Polisi seharusnya jemput bola mengeliminasi potensi konflik memakai mata hati, yang selama ini redup menyusul banyaknya beban mengawal kamtibmas di sela-sela belitan silang-sengkarut persoalan internal
HARIAN Suara Merdeka merilis berita menarik tentang kunjungan informal Wakapolresta Tegal Kompol Basuki SPd ke Gereja Katolik Hati Kudus Tegal. Kunjungan itu, menurut pastor kepala gereja itu yang baru, Romo Fransiskus Widyantardi Pr, sangat jarang dilakukan oleh pejabat, apalagi berkenan meluangkan waktu datang ke pastoran tanpa diundang.
Kunjungan ini lebih sebagai upaya memahami dari dekat dinamika umat Katolik di Tegal. Hari Minggu dipilih karena menyesuaikan jadwal umat, yang kebanyakan datang pada hari itu.
Tindakan tersebut merupakan wujud kepedulian polisi dalam membangun kemitraan dengan elemen masyarakat. Manfaat kemitraan semacam itu minimal bisa mengetahui dari dekat keinginan masyarakat sekaligus menangkis peluang terjadinya gesekan secara lebih dini. (SM, 02/02).
Sebagaimana sering terjadi, tindakan kekerasan dan bentrok antarpengikut agama atau kepercayaan sulit dicegah karena fanatisme dan klaim kebenaran mengatasnamakan Tuhan. Karenanya hanya aksi simpatik seperti dilakukan Kompol Basuki SPd dan pendekatan budaya yang barangkali dapat meredam aksi brutal secara lebih dini.
Kunjungan seperti ini mestinya menjadi model bagi penanganan kasus bentrokan antarumat. Hal ini juga sebagai jawaban atas hasil laporan pemantauan SETARA Institute yang selama 3 tahun berturut-turut merekam, bahwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan yang terjadi di Indonesia bermula dari jaminan setengah hati atas hak untuk bebas beragama/ berkeyakinan.
Politik pembatasan hak asasi manusia yang diadopsi oleh UUD Negara RI 1945 (Pasal 28 J Ayat 2) telah membuat jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan dan jaminan hak-hak konstitusional warga negara lainnya terabaikan, dan tidak serius ditegakkan. Sambil terus-menerus mengupayakan perubahan Konstitusi RI yang lebih tegas menjamin kebebasan beragama/ berkeyakinan, implementasi jaminan konstitusional dan konsekuensi ratifikasi instrumen hukum HAM internasional.
Agama atau sistem kepercayaan pada dasarnya adalah pengalaman batin seseorang yang sifatnya subjektif karena penuh tafsiran (inner state or subjective expereince). Permasalahannya, daya dorong atau daya imbau ajaran agama yang sudah ditafsirkan tersebut selalu saja menumbuhkan fanatisme sehingga pengikutnya berusaha mati-matian untuk mengobjektifkannya di dunia nyata.
Karenanya Joachim Wach pernah mengatakan bahwa setiap kemunculan sistem kepercayaan baru, atau tafsir baru, pastilah diikuti oleh penciptaan dunia baru di mana konsep-konsep dan kelembagaan lama akan kehilangan makna dan alasan dasar kehadirannya. (Ali,1988).
Dari titik inilah agama atau kepercayaan membangun basis perkauman dan memberikan struktur rohani, intelektual, dan kebudayaan. Semua elemen ini akan mengintegrasikan setiap kelompok masyarakat yang saling berbeda dan memiliki pandangan dan sistem kepercayaan yang sama.
Pengelompokan dan daya imbau berdasarkan tafsir dan klaim kebenaran inilah yang sering menimbulkan krisis dan bentrokan antarpengikut agama atau kepercayaan. Fakta ini sudah lama diamati oleh Geertz yang mengatakan bahwa agama bukanlah kesimpulan dari realitas, namun mendahului realitas itu sendiri. Karenanya unsur determinasi mutlak dan tidak mau berdamai dengan realitas, merupakan karakter dasar dari agama.
