1 Februari)

Fasilitas serbawah: rumah dinas, kendaraan, laptop baru, dan sebentar lagi gaji-tunjangan baru yang fantastis ternyata belum menampilkan performa wakil rakyat yang patut diteladani. Belum adakah kesadaran bahwa fasilitas yang mereka nikmati juga dibiayai dari APBN yang notabene dari uang pajak?

Urgensi NPWP

Beberapa minggu terakhir ini, kantor-kantor pelayanan pajak didatangi para lansia. Mereka adalah para pensiunan yang dengan penuh kesadaran mendaftarkan diri menjadi wajib pajak. Ya, di usia senjanya mereka mengurus NPWP.

Orang pribadi yang diwajibkan memiliki NPWP adalah mereka yang telah mempunyai penghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Sejak 1 Januari 2009, besarnya PTKP untuk orang yang belum menikah (TK) adalah Rp 1.320.000/bulan. Sedangkan untuk yang kawin/belum punya anak (K/0) Rp 1.430.000/bulan, kawin dan punya 1 anak (K/1) Rp 1.540.000/bulan, kawin dan punya 2 anak (K/2) Rp 1.650.000, dan tertinggi kawin/3 anak (K/3) sebesar Rp 1.760.000/bulan. Masyarakat yang berpenghasilan di atas PTKP harus ber-NPWP. Penghasilan anggota dewan jelas sangat jauh di atas ambang batas itu.

Tidak malukah anggota dewan dengan para buruh pabrik, guru SD, atau lansia pensiunan yang sadar dan peduli pajak dengan mendaftarkan diri sebagai wajib pajak? Di manakah keteladanan yang sering digembar-gemborkan itu?

NPWP adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Dilihat dari sisi administrasi pajak, NPWP memiliki fungsi sebagai berikut. Pertama, untuk mengetahui identitas wajib pajak; kedua, untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan; ketiga, untuk keperluan yang berhubungan dengan dokumen perpajakan; empat, untuk memenuhi kewajiban perpajakan, misalnya dalam pengisian SSP; kelima, untuk mendapatkan pelayanan dari instansi-instansi tertentu yang mewajibkan pencantuman NPWP dalam dokumen yang diajukan.

Syarat memperoleh NPWP pun sangat mudah, yaitu mengisi formulir pendaftaran yang disediakan, dilampiri fotokopi KTP/kartu keluarga/SIM/paspor. Bahkan, seingat penulis, saat pelantikan anggota DPR/DPD tahun lalu pun, pihak Direktorat Jenderal Pajak telah proaktif dengan membuka stan berupa pojok pajak. Hasilnya, mungkin anggota dewan masih kurang meliriknya.

Dengan berlakunya UU Pajak Penghasilan yang baru, orang pribadi, termasuk anggota dewan yang tidak ber-NPWP, akan dikenai pajak yang 20 persen lebih tinggi daripada tarif normal. Dari aspek ini, mereka sebenarnya rugi bila tak ber-NPWP. Padahal, mengurus NPWP gratis, mudah, dan bentuknya tidak memalukan karena mirip ATM.

Urgensi Pajak

Anwar Nasution (2009) berkeyakinan bahwa peningkatan penerimaan pajak merupakan satu-satunya jalan untuk melepaskan diri dari belenggu utang luar negeri. Omong kosong bisa membiayai belanja tanpa utang jika penerimaan pajak tidak naik. Potensi penerimaan pajak masih besar karena kita bukan negara miskin, seperti Somalia yang hanya punya gurun pasir. Pajak juga diperlukan untuk membantu wong cilik atau orang miskin dengan mewajibkan orang kaya membayar pajak.

Belum adanya kesadaran anggota dewan terkait dengan pajak sungguh memprihatinkan dan membawa preseden buruk. Pertama, mereka telah menikmati fasilitas secara langsung, berbeda dengan para buruh pabrik atau pengusaha. Kedua, mereka sering mencecar para pejabat untuk tunduk patuh pada hukum seperti kasus Century, mengapa malah tidak menunjukkan iktikad baiknya. Ketiga, tindakan itu berarti belum memberikan teladan yang baik bagi rakyat atau konstituennya. Bukankah menurut akal sehat, jika mau menerima penghasilan dan fasilitas dari APBN, mereka juga harus mau membayar pajak?

Demi meyakinkan masyarakat, Ditjen Pajak terus mereformasi berbagai hal dalam beberapa tahun terakhir ini. Bahkan, untuk 'memanjakan' pelayanan terhadap para jutawan telah dibentuk Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Orang Pribadi (KPP WP Besar OP) atau High Wealth Individual (HWI) yang sementara dihuni sekitar 1.200 WP besar orang pribadi yang dikategorikan sebagai jutawan, miliarder, atau orang superkaya. Pada 2010 peran WP orang pribadi diharapkan dapat mencapai lebih 50 persen dari total penerimaan pajak penghasilan.

Fungsi utama sistem pajak adalah pengumpulan penerimaan negara dalam jumlah yang cukup, stabil, elastis, dan berkesinambungan (Silvia A. Madeo et all dalam Sommerfeld's Concepts of Taxation, 1995).

Bagi banyak negara, termasuk Indonesia, pajak adalah tulang punggung penerimaan negara. Saat dunia mengalami krisis global, kemandirian finansial negara menjadi kebutuhan mutlak. Bagi APBN, selama beberapa tahun terakhir ini pajak memberikan kontribusi penerimaan dalam kisaran 60-75 persen, sebuah angka yang amat signifikan!

Rakyat pantas heran. Meski telah berbulan-bulan dilantik, masih ada begitu banyak anggota dewan yang belum ber-NPWP. Ironis. Mereka pun ikut mengesahkan UU Perpajakan ,namun sekian lama belum mematuhinya!

Kalau fasilitas mewah dari negara telah diterima anggota dewan, sekadar punya NPWP pun tidak (apalagi taat membayar pajak). Lalu kira-kira apa kata dunia? Wallahu alam.

*. Joko Susanto, alumnus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) Jakarta. 
Opini Jawa Pos 2 Februari 2010