Indonesia adalah negara besar yang kini banyak menghadapi masalah. Setidaknya ada tiga masalah besar yang dihadapi negeri ini, yakni 1). Benturan antaretnis, kultur,dan agama; 2). Perusakan lingkungan hidup; 3). Pelanggaran HAM dan masalah demokratisasi.
Sedangkan Huntington (1996) menyebut tiga kategori benturan peradaban, yakni; pertama, benturan antar-major state dengan peradaban lain, seperti Israel dengan Arab; kedua, kekerasan antarperadaban seperti Hindu vs Islam di India, Islam vs Kristen di Lombok, Ambon, Poso, dan seterusnya; ketiga, kekerasan yang muncul dari benturan etnis kultural, dan regional. Indonesia jelas mengalami berbagai benturan baik di tingkat lokal maupun regional.
Dari latar belakang itu, ’’wajar’’ jika bentrokan antarpengikut agama terus terjadi di Indonesia. Tahun 2009, SETARA Institute mencatat 200 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan yang mengandung 291 jenis tindakan. Terdapat 10 wilayah dengan tingkat pelanggaran tertinggi yaitu Jawa Barat (57 peristiwa), DKI Jakarta (38), Jawa Timur (23), Banten (10), Nusa Tenggara Barat (9), Sumatera Selatan, Jawa Tengah, dan Bali masing-masing (8), dan berikutnya Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur masing-masing (7 peristiwa).
Pembiaran
Dari 291 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan, terdapat 139 pelanggaran yang melibatkan negara sebagai aktornya, baik melalui 101 tindakan aktif negara (by commission), maupun 38 tindakan pembiaran oleh negara (by omission). Tindakan pembiaran berupa 23 pembiaran aparat negara atas terjadinya kekerasan dan tindakan kriminal warganegara dan 15 pembiaran karena aparat negara tidak memproses secara hukum terhadap warganegara yang melakukan tindak pidana.
Untuk pelanggaran yang melibatkan negara sebagai aktor, kerangka legal pertanggungjawabannya adalah hukum hak asasi manusia, yang mengikat negara akibat ratifikasi kovenan dan konvensi internasional hak asasi manusia. Institusi negara yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah kepolisian (48 tindakan), Departemen Agama (14), wali kota (8), bupati (6), dan pengadilan (6 tindakan). Selebihnya adalah institusi-institusi dengan jumlah tindakan di bawah 6.
Dari 291 tindakan pelanggaran, 152 merupakan tindakan yang dilakukan warganegara dalam bentuk 86 tindakan kriminal/ perbuatan melawan hukum, dan 66 berupa intoleransi yang dilakukan oleh individu/ anggota masyarakat.
Pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan pada tahun 2009 paling banyak masih menimpa Jemaat Ahmadiyah (33 tindakan pelanggaran), individu (16 ), dan jemaat gereja (12 tindakan). Pelanggaran yang berhubungan dengan Ahmadiyah antara lain meliputi upaya pembakaran masjid, intoleransi, dan pembatasan akses untuk melakukan ibadah.
Sementara individu yang menjadi korban umumnya adalah korban penyesatan. Sedangkan jemaat gereja mengalami pelanggaran dalam bentuk pelarangan pendirian rumah ibadah, pembubaran ibadah dan aktivitas keagamaan, dan intoleransi.
Seperti disinggung pada awal tulisan, aksi simpatik Wakapolresta Tegal Kompol Basuki SPd bertandang ke gereja, jangan dilihat sebagai momen sederhana. Harusnya, peristiwa itu lebih sebagai awal baik untuk mendongkrak citra lembaga polisi sebagai ’’sahabat’’ semua lapisan masyarakat. Polisi seharusnya jemput bola mengeliminasi potensi konflik menggunakan mata hati, yang selama ini redup menyusul saking banyaknya beban tanggung jawab mengawal kamtibmas di sela-sela belitan silang-sengkarut persoalan intern lembaganya. (10)
— Petrus Widijantoro, Pimpinan Redaksi Majalah Psikologi Plus
Wacna Suara Merdeka 8 Februari 2010
07 Februari 2010
» Home »
Suara Merdeka » Kemitraan Polisi lewat Mata Hati
Kemitraan Polisi lewat Mata Hati
Thank You!